"Lain kali adek tidak boleh banyak kecapean!" tutur lelaki yang mengenakan peci berwarna hitam pada wanita yang berbaring di atas ranjang pasien.
"Iya, iya, Mas!" tutur wanita bernetra indah itu pada Ustaz Zul.
"Aku tidak mau janin yang ada di dalam rahim kamu kenapa-kenapa!" Ustadz Zul membelai lembut ujung kerudung yang Anisa kenakan dengan wajah penuh kekhawatiran. Wanita yang sudah Ustaz Zul nikahi hampir satu tahun belakangan ini.
Anisa menatap lekat pada suaminya, semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibir wanita itu. Nampak Ustaz Zul sangat menyayangi Anisa.
Dreg, Dreg! Dreg!
Ustaz Zul meraih ponsel dari dalam saku celananya. Sesaat menatap pada layar ponsel yang berkedip.
"Siapa?" tanya Anisa.
"Temanku!" jawab Ustaz Zul sekilas menatap pada istrinya kemudian menekan tombol hijau pada ponsel yang berdering.
"Halo, Mas!" sapa Ustadz Zul pada seseorang yang berada di balik telepon.
Sejenak Ustaz Zul terdia
Zaki masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Foto wanita yang berada di dalam ponsel itu sama persis dengan Sekar. Wanita yang selama ini sudah banyak sekali menolongnya. Bahkan ia kenal hampir beberapa hari tinggal di kontrakan yang sama."Sekarang anda percayakan dengan apa yang saya katakan? Ustaz Zul menatap pada Zaki yang masih mengarahkan tatapannya pada layar ponsel, melihat gambar seorang wanita yang sama persis dengan Sekar."Tidak, ini sungguh aneh sekali! Ini tidak mungkin terjadi!" Zaki menggeleng, seperti tidak percaya dengan apa yang ia lihat.Ustaz Zul mengambil kembali ponsel miliknya. "Sebentar lagi mantan suami Mbak Indah akan segera ke sini untuk menjemput beliau," tutur Ustaz Zul."Apa, mantan suami!" desis Zaki mengeryitkan dahi, wajahnya terlihat sangat bingung. Netranya memicing pada lelaki yang duduk di hadapannya."Iya, Mbak Indah dulu memiliki suam
Wanita yang baru menyelesaikan shalatnya itu segera memanjatkan doa untuk keselamatan Putri semata wayangnya. Gadis yatim yang selama ini menjadi penenang jiwanya."Ya Allah, engkaulah sebaik-baiknya pelindung, maka hamba mohon lindungilah Putri hamba dimanapun dia berada," lirih wanita paruh baya itu di akhiri dengan beberapa doa-doa mustajab sebelum ia mengakhiri dengan amin.Tok! Tok!Suara ketukan pintu itu hampir tidak terdengar. Karena riuh rame suara hujan yang beradu dengan atap yang terbuta dari seng di rumah Rani. Bergegas wanita paruh baya itu melepaskan kerudung yang ia kenakan dan berjalan menuju ke arah pintu. Sesaat ia melirik jam yang tergantung pada dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam."Siapa malam-malam begini bertamu ke rumah," tutur wanita itu seraya membenarkan kerudung yang ia kenakan sebelum akhirnya membuka pintu."Rani!" ibu Rani n
Jakarta ...Zaki dan Dimas akhirnya menceritakan semua yang terjadi kepada dosen pembimbing mereka. Dengan berlinang air mata, Zaki dan Dimas menceritakan kejadian demi kejadian yang mereka alami selama di Ranu Pani.Lelaki bertubuh tambun yang berdiri di hadapan Zaki dan Dimas mendengus berat, wajahnya nampak terlihat sangat sedih sekali mendengar cerita para mahasiswa tersebut."Baiklah, bagaimana kalau nanti siang kita datang ke rumah ibunya Rani. Beliau sepertinya belum tahu tentang kabar ini," tutur Dosen itu menatap kepada Dimas dan Zaki secara bergantian.Zaki dan Dimas tidak menjawab, beberapa saat mereka saling bersitatap. "Baiklah, Pak?" lirih Zaki kemudian."Oh, iya, lalu sekarang Yuda ada di mana? Sepertinya kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada anak itu," tutur lelaki bertubuh tambun menatap pada Zaki."Entahlah, Pak, kami berdua tid
Bendera kuning sudah terpasang di depan rumah Rani. Beberapa pelayat pun sudah hampir memenuhi rumah sederhana itu. Para teman-teman Rani datang silih berganti untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Rani pada keluarganya.Wanita dengan kerudung berwarna coklat itu hanya terdiam, airmatanya telah mengering karena terus menangis. Sorot matanya menatap pada peti berwarna putih yang ada di hadapannya. Tidak ada yang diperbolehkan untuk membuka peti itu, karena kondisi jasad Rani yang sudah rusak. Sekalipun keluarga terdekat."Bu, jenazah Rani akan di kebumikan!" bisik Zaki yang datang menghampiri Ibu Rani.Wanita paruh baya itu menarik tubuhnya ke dekat peti. "Pergilah yang tenang Nak, ibu baik-baik saja, ibu ikhlas!" bisik ibu Rani pada peti jenazah putrinya, suara berat itu terdengar menyayat hati.Seorang wanita menarik tubuh wanita paruh baya itu dari dekat peti Rani. Kemudian beberapa lelaki
Yuda tercekat, menatap dengan seksama lelaki yang berada di hadapannya. Tubuhnya menggigil ketakutan, pemuda itu memundurkan beberapa langkah kakinya kebelakang, sorot matanya seksama memperhatikan lelaki yang berdiri di hadapannya."Ada apa, Yud? Jangan bilang kamu mau meninggalkan aku!" cetus lelaki berkumis putih itu dengan nada mengejek. Semburat senyuman sinis tersungging dari kedua sudut bibir lelaki asing itu."Si-siapa kamu?" ucap Yuda terbata.Lelaki itu kembali tergelak, "Yuda, Yuda, kamu tidak akan pernah bisa pergi dariku," cetus lelaki itu.Yuda semakin bingung bercampur penasaran. Menatap ketakutan pada lelaki yang berada di hadapannya."Yuda, Yuda, kamu benar-benar tidak mengenaliku!" Lelaki itu terkekeh. Mulutnya membaca mantra dan beberapa saat kemudian sapuan angin berhembus kencang.Yuda hampir terjungkal, saat angin berputar-pu
"Tidak!" teriak Yuda melempar koper berisi kepala manusia itu. Bergegas Yuda turun dari dalam mobil dengan jantung memburu. Nafasnya menderu, ketakutan.Yuda menyapu pandangannya ke sekeliling hutan. Pemuda itu justru semakin ketakutan. Suara lolongan anjing saling bersahutan di seluruh penjuru hutan membuat suasana semakin mencekam."Om Parlin!" teriak Yuda. Keringat membahasi kening lelaki itu. Beberapa kali Yuda menyeka keringat yang membasahi pelipisnya, sorot matanya waspada memperhatikan ke sekeliling dengan wajah ketakutan.Srek ... Srek ....Suara benda yang diseret membuat Yuda melonjak ketakutan. Yuda menggeser tubuhnya ke dekat pintu mobil. Sesekali ia mengintip dari kaca mobil, kepala manusia yang berada di dalam koper pak Parlin masih tergeletak pada bangku belakang mobil dengan mata melotot dan mulut mengangah."Aduh ...! Bagaimana ini!" lirih Yuda semakin ketakutan
Suara tangisan terdengar menyayat hati. Zaki menyapu pandangannya ke sekeliling mencari sumber arah suara. Pekat malam yang semakin mencekam meramunkan pandangan. Sementara gerimis terus berjatuhan dari langit gelap.Hu ... Hu ...Zaki menyeret langkah kakinya masuk ke dalam hutan. Suara tangis yang mengema semakin terdengar jelas. Lelaki bertubuh atletis itu terus mengikuti sumber arah suara tangisan dan suara itu terhenti pada seorang wanita yang terduduk di bawah pohon besar dengan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang dipeluk, seperti orang yang sedang ketakutan."Hay, siapa kamu?" tanya Zaki perlahan mendekati wanita berambut panjang yang duduk di bawah pohon. Helaian rambut itu menutupi bagian depan wajahnya, hingga Zaki tidak dapat melihat wajah wanita itu.Gadis itu terus menangis, seolah tidak mendengar panggilan Zaki. Zaki pun semakin penasaran, lelaki itu berjalan semakin m
Zaki mengerjap bangun, nafasnya memburu dengan dada bergerak naik turun."Hanum! Hanum! Hanum!"Hanya nama itu yang keluar dari bibir Zaki. Satu tangan Zaki meremas kuat rambutnya hingga berantakan. Kemudian menyapu pada wajahnya. "Apakah tadi itu hanyalah mimpi!" desis Zaki dengan wajah berpikir. Bayangan itu benar-benar nyata.Beberapa saat Zaki hanya terdiam, satu tangannya mengusap lembut pada dadanya yang bergemuruh dan terasa begitu sakit sekali. "Hanum!" lirih Zaki dengan butiran bening yang membahasi pipinya. Lelaki itu terisak, mimpi itu seperti nyata._____Alunan musik melow menjadi lagu yang menemani perjalanan Zaki dan Dimas untuk menjemput Angga di rutan. Setelah penyelidikan dan bukti-bukti yang dikumpulkan, akhirnya Angga dinyatakan bebas dari kasus pembunuhan Siska."Aku tidak menyangka jika Yuda akan senekat itu. Aku kira Yuda adalah pria yang pendiam dan baik hati. Ternyata aku salah, di dalam kediaman Yuda menyimpan b