"Jangan! Jangan ambil anakku!" teriak Indah menangis histeris memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi rata. Wajahnya ketakutan dengan peluh yang membasahi. Seolah ia sedang melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh suaminya dan lelaki yang tidak hentinya merapalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di sampingnya.
Prapto masih terus menopang tubuh istrinya yang kini sedang kesurupan. Sementara seorang Ustadz Zul dan seorang lelaki yang mengenakan sorban putih tak hentinya melafalkan ayat-ayat dalam kitab suci.
"Haha ... Manusia munafik!" Suara indah kini terdengar serak hampir menyerupai suara nenek-nenek. Sorot matanya menatap tajam pada Ustadz Zul.
Ustadz Zul tersentak begitu juga dengan Prapto dan lelaki yang membersamai Ustadz Zul. Beberapa saat Ustadz Zul dan lelaki bersorban putih itu saling bersitatap, jika yang berada di dalam tubuh Indah bukanlah Indah melainkan Jin.
"Aslamualaikum!" jawab Ustadz Zul membalas tatapan Indah.
Indah menarik kedua sudut bibirnya tersenyum sinis. Wajah pucat dengan mata mendelik membuat wanita itu menjadi sangat menyeramkan.
"Jangan ikut campur dengan urusanku, manusia munafik!" desis Indah menampakan seringainya.
Prapto yang memegangi tangan Indah semakin ketakutan. Namun, ia harus tetap bertahan demi istrinya dan bayi yang berada di dalam kandungannya.
"Aku akan terus ikut campur dengan urusanmu, selama kamu masih menganggu wanita ini!" cetus Ustadz Zul dengan nada mengancam.
"Coba saja jika kamu bisa, Zul!" balas Indah penuh penekanan dengan suara khas seseorang seorang nenek tua.
"Kih ... kih ... kih!" Indah tertawa melengking.
Ustadz Zul dan lelaki yang membersamainya kembali melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Teriak suara Indah semakin melengking dan memekikan telinga. Kedua bola mata Indah mendelik menatap pada langit-langit kamar.
"Jangan! Jangan ambil anakku!" teriak Indah dengan suara serak. Jiwa Indah seperti sedang dipermainkan oleh Jin yang bersedia di dalam tubuhnya.
Propto memegang kuat-kuat tubuh Indah yang terus meronta dengan kuat.
Ustadz Zul dan sahabatnya semakin mengeraskan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan hal itu, semakin membuat makhluk halus yang berada di dalam tubuh Indah terus meronta-ronta.
"Panas! Panas!" teriak Indah kembali dengan suara wanita tua.
Ustadz Zul tidak peduli. Ia memejamkan kedua matanya dan terus melafalkan doa. Sementara Prapto semakin ketakutan melihat Indah yang sudah seperti setan. Ingin sekali Ia melepaskan tangannya dari tubuh Indah yang terus meronta.
"Panas, ampun! Ampun!" lirih Indah dengan suara serak. Tubuhnya yang masih berada di dalam kuncian Prapto perlahan melemas , tidak sekuat sebelumnya.
"Aku akan berhenti, asalkan kamu berjanji akan berhenti menganggu Indah!" sentak Ustadz Zul.
"Baiklah! Aku tidak akan menanggung Indah!" sahut Jin yang merasuki tubuhku Indah. Nafas Indah terdengar menderu dengan dada yang bergerak naik turun. Perlahan tubuhnya melemas seperti tidak bertenaga.
"Tapi berikanlah bayi itu untukku," ucap Jin itu pada Ustadz Zul diikuti tawa menyeramkan.
"Tidak! Kamu tidak akan bisa mengambil bayi Indah. Setan seperti kamu tidak berhak atas anak Adam!" sentak Ustadz Zul menaikan nada suaranya.
"Kih .. kih ... Kih! Ini bukan urusanmu manusia munafik. Keturunannya sudah memberikan bayi itu kepadaku. Atas sebuah janji yang sudah aku berikan kepadanya dan inilah saatnya aku menagih janji itu!" Suara wanita itu itu menggelegar, Prapto yang masih bertugas mengunci tubuh Indah semakin bergidik ngeri. Kedua tangannya memegangi kedua tangan indah dengan kuat dari belakang punggung Indah.
"Dasar iblis!" hardik Ustadz Zul geram. Ustadz Zul kembali membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Tubuh Indah melonjak membuat Prapto jatuh tersungkur membentur tembok. Indah melayang-layang di udara dengan bola mata hitam menatap bengis pada Ustadz Zul. Kedua tangannya siap mencengkram siapa saja yang berada di depannya.
"Aku akan membunuhmu, manusia munafik!" sergah Indah dengan nada mengancam pada Ustadz Zul yang tidak peduli. Bibir lelaki terus berkomat kami membaca ayat-ayat Allah untuk meminta perlindungan.
Wus!
Wus!
Tubuh Indah melayang menyerang Ustadz Zul dan mencekik kuat leher lelaki itu.
"Aku akan membunuhmu saat ini juga, manusia munafik!" hardik Indah memperkuat cengkraman tangannya pada leher Ustadz Zul yang terus melafalkan doa. Perlahan Ustadz Zul mulai kesulitan untuk bernafas. Kedua tangannya menyentuh pergelangan tangan Indah yang sedang mencekiknya.
Lelaki yang membersamai Ustadz Zul menarik tubuh Indah yang melayang-layang di udara. Menghempaskanya kasar hingga membentur tembok.
Argh ....!
Indah mengerang kesakitan. "Sialan kamu!" Sorot mata Indah tertuju pada lelaki yang membantu Ustadz Zul. Tubuhnya menggeliat kesakitan.
"Ustadz, ustadz baik-baik saja!" dengan wajah panik lelaki bernama Firman itu membantu Ustadz Zul untuk bangkit.
"Aku baik-baik saja, Firman!" sahut Ustadz Zul memegangi lehernya yang hampir putus oleh cekikan Indah.
Indah bangkit, merayap pada dinding kamar. Suara tawanya melingking memenuhi kamar berdiding serba putih itu. Bola mata hitam itu tertuju pada Ustadz Zul dan Firman, asisten Ustadz Zul.
"Sepertinya ini bukanlah jin sembarangan, Ustadz!" bisik Firman mendekatkan wajahnya pada telinga Ustadz Zul. Sorot matanya tertuju pada Indah yang berhenti merayap pada dinding.
"Tidak akan ada manusia yang bisa lepas dari godaaku. Karena selamanya aku akan menyesatkan semua anak cucu Adam. Kih ... kih ...!" Indah menampakan seringainya pada Ustadz Zul.
Ustadz Zul memutar tasbih yang berada di tangannya. Sementara Firman kembali membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Wus ...
Bruak!
Ustadz Zul melepar tasbih yang berada di tangannya ke arah Indah. Tubuh Indah terjatuh setelah hembusan angin yang mampu menjebolkan jendela kamar Indah itu datang.
Suasana menjadi hening, Indah tidak sadarkan diri. Prapto yang sedari tadi meringsek ketakutan di sudut kamar perlahan meregangkan tubuhnya yang terasa remuk.
"Alhamdulillah!" lirih Ustadz Zul menyapu wajahnya dengan kedua tangan. Begitu juga dengan Firman, asisten Ustadz Zul.
"Mas Prapto, silahkan tolong Mbak Indah!" ucap Ustadz Zul menoleh ke arah Prapto yang ketakutan.
"Apakah sudah aman?" tanya Prapto ragu untuk mendekati Indah, istrinya.
"Aman, Mas!" sahut Ustadz Zul.
"Ustadz, ada darah!" Firman melihat darah segar mengalir dari kedua kaki Indah.
"Inalillahi wa innailaihi rojiun!" ucap Ustadz Zul dengan wajah getir.
"Sepertinya kita sudah gagal, Ustadz!" imbuh Firman.
Prapto berjalan merayap menghampiri Indah. Kalinya seperti kehilangan tenaga.
"Dek, bangun, Dek!" lirih Prapto meneteskan air mata. Lelaki itu meletakkan kepala Indah yang pucat di atas pangkuannya.
"Firman, panggilkan ambulan!" titah Ustadz Zul pada lelaki yang berdiri mensejajarinya.
"Baik Ustadz!" Firman memutar tubuhnya menuju pintu keluar.
Ustadz Zul menghampiri Prapto yang terisak. "Sabar Mas Prapto!" tutur Ustadz Zul mengusap lembut bahu Prapto yang bergerak naik turun.
"Bagaimana saya tidak sedikit Ustadz, kehamilan Indah selalu berakhir seperti ini. Ya Allah anakku!" tangis Prapto memeluk wajah Indah.
"Sabar Mas! Semoga tidak terjadi apapun pada Indah dan bayi yang berada di dalam kandungannya," hibur Ustadz Zul. Meskipun sudah jelas jika bayi di dalam rahim Indah mengalami keguguran.
*****
Bersambung ....
Indah masih tergulai lemah di atas bedpasian. Kedua matanya terpejam sedari tadi. Prapto masih terjaga menunggui istrinya, meskipun sesekali rasa kantuk datang menyerang."Selamat malam, Bapak!" ucap seorang wanita berseragam putih melemparkan senyum pada Prapto yang tersadar.Prapto mengusap kedua matanya yang terasa lengket untuk beberapa saat."Iya, Dok!" jawab Prapto kemudian. Menunggu Dokter memeriksa keadaan Indah."Bagaimana dengan keadaan istri saya, Dok?" tanya Prapto."Menurut hasil pemeriksaan, istri bapak tidak hamil. Bahkan kandungan istri Bapak masih norma tidak ada bekas janin sama sekali dan pendarahan yang terjadi infeksi yang terjadi pada kandungannya," tutur Suster pada Prapto yang mengeryitkan dahi menatap bingung."Tapi, bagaimana bisa Dok? Beberapa waktu yang lalu istri saya jelas-jelas hamil Dokter, dan sekarang Dokter mengatakan bahwa istri saya tid
"Mas, sudah di cek belum tadi kelapa yang ada di truk Adin?" ucap Lastri pada salah satu anak buahnya yang berada di dalam gudang kelapa."Sudah Bu! Tadi ada10000butir sudah berangkat kirim ke Jawa tengah," sahut karyawan itu kepada Lastri."Jangan lupa, pastikan semua barang sampai pada konsumen tepat waktu agar kwalitasnya masih bagus." Lastri menyodorkan tumpukan kertas kepada Parjo, asisten yang mengecek semua kelapa yang masuk dan keluar dari dalam gudang Lastri."Siap Bos!" sahut Parjo.Siapa yang tidak mengenal Lastri, wanita pekerja keras yang gigih dan tidak gampang menyerah. Dulu, Lastri hanyalah seorang penjual arang batok kelapa. Tapi, kini ia sudah menjadi bos kelapa terbesar yang memasok kebutuhan kelapa di berbagai daerah di seluruh pulau Jawa, bahkan terkadang sampai ke luar negeri . Banyak lahan para penduduk Ranupani yang dibeli oleh Lastri untuk dijadikan kebun kelapa milikny
Argh!Indah mengerang memperkuat cengkramannya pada leher Prapto."Le-lepaskan, Dek!" lirih Prapto terbata. Nafasnya mulai tersengal dan hampir putus. Perlahan wajah Prapto terlihat semakin pucat.Bough!Indah melempar tubuh Prapto kesembarang tempat. Prapto terpelanting membentur tembok di sebelah kanan ranjangnya.Prapto meringis kesakitan. Dipegangnya pinggang dan leher bekas cekikan Indah yang serasa remuk. Prapto tidak habis pikir, setan apa yang kini sedang merasuki istrinya.Mulut Prapto berkomat Kamit. Perlahan ia bangkit dengan nafas tersengal.Wus ... Wus ... Wus ...Tubuh Prapto tiba-tiba terangkat ke udara. Saat Indah mengerakan kedua telapak tangannya. Wanita itu seperti mengendalikan tubuh Prapto dengan kedua tangannya."Tolong! Tolong!" Teriak Prapto ketakutan. Ia berusaha melambai-lambaikan tangannya agar bisa tu
Suara gamelan itu masih terdengar sepanjang perjalanan. Abah terus memacu mobil jeeb tua berwarna biru miliknya menebus hutan pinus yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Semakin laju mobil itu dipacu, seolah semakin mendekati arah suara musik tradisional itu. Tak hentinya bibir berdzikir mengingat Allah. Sepertinya ia tahu, suara gamelan yang ia dengar adalah sebuah pertanda buruk.Netra Abah menatap arah jalanan yang berada di depan kaca mobil. Meskipun kini kaca mobil itu dipenuhi dengan butiran gerimis air hujan yang mulai mengguyur. Wiper pada mobil jeeb tua itu berlenggang kekanan kekiri untuk menghapus jejak hujan yang semakin deras. Sejak tadi sore Ustadz Zul meminta pertolongan kepada Abah untuk datang ke kediaman Indah. Karena jarak yang ditempuh ke rumah Indah lumayan jauh, kemungkinan Abah akan tiba di sana tangah malam.Bibir Abah tidak berhenti terus mengucap takbir di sepanjan
Tejo masih berdiri di depan halaman rumah Indah sejak Indah menutup pintu rumahnya. Wanita dengan wajah pucat itu masih sempat mengantarkan Tejo berpamitan hingga ke ambang pintu."Hati-hati ya Pak De! Terimakasih sudah datang untuk menjengukku!" tutur Indah saat mengantarkan Tejo berpamitan.Sesekali lelaki yang memiliki kumis tebal itu menoleh ke kanan, ke kiri serta ke sekeliling rumah Indah. Setelah memastikan tidak ada siapapun, Tejo segera menaburkan sesuatu benda yang ia ambil dari dalam saku celananya."Mampus kamu, Sulastri! Sebentar lagi akan tamat riwayatmu!" guman Tejo dengan tersenyum kemenangan. Lelaki itu menyebar bujuk garam di sepanjang halaman rumah Indah dengan mulut berkomat-kamit melafalkan mantra."Pak De Tejo!"Tejo tergeragap. Jantungnya seperti lepas' dari tempurungnya saat seseorang menepuk lembut bahu lelaki berkumis tebal itu. Hampir saja ulahnya ketahuan. Untun
Prapto membuka kedua matanya dengan perlahan. Satu tangannya memegang pelipis yang terasa nyeri akibat benturan semalam. Sinar surya yang masuk melalui sela-sela jendela semakin panas menyentuh pori-pori kulit Prapto."Indah!" Benak Prapto teringat dengan istrinya. Prapto bergegas bangkit dan berlari menuju kamar.Cekriet!Prapto mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Indah. Hanya ada selimut tebal yang gumul di atas rajang."Indah buka ya?" pikir Prapto ragu dengan rasa penasaran. Perlahan Prapto pun mendekati ranjang. Jantungnya berdegup kencang saat tanganya bergetar hendak menarik selimut yang bergumul di atas ranjang."Alhamdulillah!" Prapto mengelus dada, saat melihat Indah yang berada di balik selimut itu."Ya Allah, Dek!" Prapto menjatuhkan pelukan pada tubuh Indah yang masih terlelap membuat Indah mengeliat dan tersadar.
Darah kental mengenang di sekitar kepala Seno. Bola mata melotot menahan dahsyatnya maut menjemput masih tersisa. Lidah Seno menjulur hingga bagian dagu, tubuhnya menegang dan kejang berkali kali.Indah meraung raung melihat jasad bapaknya yang kini ada di hadapannya. Tubuh yang bergetar ditahan oleh Prapto agar tidak mendekati jasad Seno yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. Sementara Lastri, masih berdiri menyilangkan tangannya di depan dada tanpa rasa kehilangan sedikit pun.Seluruh karyawan Lastri berkerumun di halaman belakang rumah minimalisnya. Untuk menyaksikan kematian suami majikannya."Bapak! Huhuhu ...." Indah terus meraung, memanggil nama bapaknya berkali kali."Kenapa bisa begini? Ya ampun Bapak, huhuhu ... !" Kini giliran Lastri yang menangis histeris melihat jasad suaminya. Setelah beberapa saat ia diam terpaku.***Jenazah Seno sudah berada di ruangan tam
Prapto masih memandang langit-langit kamar. Ia sudah menganti beberapa kali posisi tidurnya. Namun, tepat saja rasa kantuk tak kunjung datang."Duh, bagaimana ini, aku nggak bisa tidur!" kesal Prapto pada dirinya sendiri."Wik ... wik ... wik ... bakaran!" Suara burung itu terdengar begitu nyaring di heningnya malam. Burung yang menurut kepercayaan orang Jawa adalah burung pembawa kematian."Duh, ada apalagi ini!" Siapa yang mau mati!" guman Prapto takut. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya."Jangan! Jangan ambil anakku! Kembalikan, kembalikan dia padaku!" Indah mengigau dengan wajah ketakutan."Astaghfirullahaladzim!" Prapto megusap dada terkejut.Propto menarik selimut yang menutupi wajahnya. Lalu mengoyangkan tubuh Indah yang berbaring di sampingnya."Dek! Dek Indah! Bangun!" ucap Prapto serays mengoyangkan tubuh Indah.