Share

Berikan Iblis Tumbal Darah dan Jantung

"Sudah disiapkan?Tapi saya ...," Seketika Mario menutup bibirnya rapat-rapat saat melihat mata Mbah Suro yang merah, menatap marah.

"I-iya, Mbah. Apa yang harus saya lakukan sebagai ritual persembahan?" tanya Mario dengan suara bergetar.

"Tepat tengah malam nanti, pergilah ke kebun pisang yang tadi kamu lewati. Tebang salah satu pohon yang sudah berbunga. Ambil jantung pisangnya dan bawa kemari!" perintah Mbah Suro. Andi melirik jam di tangan kirinya. Saat itu sudah menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit. Artinya sudah hampir tengah malam.

"Kalau begitu, sekarang kami berangkat ke kebun, Mbah," ucap Andi sambil menarik tangan Mario agar mengikutinya ke kebun pisang.

"Tunggu!" seru Mbah Suro menghentikan langkah keduanya.

"Ada apa, Mbah?" tanya Mario.

"Pakai keris ini untuk mengambil jantung pisang!" ucap Mbah Suro seraya menyerahkan keris yang ada dalam nampan bambu. Mario langsung menerima keris itu dari tangan Mbah Suro. Alangkah terkejutnya saat dia memegang gagang keris yang terlihat kecil itu. Ada getaran yang tak biasa dia rasakan pada tangannya. Rasa panas langsung menyerang tubuhnya, dan hawa membunuh tepancar di matanya.

Secepat kilat dia segera bangkit dan menuju kebun pisang. Tanpa banyak bicara dia menuju salah satu pohon yang sudah berbunga dan mengeluarkan buahnya hingga menyisakan jantung pisang yang ranum.

Mario menusukkan keris yang diberikan oleh Mbah Suro ke batang pohon pisang itu. Sementara Andi memperhatikan di belakangnya.

"Pak, jangan! Adek masih mau hidup! Adek masih sayang Bapak!" Tiba-tiba, Mario seperti mendengar suara rintihan Ranti kecil, putri bungsunya yang berusia enam tahun. Dia terhenyak, mencoba mencari ke segala arah suara rintihan itu. Namun yang terlihat di sekelilingnya hanya kegelapan yang menakutkan.

Kembali dia mencoba menebas batang pohon pisang itu.

"Aahhh!"

Terdengar suara jeritan yang menyayat hati. Kembali Mario menghentikan gerakannya dan melihat ke arah batang pisang itu.

"Darah! Ndi, kenapa batang pisang ini mengeluarkan getah darah?" teriak Mario merasa terkejut. Andi yang berada di belakangnya menyahuti,"Bodoh, itu getah pisang! Bukan darah. Kamu hanya sedang berhalusinasi saja," ucapnya.

"Cepat, tengah malam hampir berlalu!" teriak Andi memberi semangat agar Mario melanjutkan menebang pohon pisang.

Kali ini, laki-laki yang sudah terhasut godaan setan itu segera menuntaskan pekerjaannya tanpa memedulikan lagi suara teriakan kesakitan dan getah darah yang keluar dari batang pisang.

Setelah batang pisang itu roboh, Mario segera mengambil jantungnya dan segera kembali ke dalam rumah Mbah Suro Gendam.

"Ini, Mbah! Jantung pisangnya sudah saya ambil," ucap Mario sambil meletakkan bawaannya di hadapan Sang dukun.

"Letakkan di atas nampan bambu, lalu siram dengan tetesan darahmu dalam mangkuk itu!" perintah Mbah Suro lagi.

Mario menuruti semua perkataan Sang dukun.

"Ratakan, setelah itu biarkan di sana!" perintahnya lagi. Selama Mario melakukan pekerjaannya, tampak mulut Mbah Suro terus komat-kamit seperti membaca mantra.

"Wahai Iblis ... Raja Kera ... Raja Kegelapan ... Terimalah tumbal persembahan yang dibawa oleh abdimu Mario ini!" Tiba-tiba, Mbah Suro berteriak lantang sambil merentangkan kedua tangannya ke samping, masih dalam posisi duduk bersila dan mata terpejam.

Suara angin puyuh tiba-tiba melingkupi ruangan tersebut, seperti ada kekuatan dahsyat yang datang. Kegelapan semakin menyelimuti seluruh ruangan. Mario dan Andi tak berani melihat dan hanya merapatkan kedua matanya.

Kejadian itu hanya berlangsung sesaat, di detik berikutnya, semua kembali tenang.

Namun saat Mario dan Andi membuka matanya, jantung pisang yang berlumur darah Mario sudah lenyap.

***

Di Rumah Mario saat itu terjadi kepanikan.

Indah tampak menangis meraung memeluk putri kecilnya Ranti yang sudah terkulai lemas dalam pelukannya. Matanya melotot seperti menahan sakit yang sangat, sementara tangannya masih memegangi bagian dada kirinya yang terus mengeluarkan darah segar tanpa ada yang terluka.

Indah menjerit sejadi-jadinya, menyaksikan penderitaan Ranti, Sang Buah hati. Hatinya merasa sangat teriris.

"Ranti, anak emak. Maafkan emak yang tak sanggup membawa kamu ke dokter, Nak! Maafkan Emak!" Indah menangis dan terus memeluk putrinya yang kini sudah tak bernyawa lagi itu.

Padahal beberapa jam yang lalu, kondisi Ranti sudah cukup membaik, demamnya sudah mulai turun.

(Flashback beberapa jam sebelumnya)

"Angga, coba kamu cek ke depan. Siapa tahu bapakmu sudah pulang. Emak khawatir sampai malam begini belum juga pulang!" perintah Indah pada putra sulungnya.

"Iya, Mak," jawab Angga dan segera pergi dengan patuh.

Indah meletakkan tubuh kurus putri bungsunya, Ranti, ke atas dipan bambu yang hanya satu-satunya di gubug kecil mereka.

Indah cukup lega, setelah menelan beberapa suap bubur nasi yang dibuatnya, kondisi Ranti sudah lebih baik dan sudah bisa tertidur pulas di pangkuannya.

Setelah meletakkan Ranti, dia berniat untuk makan sedikit sisa bubur di panci.

Sejenak dia melirik jam dinding usang di atas dipan.

"Sudah jam sepuluh malam tapi Mas Rio belum pulang juga. Kemana dia? semoga tidak terjadi apa-apa padanya," guman Indah penuh harap. Rio adalah panggilannya untuk Mario, suaminya.

Tak berapa lama, Angga sudah kembali dari luar.

"Mak, Pak Karto bilang sore tadi lihat Bapak ada di jembatan sedang melamun. Katanya sempat ditegur, tapi Bapak tidak dengar," cerita Angga.

Indah terdiam sesaat, ada perasaan tak enak yang langsung menyerangnya.

"Ya, Tuhan! Semoga Mas Rio baik-baik saja," doanya dalam hati.

"Ya, sudah! Kamu tidur saja dulu. Besok sekolah pagi, kan?" ucap Indah pada Angga.

"Iya, Mak. Angga juga udah ngantuk," jawabnya.

Angga langsung mengambil bantal dan merebahkan tubuhnya di atas kursi bambu panjang yang ada di sudut ruangan.

Tak lama terdengar dengkuran halusnya. Sepertinya, dia memang lelah dan mengantuk.

Indah tak mampu memejamkan matanya, sesekali melirik ke arah pintu, berharap suaminya mengetuk pintu.

Merebahkan sejenak tubuhnya di samping Ranti. Bangun lagi sambil melirik jam. Suara jangkrik dan burung hantu memecah keheningan malam.

Tepat jam duabelas malam, Ranti yang tertidur pulas tiba-tiba menjerit histeris.

"Makkk! Ada monyet besar!" teriaknya ketakutan. Bola matanya berputar melihat ke atas.

"Sayang, nggak ada apa-apa di sana. Emak nggak lihat apapun," Indah langsung memeluk erat tubuh Ranti yang demamnya kembali tinggi, tubuhnya seperti terbakar saat memeluk putri kecilnya itu.

"Itu, Mak. Serem banget. Monyet itu bawa keris, Mak. Dia mau ajak Ranti," Gadis kecil itu kembali menjerit dan memeluk tubuh Indah. Tubuhnya yang kecil mengeluarkan keringat dingin dan gemetar ketakutan.

"Ya, Tuhan. Mas Rio, kamu di mana, sih? Anakmu kenapa ini, Mas. Aku takut," rintih hati Indah. Batinnya terasa perih memikirkan putrinya yang ketakutan dan juga suaminya yang belum juga pulang.

"Makk, sakit semua badan Ranti. Dada Ranti kayak ada yang nusuk-nusuk, Mak!" teriak Ranti sambil memegangi dada kirinya yang tiba-tiba mengeluarkan darah segar.

"Rantiiiii, kamu kenapa, Sayang?" Indah nyaris pingsan menyaksikan semua itu.

"Mak, Bapak ... Monyet itu!" Ranti menggapai-gapaikan tangannya ke atas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status