Share

Sanggupkah Membayar Harga Tumbal

Para kera yang awalnya garang dan sudah bersiap melumatkan kedua orang yang berdiri di tengah-tengah mereka seketika diam tak bergerak.

Tanpa sadar kedua tangan Mario dan Andi saling bertaut dengan erat, seperti layaknya sepasang kekasih yang jatuh cinta.

"Anak-anak muda, jika kalian datang untuk mengacaukan negaraku, pergilah segera sebelum tentaraku menghancurkan kalian!"

Seorang kakek dengan tongkat berkepala kera hitam tampak berjalan tertatih, keluar dari kerumunan kera yang ada di lapangan luas tersebut.

Di sisi kanan kiri dan belakangnya dikawal beberapa ekor kera putih yang tampak gagah dan matanya merah. Mereka menatap sangar ke arah Mario dan Andi, bersiap melakukan serangan jika diperintah oleh Sang Kakek yang berjubah hitam dan juga memakai belangkon warna hitam.

"Maafkan kedatangan kami yang mengganggu ketenangan di sini, Kek. Kami datang untuk mengabdi dan mengikat perjanjian dengan Raja kegelapan," jawab Andi pelan dan bergetar.

"Hahaha! Manusia-manusia bodoh!" kekeh Sang kakek bertongkat kepala kera itu sambil mengusap janggut panjangnya yang sebagian sudah mulai memutih.

"Iya, Kek. Kami sudah tidak tahan hidup dalam kemiskinan," Kali ini Mario memberanikan diri untuk memjawab.

"Su'usakti, bawa mereka ke istanaku!"

Entah siapa yang diperintah oleh kakek tua itu. Dia langsung berbalik dengan cepat menuju rumahnya. Yang aneh bagi Mario dan Andi adalah saat kakek itu melangkah, terlihat seperti berjalan tertatih dan perlahan. Namun, di kejapan mata berikutnya Sang Kakek sudah berada di depan pintu rumah bambu.

"Kemana kakek tadi?" tanya Mario bingung.

"Pondok itu," jawab Andi acuh tak acuh.

Saat kedua orang itu masih terkesima menatap kepergian kakek tadi, tiba-tiba seekor kera hitam yang paling besar di antara yang hadir menyambar tangan mereka dan melemparkan keduanya tepat di depan pintu masuk. Betapa terkejut dan takutnya mereka hingga langsung terhuyung saat mendarat. Tak pernah terbayangkan bahwa mereka akan dilemparkan dengan begitu ringannya oleh seekor kera.

"Masuk!"

Terdengar perintah keras dari dalam. Mario dan Andi pun segera melesat masuk ke dalam rumah yang terlihat besar namun suram itu.

"Duduk!" perintah kakek itu lagi. Dia menunjuk pada tikar pandan lusuh yang ada di ruangan itu. Di tengah-tengah tikar sudah ada satu set sesaji dan pedupaan lengkap di atas nampan bambu dengan kembang tujuh rupa, kemenyan, segulung perlengkapan 'nyirih'*, dan semangkuk air yang terlihat putih keruh.

Sang Kakek duduk bersila di depan pedupaan itu. Wajahnya terlihat serius menatap nampan bambu, sementara bibirnya komat-kamit seperti membaca mantra.

Selain bau kemenyan yang menyengat, masih tercium bau anyir darah dan busuk yang kuat dari dalam rumah tersebut.

Mario dan Andi segera bersila di hadapan kakek berjubah hitam itu.

"Panggil aku Mbah Suro Gendam!" Kakek itu memperkenalkan dirinya.

"Iya, Mbah Suro," sahut Mario dan Andi hampir bersamaan.

"Siapa di antara kalian yang ingin mengikat perjanjian dengan raja kegelapan?" tanya kakek itu dengan suara serak, namun terdengar menyeramkan.

"Sa ... Saya, Kek," jawab Mario pelan.

"Bagus! Apa kamu tahu, harga yang harus kamu bayar untuk mendapatkan keinginan kamu itu?" tanya Mbah Suro gendam, menatap tajam ke arah Mario.

"Mohon maaf, Mbah. Saya belum tahu," jawab Mario ragu, takut memancing kemarahan Sang Kakek.

"Aku hanya menjadi perantara antara kamu dengan Iblis penguasa kegelapan di Lembah Monyet ini," ujar Mbah Suro.

"Untuk bisa mencapai keinginanmu, ada syarat yang harus kamu penuhi!" tambahnya, sementara tangannya sibuk menambahkan butiran kemenyan dalam api dupa.

"Saya bersedia menerima syarat itu, Mbah," ucap Mario seraya menangkupkan telapak tangannya di depan keningnya.

"Kamu juga harus tahu, setelah perjanjian ini diucapkan, tak ada jalan bagimu untuk kembali. Setiap tiga purnama kamu harus membawakan tumbal untuk Raja kera. Kalau tidak maka nyawamu yang akan menjadi penggantinya. Paham!" Mbah Suro menjelaskan.

Sejenak Mario merasakann sesak saat membayangkan jika dirinya yang harus menjadi tumbal.

Namun, akhirnya dengan yakin dia menjawab,"Saya siap, Mbah!"

"Di ujung napasmu kelak, kamu tidak akan pernah kembali pada Tuhanmu. Aku akan membawa jiwamu untuk mengabdi dan menjadi budakku di lembah ini!" Mbah Suro kembali melanjutkan ucapannya yang membuat bulu kuduk merinding.

Mario tampak sedikit ragu.

Tiba-tiba, Mbah Suro bangkit dari duduknya.

"Ikut aku!" perintahnya sambil melangkah ke bagian belakang pondok tersebut. Mario dan Andi saling berpandangan sejenak, baru kemudian bangun menyusul Mbah Suro Gendam.

Saat Sang Kakek membuka pintu belakang rumah bambunya, terlihat pemandangan yang sangat miris. Membuat nyali siapa saja yang melihatnya menjadi ciut dan ketakutan.

Di bawah cahaya bulan, tampak ribuan orang yang berkepala kera sedang bekerja keras mengangangkat batu-batu dan menjadikannya sebuah bangunan. Yang makin membuat bulu kuduk berdiri, orang-orang itu bukan saja terdiri dari orang dewasa. Banyak di antara mereka adalah anak kecil dan juga wanita. Ratusan kera putih berada di antara mereka sambil memegang cambuk yang mengeluarkan api.

Jika ada di antara mereka yang salah atau lalai dalam melakukan pekerjaan, maka kera putih yang ada di dekatnya akan langsung melayangkan cambukan ke tubuh orang itu hingga menjerit kesakitan dan terkapar. Namun harus langsung bangkit kembali. Yang aneh, jeritan mereka adalah suara kera, bukan manusia pada umumnya.

"Kalian tahu, siapa mereka?" tanya Mbah Suro menunjuk pada ribuan orang tersebut.

"Tidak, Mbah ," jawab Mario pelan.

"Mereka adalah orang-orang yang telah ditumbalkan dan juga orang yang sudah sampai akhir masa perjanjian dengan Iblis, Raja kera," jawab Mbah Suro tenang dan dalam.

"Kamu juga akan menjadi bagian dari mereka setelah sampai pada masa perjanjian berakhir," lanjutnya, membuat tubuh kedua orang itu bergetar.

"Apa kamu siap?" tanya Mbah Suro langsung menutup pintu dan melangkah kembali ke depan sesaji.

Sejenak Mario menjadi ragu, namun bayangan wajah penuh hinaan dari tetangga dan airmata anak dan istrinya membuatnya membulatkan tekad dan kembali duduk bersila di hadapan Mbah Suro.

"Kalau kamu siap, akan segera kita lakukan syaratnya sebelum tengah malam. Jika kamu mundur, kamu bisa mencari jalan pulang sendiri. Aku tidak akan bertanggung jawab dengan apa yang akan kamu alami di jalan!" Ucapan itu seperti memberikan pilihan, namun sesungguhnya adalah sebuah ancaman. Bahwa tak ada lagi jalan untuk kembali ke rumah dengan selamat.

"Saya si ... siap, Mbah!" jawab Mario tak berdaya.

"Kepalang tanggung, apapun resikonya aku harus menghadapinya," pikir Mario.

"Pertama, masukkan tujuh tetes darahmu ke dalam mangkuk itu!" perintah Mbah Suro, menunjuk pada mangkuk yang berisi air berwarna putih. Di sampingnya telah tersedia pisau kecil.

Mario mengambil pisau itu dan menyayat jari telunjuknya sendiri hingga mengeluarkan darah. Segera dia meneteskan darah yang keluar ke dalam mangkuk sebanyak tujuh tetes.

Seketika, air dalam mangkuk tersebut berubah warna menjadi merah kehitaman. Rasa nyeri pada jarinya yang tersayat tak dirasakannya. Bau anyir pun menguar ke seluruh ruangan.

"Bagus!" ucap Sang Kakek, kemudian menyayat jarinya sendiri, menggabungkan darahnya dengan darah Mario di dalam mangkuk.

Saat darah Mbah Suro jatuh ke dalam mangkuk, terlihat kepulan asap tipis keluar dari dalam mangkuk itu.

"Aku di sini hanya sebagai penghubung antara kamu dan Raja Iblis. Dia akan menerima perjanjian ini setelah kamu menyerahkan tumbal untuknya," ucap Mbah Suro menegaskan.

Mario tersentak mendengarnya, wajahnya terlihat pucat.

"Tapi saat ini saya belum ada calon korban untuk ditumbalkan, Mbah,"

"Tumbal itu sudah disiapkan, kamu hanya tinggal melakukan ritualnya saja!" jawab Mbah Suro Gendam dengan senyum misterius.

"Ikuti ucapanku!" perintahnya tegas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status