Share

Anakmu Adalah Tumbal Pertama

Angga yang sedang tertidur pulas, seketika terbangun mendengar teriakan adiknya.

"Ranti kenapa, Mak?" tanya Angga dengan gugup dan panik. Apalagi melihat keadaannya yang sangat mengerikan.

"Nggak tahu, nih. Dari tadi menunjuk ke atas dan bilang ada monyet bawa keris. Angga, tolong panggil Pak RT, Emak takut!" Indah sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya bisa menangis dan memeluk tubuh Ranti yang sudah tak bernyawa dan bersimbah darah, padahal tak ada luka. Angga segera berlari keluar, tak peduli dengan gelapnya malam. Dia hanya ingin menyelamatkan adiknya.

"Ada apa, Bu Indah?" tanya Pak Rustam, selaku ketua RT Kampung Duren saat tiba di rumah mereka, setengah jam kemudian.

"Hiks ... hiks ... Anak saya, Pak. Tolong anak saya, Pak!" Indah hanya bisa meraung sambil terus memeluk erat tubuh Ranti yang sudah meninggal.

"Iya, Bu Indah. Tenang dulu, jelaskan apa yang terjadi dengan anak Ibu?" tanya Pak Rustam dengan lembut sambil menatap tubuh Ranti dalam pelukan Indah.

"Ini, Pak. Dada anak saya terus mengeluarkan darah, padahal tak ada yang luka," ucap Indah bermaksud menunjukkan keanehan yang terjadi.

Ajaib! Pada saat itu, darah yang tadi mengalir deras hingga membasahi pakaiannya dan juga Indah, seketika lenyap begitu saja, seolah tak pernah ada. Indah dan Angga yang benar-benar menyaksikan semuanya menjadi terkejut dan terdiam.

"Mak, kok, ilang darahnya. Angga juga lihat tadi?" Angga bengong sambil menunjuk pada adiknya.

"Rantiiii ... sebenarnya kamu kenapa, Nak? Bangun, Sayang!" Indah masih tak percaya dan terus mengguncang tubuh kecil itu.

"Sabar, Bu Indah! Biar saya periksa keadaan anak Ibu," ucap Pak Rustam seraya menarik tangan Ranti dan memeriksa denyut nadinya.

"Mohon maaf, Bu Indah. Sepertinya putri Ibu sudah meninggal. Biarkan dia meninggal dengan tenang, Bu. Letakkan dia di dipan!" ucap Pak Rustam lembut, dia merasa prihatin dengan kondisi Indah saat itu.

"Pak Mario ada di mana, Bu?" tanya Pak Rustam yang menyadari ketidak hadiran Mario.

"Tidak tahu, Pak. Sejak pagi dia keluar, katanya mau cari uang buat ke dokter. Tapi sampai sekarang belum pulang. Saya juga khawatir memikirkan keberadaannya sekarang," jawab Indah sambil menyusut hidungnya. Pak RT hanya bisa mengangguk, merenung sesaat.

"Angga, kamu pukul kentongan di pos ronda untuk mengumpulkan warga, kalau takut, ketuk saja rumah Pak Karto di depan. Bilang, saya yang perintah!" Pak Rustam mengantar Angga ke pintu dan mengawasinya mengetuk pintu rumah Pak Karto yang berada tepat di depan rumah Mario.

Setelah Pak Karto keluar, Pak Rustam langsung melambaikan tangan ke arahnya.

Melihat kehadiran Pak RT, Pak Karto segera datang menghampiri.

"Ada apa, Pak RT?" tanya Pak Karto yang bertubuh agak gemuk itu. Dia hanya mengenakan kaos oblong dan sarung.

"Putri Pak Mario meninggal. Segera kumpulkan warga yang lain dan kumpulkan bantuan! Saya akan mengurus pemakamannya besok!" Pak Rustam memberi arahan.

"Inna Lillahi wa Inna ilaihi Raji'un ... Baik, Pak! Saya ganti pakaian dulu," jawab Pak Karto cepat dan berlalu kembali ke rumahnya untuk berganti pakaian.

Hingga pukul empat pagi saat azan subuh berkumandang, Indah masih terisak-isak di samping jasad Ranti yang telah diletakkan di dipan. Matanya bengkak karena terlalu lama menangis. Pikirannya kacau, apalagi sampai saat ini, suaminya belum juga pulang.

"Sebenarnya kamu ke mana, Mas? Anakmu meninggal kamu sampai tidak tahu," gumam Indah dalam isakannya yang memilukan.

Sementara Angga, putra sulungnya yang saat itu sudah duduk di bangku kelas dua SMP tampak duduk bersila sambil membaca beberapa surat dari Al-Qur'an.

Kedua Ibu dan anak itu sungguh tak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Mario saat ini, bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kekayaan..

Menjelang matahari mulai menampakkan sinar jingga di ufuk timur, jenazah Ranti sudah selesai dimandikan dan disholatkan.

Kini, jasad itu sudah terbungkus kafan putih.

Mario yang baru tiba di depan gerbang rumahnya, tertegun melihat sudah banyak tetangga yang berkumpul. Di bahunya, bergelayut manja seekor kera berukuran kecil. Nampak sangat jinak.

Pak Rustam langsung menyambutnya dan menepuk pundak Mario yang terlihat sangat gugup dan terkejut.

"Ada apa di rumah saya, Pak RT? Kok, banyak sekali orang?" tanya Mario dengan cemas. Dia melangkah cepat tanpa menoleh kiri-kanan seolah tak peduli pada orang yang berkumpul di sana.

"Yang sabar ya, Pak! Sebenarnya Pak Mario dari mana?" tanya Pak Rustam penasaran juga melihat suami Indah yang baru pulang dengan pakaian dan tubuh yang lusuh itu. Matanya menatap aneh pada kera di bahu Mario.

"Saya ... saya cari uang, Pak. Anak saya sakit," jawab Mario tertunduk lesu.

"Mas Riooo_!" teriak Indah seketika saat melihat suaminya yang baru datang dirangkul Pak Rustam. Indah dan Angga langsung memeluk Mario.

"Ndah, ada apa sebenarnya?" Mario menyambut pelukan kedua orang tercintanya sambil matanya berputar mencari sang putri.

"Ranti mana, Ndah?" tanya Mario.

"Ranti, Mas ... Rantiii!" Indah tak sanggup menuntaskan kalimatnya. Air mat terus menderas di di pipi tirusnya. Dia hanya mampu menunjuk pada tubuh putri kesayangannya dengan tatapan pedih.

"Rantiii ... anak Bapak, kenapa kamu, Nak?" Mario melesat ke samping tubuh putrinya. Lelaki muda itu langsung memeluk tubuh kecil itu. Dia pun terisak tanpa suara. Airmata menetes tanpa terbendung. Dia tak peduli dengan statusnya sebagai laki-laki. Hatinya terlalu hancur menyaksikan putri kesayangannya telah pergi tanpa kehadirannya.

"Ranti, maafkan Bapak, Sayang ... Bapak tidak bisa menjagamu. Bapak bersalah padamu," Mario masih terisak.

"Sudahlah, Mas! Ranti sudah tenang, dia sudah tak lagi merasakan sakit. Dia ...," Indah tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Batinnya terlalu sakit.

Kembali mereka saling berpelukan melepas kepergian Sang Putri.

Angga terduduk lemas di samping jasad Ranti.

Jam sepuluh pagi, jenazah Ranti dimakamkan di pemakaman umum Kampung Duren. Rintik gerimis mengiringi pemakaman bocah malang itu. Yang membuat warga kampung merasa aneh, ada seekor kera yang selalu mengikuti jalannya pemakaman tersebut. Tatapan mata bulat kera itu tak pernah lepas dari jenazah Ranti yang hendak dimakamkan.

Usai pemakaman putriny, Indah tak sanggup melakukan apapun, bahkan untuk makan saja dia tidak bisa. Dia duduk diam di kursi bambu yang hanya satu-satunya di gubug mereka.

Mungkin karena kelelahan sejak kemarin pagi belum memejamkan mata sekejap pun, akhirnya dia tertidur dalam posisi duduk.

Namun, tidurnya terusik saat mendengar jeritan Ranti yang memilukan.

"Makkk! Tolong aku ... Ranti tak mau dibawa. Ranti mau sama Emak saja!" Indah pun mencari asal suara itu.

"Ranti, Sayang. Ada apa, Nak? Emak di sini ... Emak akan temenin kamu, Sayang!" jawab Indah mulai terisak.

"Mak, Ranti mau dibawa pergi, tolong Ranti, Mak!" Terdengar lagi jeritan Ranti dari arah makamnya. Indah seketika berlari mengejar dan melihat pemandangan yang mendirikan bulu roma.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iwan Hnx
bagus ...nice
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status