Share

Perjalanan Menuju Lembah Monyet

Langkah kedua orang itu tersurut ke belakang.

"Apa itu, Ndi?" Wajah Mario terlihat pucat pasi.

Andi tegak berdiri tanpa ekspresi.

Di hadapan mereka, tampak seekor kera besar, hampir sebesar manusia dewasa. Kera itu berwarna putih, sehingga tampak menyeramkan dalam kegelapan. Tampaknya, Sang Kera Putih itu sedang menyeringai galak, menampakkan gigi taringnya yang tajam.

"Ngukkk!

Kembali terdengar teriakan kerasnya.

"Ndi, sepertinya kera itu marah melihat kehadiran kita," bisik Mario gemetar ketakutan. Tangannya yang sudah dingin memegangi tangan Andi.

"Panglima kera, mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Aku membawakan seseorang yang ingin mengabdi kepada rajamu," Tiba-tiba, Andi mengucap lirih sambil membungkuk dan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, seperti sedang menyembah.

"Hhrgggh!"

Kera putih itu menggeram keras, menatap tajam ke arah Mario dengan matanya yang semerah saga, menembus kegelapan hutan.

Andi langsung menepuk pelan tangan Mario dan memberi isyarat agar melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya saat itu.

Dengan ragu, Mario melakukan semua gerakan. Membungkuk dan menyembah pada kera putih di hadapannya.

"Sialan, masa aku harus menyembah monyet!" gumamnya dalam hati.

"Hhrrggh!"

Kera putih itu kembali menggeram dengan tatapan marah ke arah Mario yang langsung menyadari bahwa kera itu mengetahui apa yang dipikirkannya. Dia menunduk dalam-dalam.

"Mar, jangan melawan! Dia tahu apa yang kita pikirkan," bisik Andi tanpa menoleh.

Mario mengangguk sambil menunduk.

Kera putih itu berbalik dan melompat ke cabang pohon yang rendah.

"Ayo, Mar. Kita ikuti dia! Dia akan memberi jalan untuk kita menghadap Raja mereka!" bisik Andi seraya berdiri dan melangkah mengikuti arah kepergian Sang Kera Putih.

"Baiklah ," jawab Mario dan mengikuti langkah mereka.

Dalam hatinya masih bertanya-tanya, akan dibawa ke mana mereka? Bulu kuduknya merinding saat desiran angin membawa bau busuk yang khas. Bau bangkai dan juga anyir darah.

Jalan yang dilalui mereka makin tidak nyaman. Sepanjang jalan setapak di tengah hutan itu, banyak duri-duri tajam dan juga bebatuan besar yang menghalangi langkah mereka. Mario merasa kakinya sudah sangat nyeri beberapa kali tertusuk duri dan batu tajam. Untung saja, tadi Andi memberi pinjaman sepatunya sebelum turun dari mobil saat melihat dia bertelanjang kaki.

Tak sampai di situ, mereka juga masih harus menyeberangi sungai besar yang berarus deras.

"Bagaimana kita bisa menyeberang, Ndi? Arusnya deras banget," tanya Mario sambil menatap arus sungai yang seperti air mendidih di hadapannya.

"Tenang, Panglima kera akan membantu kita," jawab Andi tersenyum samar. Sementara Kera Putih yang disebut Panglima oleh Andi tampak duduk bersila seperti layaknya manusia yang tengah melakoni semedi.

Tiba-tiba, bagian tengah sungai itu membelah. Seakan membentuk sebuah jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh satu orang. Jalan itu membelah arus sungai yang deras.

Mario sampai melongo menatap keajaiban yang tersaji di depan matanya. Seakan tak percaya, dia mulai menggosok matanya hingga perih.

"Ayo, sebelum jalan itu hilang!" Andi langsung menarik tangan Mario dengan kuat dan melangkah cepat melewati jalan setapak itu.

"Lari!" teriak Andi saat mendengar suara gemuruh air di belakang mereka.

Mario tak sempat menoleh untuk melihat apa yang terjadi, dia langsung melompat dan berlari sekuat tenaga mengikuti Andi yang sudah melesat lebih dulu.

Saat mereka tiba di seberang sungai dan naik ke daratan. Seketika itu juga air sungai yang laksana air bah itu sudah menggerus dan menutup jalan yang dibuat oleh Panglima Kera.

"Di mana kera itu, Ndi?" tanya Mario dengan napas yang masih terengah-engah sehabis berlari tadi.

"Panglima kera itu sudah ada di depan kita," bisik Andi juga dengan napas terengah sambil menunjuk ke depan dengan dagunya.

"Hebat sekali Panglima Kera itu," gumam Mario. Dia merasa semakin mantap untuk mengabdi pada Raja kera itu setelah menyaksikan kehebatan yang ditunjukkan oleh kera putih.

"Tentu saja hebat, mana mungkin aku membawamu ke sini kalau belum tahu kehebatan mereka," jawab Andi dengan sinar kebanggaan yang tampak jelas di matanya.

Mario pun manggut-manggut mengerti. Dia semakin merasa menuju tempat yang benar untuk meminta kekayaan. Kini, Mario sudah tak peduli lagi dengan dosa dan kemusyrikan yang akan dilakukannya.

Setelah menyeberangi sungai berarus deras itu, mereka kembali memasuki wilayah hutan. Namun kali ini hutan tersebut lebih banyak ditumbuhi dengan pohon pisang yang tidak terawat. Letak pohonnya sungguh tidak beraturan. Daun-daun kering masih bergantungan pada batangnya, membuat suasana hutan pohon pisang menjadi seram dan gelap. Apalagi dimalam hari seperti itu.

Di beberapa tempat, terlihat pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, dan buah lainnya.

Panglima kera masih memimpin langkah mereka di depan dengan melompat dari satu batang pohon ke pohon berikutnya.

.Bau busuk bangkai dan anyir darah makin menusuk ke dalam hidung, membuat Mario tercekik dan ingin muntah.

"Huekkk!"

Mario sudah tidak tahan lagi. Anehnya, Andi nampak tenang-tenang saja seolah tak terpengaruh sama sekali.

Dengan setengah mencibir, Andi melirik ke arah Mario.

"Tahan, Mar. Bulatkan tekadmu untuk mengabdi pada raja kegelapan, maka perasaan tak nyaman kamu akan hilang dengan sendirinya," bisik Andi.

"Baiklah," jawabnya.

Mario memejamkan matanya sesaat dan memantapkan hatinya menuju kegelapan.

"Aneh, bau tak sedap itu semakin berkurang," gumam Mario.

Andi hanya tersenyum sambil terus melangkah mengikuti arahan Panglima kera.

"Kita sudah hampir sampai," bisik Andi seraya menatap lurus ke depan. Mario mengikuti arah pandangannya dan melihat setitik cahaya redup di kejauhan.

Benar saja, tak sampai sepuluh menit, mereka tiba di sebuah lapangan luas. Lapangan itu merupakan halaman sebuah rumah bambu yang besar, namun terlihat sedikit suram. Rumah itu sepertinya membelakangi sebuah bukit.

"Aneh, kenapa di sini terlihat cukup terang. Padahal tidak ada lampu sama sekali," ucap Mario menatap sekeliling lapangan.

"Bodoh! Apa kamu tidak lihat bulan purnama itu?" jawab Andi sambil menepuk bahu Mario.

"Oh, astaga! Aku sampai tidak memperhatikan," Mario menepuk keningnya sendiri.

"Ayo kita ke rumah itu!" ajak Andi.

Saat mereka tiba di tengah-tengah lapangan luas, tiba-tiba ribuan kera sudah mengepung mereka berdua dengan tatapan galak dan mata bersinar merah. Sangat berbeda dengan kera pada umumnya. Tampang mereka terlihat galak seraya menunjukkan gigi mereka yang tajam.

Rata-rata, tubuh mereka juga besar. Hampir sebesar tubuh manusia dewasa.

"Ndi, kawanan kera ini muncul dari mana?" Mario bertanya dengan gugup dan ketakutan. Tubuhnya gemetar, dia langsung memegangi tangan Andi.

"Tolong jangan ganggu kami, kami hanya ingin bertemu dan mengabdi pada raja kalian," ucap Andi dengan suara bergetar. Sepertinya dia juga ketakutan. Sementara kera putih yang tadi memandu jalan mereka entah berada di mana.

Nguk!

Nguk!

Nguk!

Tiba-tiba, ribuan kera itu berteriak keras membuat suasana berisik dan mendirikan bulu roma. Tampang mereka terlihat sangat garang dan galak dengan mata merah saga, bersiap untuk menyerang dua orang itu.

"Semua diam!" bentak sebuah suara yang menggelegar. Seketika semua kera terdiam dan memandang ke satu arah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status