Share

PETAKA SALAH POSTING
PETAKA SALAH POSTING
Author: ET. Widyastuti

TAK SADAR

Setelah menyiapkan semua bahan presentasi, aku bergegas menuju ruang rapat pimpinan di lantai 23 gedung kantor tempat aku bekerja. Ada rapat dengan direktur bersama manajer lainnya. 

Aku sendiri adalah manajer paling muda yang baru saja naik jabatan. Dan, ini adalah rapat pertamaku dengan pimpinan kelas menengah di kantor. Aku harus mampu menunjukkan kinerja terbaikku. Maka tak salah jika aku datang lebih awal dibanding peserta rapat yang lain. 

Memasuki ruang rapat, aku sengaja memilih posisi di tengah. Sambil menunggu yang lain datang, kubuka ponsel yang sedari tadi bergetar. 

[Mas, foto kemarin di kirim ke aku ya.] 

Pesan dari Vania, staf di kantorku, masuk ke benda pipih yang sedang kugenggam. 

Vania sudah biasa memanggilku ‘Mas’ jika kami sedang berdua. Tapi, dalam keadaan formal, dia selalu memanggilku dengan sebutan ‘Pak’.

Vania adalah staf yunior. Aku menjadi dekat dengannya karena sering kerja bareng. Aku suka padanya karena dia sangat cekatan, terampil dan dapat diandalkan. Dan pekan lalu, aku dan Vania baru saja dinas ke luar kota untuk meninjau kantor cabang di Surabaya. 

Sebenarnya, kami juga tidak kemana-mana. Hanya beberapa foto kuambil saat kami berdua sedang makan malam di sebuah restoran. Memang beberapa fotonya ada pada ponselku dan belum sempat aku transfer padanya, karena biasanya setiba di rumah dari dinas, aku akan sibuk dengan Namira dan dua buah hati kami. 

Buru-buru aku buka galeri foto di ponsel itu. Saat aku hendak memilih foto-foto itu, beberapa peserta rapat masuk ke ruangan. Tak enak jika aku fokus dengan ponsel, karena aku manajer baru. Dengan cepat akhirnya aku klik-klik saja foto-foto itu dan mengirimkannya ke Vania. 

Setelah mengirim gambar itu, ponsel aku ubah ke mode diam dan kusimpan di meja dengan posisi terbalik. Aku tak ingin di saat rapat, terganggu oleh panggilan atau pesan yang masuk. 

Tak terasa, rapat yang ternyata cukup alot memakan waktu tiga jam. Hingga tiba saatnya makan siang. 

Beberapa peserta rapat membubarkan diri setelah ditutup. Demikian pula diriku. 

Aku segera kembali ke ruanganku. Biasanya, Vania akan mengajakku makan siang bersama. 

Dengan langkah tergesa aku kembali ke ruanganku. Anehnya, saat aku masuk, semua mata memandangku aneh. 

Mataku memindai meja kerja Vania. Tapi anak itu tak ada di mejanya. Mungkin setelah di ruangan, aku harus segera mengecek ponselku. 

Jangan-jangan dia sudah keluar duluan, agar teman kantorku tidak mencurigai kedekatan kami. 

Meskipun aku dekat dengan Vania, tapi di kantor tak ada yang mencurigainya, karena aku dan Vania bisa membawa diri. 

Kami hanya sekedar nyaman satu sama lain. Tidak melakukan hal yang di luar batas. 

Vania adalah gadis belia. Usianya baru 23 tahun. 

Awalnya kami dekat karena pekerjaan. Tapi, karena seringnya dia curhat mengenai masalah keluarganya usai kerja lembur, membuat hubunganku dengannya tak sekedar teman kerja. 

Dia berasal dari keluarga yang berantakan. Ayahnya menikah lagi, ibunya pun demikian. Hingga dia sulit dapat menerima orang tua baru dari masing-masing orangtuanya. 

Sementara aku, hanya menjadi pendengar setianya. 

Mungkin karena aku sedikit bosan dengan suasana rumah. Namira yang terlalu sibuk dengan Dafa dan Dafi sering mengacuhkanku. Bahkan, justru sering memintaku membantunya, dibanding memperhatikanku. Padahal, aku sudah lelah bekerja dan ingin dimanja. 

Aku segera masuk ke ruanganku. Ruangan yang baru satu bulan aku tempati setelah naik jabatan. Belum sempat aku duduk, Hana, sekretarisku mengetuk pintu. 

“Pak, dipanggil menghadap Pak Direktur,” ujar Hana sambil mendekat ke mejaku. 

Dipanggil? Bukannya kami barusan habis rapat? Sepertinya semua agenda tadi sudah final dan tak ada tersisa agenda lain yang ingin dibahas. 

Tapi, baiklah. Mungkin ada hal lain yang ingin didiskusikan oleh Pak Direktur. 

Ruang direktur ada di lantai 22, satu lantai di atas tempatku bekerja. 

Baru aku melangkah hendak masuk ke ruangan direktur, langkahku terhenti saat melihat dari kaca, tampak Vania sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja Pak Taufan, direktur perusahaan tempatku. Gadis itu terlihat menunduk. 

“Permisi, Pak,” sapaku. 

Pak Taufan segera berdiri. Wajahnya merah seperti menahan marah. Tangannya memegang ponsel yang sepertinya hendak ditunjukkan padaku. 

“Apa maksudnya ini?” tanyanya sambil menunjukkan gambar di ponselnya. 

Mataku melebar. 

Mengapa Pak Taufan bisa mendapatkan gambar yang aku kirim ke Vania? 

“Apa maksud kalian? Ha?” ucap Pak Taufan lagi. 

Aku semakin tidak mengerti. 

“Pak Reno, buka status W* Bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mengembun.

“Apaa???!” 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status