Huda memperhatikan Rindi dari atas hingga bawah. Rambutnya yang acak-acakan. Baju yang tak rapi seperti tengah ditarik berkali-kali. Tak salah lagi wanita itu pasti habis bertarung dengan Naira. Dan sebuah botol obat kecil yang digenggam di tangan kiri yang membuat mata Huda menyipit. Jantung pria itu terpompa lebih cepat. Dia yang kelelahan membawa mobil seperti pembalap, berlari dan mendobrak pintu rumah agar tak terjadi apa-apa pada Naira. Kini harus disuguhkan dengan pemandangan mengerikan. "Kamu apakan istriku, Rin?" Mata Huda membeliak. Ia tak sabar dapat pengakuan dari wanita selingkuhannya. Untuk tahu apa yang terjadi pada Naira."Ma-maf, Da." Rindi mengucap gemetar seolah takut pria yang dicintai akan marah padanya.Kata maaf itu seperti sebuah pisau yang menyayat hati Huda. Benar yang ditakutkan, Rindi akan menyakiti Naira pada akhirnya. Itu kenapa dia mencari istri wanita kota yang jauh dari Rindi. Wanita yang bisa melakukan apa pun ketika kesenangannya dihalangi."Aku,
Kejadian sebelumnya. Sore hari ....Naira seperti hilang akal. Rasanya bodoh dan jijik saja jika akan bertemu Huda. Jangankan bertemu dan minta penjelasan, membayangkan wajahnya saja sudah membuat Naira emosi sampe ke ubun-ubun.Tiba-tiba saja dia ingat kematian bapak mertua yang ganjil. Apa pasangan selingkuh itu yang membunuhnya? "Keparat!" Tangan Naira terkepal. Gigi-gigi halusnya bahkan gemerutuk lantaran rahang juga mengeras menahan emosi.Dia terdiam agak lama, berpikir dan menyusun rencana. Jangan sampai ia pun jadi korban. Siapa yang akan tahu jika Rindi sebenarnya menyimpan kebencian dan menunggu waktu tepat untuk menyingkirkannya seperti almarhum.Naira menatap ke arah pintu. Takut jika tiba-tiba Rindi menyerang. Ia bangkit dan mengunci pintu tersebut.Lalu kembali duduk dengan merapatkan dua tangan di atas meja. Berkali-kali ia menatap ke arah pintu dengan takut-takut tapi juga sangat marah. Sebisa mungkin, Naira menekan emosi dalam dada. "Bukan waktu tepat untuk menangis
Mata Anggara menyipit, kala melihat keringat sebiji jagung jatuh dari kening dan pelipis Naira. Lelaki itu menginjak pedal gas lebih dalam, hingga tak berapa lama melihat POM bensin. Ia segera memutar setir mobil berbelok ke tempat tersebut.Aneh menurutnya. Kenapa begitu keluar pagar rumah kondisi Naira langsung berubah drastis? Adakah sesuatu yang bekerja dalam tubuhnya? Seperti racun atau sejenisnya.Begitu mobil menepi dan berhenti di area parkir, Anggara yang diliputi cemas menelepon seseorang. Lelaki itu mengetuk-ngetukkan tangan ke benda berbentuk bundar di depannya. Tak sabar sang teman yang berprofesi sebagai dokter mengangkat telepon darinya."Hallo, Pram. Assalamualaikum," ucapnya begitu panggilan tersambung."Ya, Ga! Waalaikumsalam. Tumben nih, lo malam-malam gini nelepon. Ada apaan emangnya?" sahut lelaki yang dipanggil Pram."Iya, nih. Gue perlu tau sesuatu.""Ya?""Jadi gue lagi bareng pegawai." Anggara mulai bercerita."Cewek apa cowok?" "Ah tuh ga pentinglah!" Angga
Sesampainya di rumah sakit, Anggara segera turun, membuka pintu mobil di mana Naira duduk. Tanpa berpikir apa pun, pria itu memegang tangan wanita tersebut untuk membantunya keluar.Namun, Anggara terpaku dengan dua alis terangkat kala Naira enggan bangkit mengikutinya."Hem?" "Em, sebaiknya saya berjalan sendiri, Bos." Naira menarik tangannya yang terasa lemas."Oh. Oke." Anggara sontak mengangkat dua tangan yang sempat menempel di lengan pegawainya tersebut. Ia sadar wanita itu tampak tak nyaman atas perlakuannya. Mungkin karena semua orang termasuk Naira sudah tahu statusnya sekarang, jadi mereka berpikir hal lain. Misal, modus. Bukan lagi tulus membantu yang memang sedang kesulitan."Tubuhmu masih sangat lemas. Tunggu di sini!" Anggara pergi ke dalam, berusaha mencari tenaga medis. Setidaknya akan ada tandu, ranjang dorong, atau kursi roda.Naira memandangi punggung pria kekar yang menjauhinya. Tubuh atletis yang dulu membuatnya dimabuk cinta dan dipenuhi semangat hidup. Ia san
"Huda tunggu! Kamu mau ke mana?" tanya Rindi yang tampak kuyu.Namun, meski begitu, Huda sama sekali tak kasihan padanya. Sudah terlalu sering ia meminta wanita itu untuk tidak bersikap dan mengambil keputusan gegabah. Tapi nyatanya semua itu tak diindahkan. Untung saja dia punya teman yang ITE hingga bisa melacak keberadaan istrinya yang hilang. Dan lebih beruntung lagi, Naira tak menon aktifkan ponselnya, hingga syarat lokasi bis dicapai."Apa lagi? Sebaiknya kamu diam saja, oke!" ucap Huda yang bersiap pergi.Kali ini Huda akan memilih diam. Dia sudah bisa merasakan kebencian berlebih yang Rindi tujukan untuk Naira. Padahal mereka dulu bersepakat, dengan siapa pun Huda menikah, Rindu tak boleh cemburu berlebih apalagi menyakitinya. "Apa kamu tau sesuatu tentang Naira?" tanya Rindi yang penasaran dengan memegang lengan Huda. "Kamu tak perlu tau. Diamlah jika ingin kita tetap bersama." Ucapan Huda menekan dan dingin. Ia lalu menepis tangan wanita itu, sebelum akhirnya bergega
Rindi menatap ke jendela luar dengan mata penuh kebencian. Dari sorot yang tak fokus pada tujuan itu, tampak satu dua orang lalu lalang mengenakan pakaian keamanan. Menjaga kompleks mereka tinggal dari pencurian dan sejenisnya. Meski begitu, tetap saja tak ada kemanan di hatinya. Naira sudah merenggut perhatian dan cinta Huda darinya. Angka pada jam dinding sudah menunjukkan 02.10, tapi rasa kantuk belum juga datang. "Sial, insomniaku sampai kambuh gara-gara ini!" dengkusnya kesal sambil menghempas tirai jendela yang dipegang.Ia menyesal kenapa tak dari dulu saja menyingkirkan suaminya yang tua bangka dan hidup bahagia di kota. Dengan begitu ia tak perlu meihat pernikahan Huda dengan wanita lain. Matanya beralih pada benda di nakas, kala benda berbentuk pipih itu berdering. "Huda?" gumamnya heran. "Apa dia sudah menemukan Naira dan menasehatiku agar berbagi tempat dengan nyaman dengan perempuan jalang itu? Enak saja. Tidak bisa! Merekalah yang harusnya bercerai."Rindi pun mengk
"Kamu tak apa, Nai?" tanya Anggara setelah Naira terlihat lebih tenang.Wanita itu terhenyak. Pelukan Anggara terlalu nyaman untuk mengusir rasa takut yang baru saja singgah."Am, ya, Bos. Maaf." Naira menarik tubuh seketika. Dua pipinya bersemu malu karena sikap konyolnya sendiri.Anggara pun sama. Ia tiba-tiba merasa canggung karena wanita di depannya memeluk dengan erat. Jujur saja, dadanya berdentum kencang karena itu.'Bodoh sekali kamu, Ga! Sudah tau wanita itu lagi kesusahan. Malah mikir yang enggak-enggak. Apa kamu omes?' rutuknya dalam hati. Untuk menenangkan diri, lelaki itu biasa memaki dirinya sendiri."Ah, ya. Tak apa, Nai. Santai aja." Lelaki dengan senyum pipit itu menggaruk kepala tak gatal."Em. Sebenarnya ... suamiku, em suami saya ....""Gak usah formal, Nai. Lagian kita di luar kantor." Anggara memotong ucapan Naira."Ah, ya. Ga. Aku ....""Ehem." Anggara berdehem. Naira sontak mendongak, melihat wajah bosnya yang rupawan tengah menatap ke langit-langit.Dahi wani
"Naira!"Huda berlari ketika melihat sang istri dimasukkan ke mobil oleh seorang pria. Apa pria itu akan menculiknya? Atau jangan-jangan malah selingkuhan Naira.Sepersekian detik, kakinya mencapai mobil sebelum pintu di tutup."Bos!!" Naira tiba-tiba berteriak kencang."Bos?"Mata Huda memicing, ia yang sudah di depan pintu mobil sontak menoleh, dn melihat wajah Anggara dengan melebarkan mata. Dugaanya benar, bahwa Naira bekerja pada mantan pacarnya dulu. Namun, ia sadar itu bukan salah istri, sebab dari awal Naira sudah bercerita. Huda saja yang tidak perhatian.Huda tersentak hebat, kala seseorang menancapkan pisau di perutnya. Darah menitik deras di lantai parkiran.Mata Naira melebar, kala sadar bahwa yang ditusuk pisau adalah suaminya. Sementara Dana berlari tunggang langgang, dia memaki diri sendiri karena salah sasaran. Padahal sudah jelas-jelas yang ia tuju adalah Naira, tapi kenapa tiba-tiba Huda berdiri di depannya? Gawat jika berita ini sampai ke telinga Rindi, wanita i