Huda menunggu dengan gelisah kedatangan Sherly. Perasaannya tidak enak. Suara kemarahan Sherly ditelepon, membuat pikiran Huda menjadi kalut. Dia merasa kalau situasinya berantakan."Brengsek kamu, Huda!"Sebuah hentakan di meja, menyadarkan Huda dari lamunannya. Sherly sudah datang, dengan setumpuk kekesallannya, hingga melempar tasnya ke atas meja, sebelum kemudian duduk. Dirogohnya isi tas dengan kalap, lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Namun, saat melihat rokok itu, dia kemudian teringat bagaimana Anggara membentaknya kasar. Akhirya, Sherly meremas bungkus rokok beserta isi-isinya.Huda yang melihat itu, semakin penasaran sekaligus was-was. Dia merasa kalau yang akan dihadapinya bukan hanya tentang kekesalan si Sherly juga, tapi tentang rencana penghancuran pernikahan Anggara dan Naira."Gimana? Gimana tadi di sana? Si kunyuk Anggara itu, tidak bisa berkutik, 'kan? Dia mau menuruti maumu, 'kan?" Huda memajukan tubuhnya, menggeser kursinya, agar lebih dekat dengan Sherly.Sherly y
"Bagaimana kalau terbukti bayi dalam kandungan Sherly adalah anakmu?"Anggara tercenung, hanya sesaat. Kemudian menatap Naira lekat-lekat."Kalau itu memang anakku, aku akan bertanggung jawab penuh atas hidup anak itu. Tapi, tidak akan ada siapa pun yang bisa memaksaku untuk menikahi Sherly. Dan...."Anggara tidak melanjutkkan kalimatnya, dia berdiri dan duduk satu sofa dengan Naira. Keseriusannya membuat jantung Naira berdebar-debar cepat. Jari-jemari Naira digenggam erat Anggara."Dan, kalau memang itu anakku, aku berharap kebesaran hatimu untuk mau tetap menerimaku sebagai suamimu, dan meminta kebaikan hatimu untuk anak yang tidka berdosa itu."Anggara menahan napas, menunggu apa reaksi dan jawaban Naira. Ditengah perasaan khawatirnya, Naira justru mengulurkan tangan dan membelai lembut pipi Anggara."Aku memang memiliki keraguanku padamu sampai tadi sebelum masuk ke ruanganmu ini. Tapi, kemudian aku tahu, bahwa suamiku berkata benar."Kernyitan di kening Anggara melekuk-lekuk dala
"Dek, setelah ini. Ibu kita bawa ke kota saja, ya," ucap suami. Aku tahu itu bukan pernyataan meminta izin, tapi hanya sekedar formalitas memberitahu. Aku bisa apa selain mengiyakan?Lagi pula ....Suasana masih berkabung, lantaran bapak mertua baru meninggal beberapa hari lalu. Entah, beliau meninggal cukup misterius. Tapi, ibu mertua bilang, suaminya terkena serangan jantung mendadak. Beberapa hari pula aku dan Mas Huda tinggal di rumah ibunya, bantu-bantu selama acara hajatan doa, juga saling menguatkan.Aku dan suami sama-sama minta cuti selama seminggu, karena kami sama-sama kerja. Bisa kulihat betapa sedih ibu mertuaku itu. Mereka yang dikenal harmonis meski usia keduanya terpaut jauh. Ya, jarang-jarang seseorang bisa menerima pasangan yang jauh lebih tua. Ah, aku saja sampai kaget awal ketemu dua tahun yang lalu, kupikir ibu Mas Huda adalah kakaknya.Kami tahu, ibu mertua sangat mencintai suaminya. Itu kenapa ia terlihat sangat terpukul. Atas alasan itu, kuiizinkan ibu Mas
Rasanya tak bisa konsen kerja hari ini. Gara-gara pil yang berada dalam genggaman. Apa yang mesti kulakukan sekarang untuk mencari tahu?Belum terbukti milik Mas Huda saja hatiku terasa nyeri. Bagaimana nanti jika benar-benar kutemukan bukti jelas? Apa yang bisa kulakukan? Ah, tidak! Aku tidak akan kuat hidup menghadapi ini. Lebih baik kubunuh saja keduanya, terutama pelakor itu. Astagfirullah.... Aku mendesah panjang, memberi ruang agar hilang sesak di dada. Dan pikiran kotor yang mendera. Pantas saja sudah sebulan ini, Mas Huda menghindari. Minggu biasa kami melakukan sampai minimal tiga kali, tapi sebulan ke belakang Mas Huda hanya memberi nafkah batin sekali dalam seminggu. Bahkan minggu terakhir dia sama sekali tak menyentuh. Kupikir karena kematian ayah mertua. Apa karena dia sudah lelah setelah memuaskan perempuan lain? Kalau minggu terakhir mereka bertemu, berarti perempuan itu ada di desa.Tapi siapa? Apa perlu aku ke desa untuk menyelidikinya?"Naira!" Suara Rena membuya
Ponselku berdering. Saat kulirik benda pipih di atas meja itu, tampak nama Ibu. Kuklik save data yang telah terketik di laptop, lalu mengangkat telepon dari Ibu mertua."Assalamualaikum, Bu," sapaku lembut pada orang tuanya melahirkan Mas Huda itu. "Waalaikumsalam. Nai. Kamu pulang jam berapa?" Wah, Ibu sangat peduli. Sampai-sampai dia menanyakan kepulanganku. "Em, biasanya jam 6 sih, Bu. Tapi karena kelamaan cuti, saya jadi harus lembur akhir pekan. Mungkin jam 10 malam udah selesai, Bu.""O ...." "Kenapa, Bu? Apa Ibu perlu sesuatu? Kalau capek, biar Naira kirim makan malam pakai gojek saja, Bu.""Oh, nggak Nai. Kamu tenang saja. Fokus ke kerjaanmu. Biar rumah Ibu yang urus." Ibu mengucapnya. Duh, hatiku berbunga seketika, senengnya punya mertua yang baik hati dan sayang pada mantunya. Bahkan beliau tak segan bantu-bantu di rumah. "Bu, ayo. Aku dah pengen."Mataku melebar. Ada suara lain, dari ujung telepon. Belum lagi aku bertanya, Ibu mendesis seperti meminta orang yang be
"Jawab Mas! Apa kamu selingkuh?! Kenapa pil KB ini ada di rumah kita!" Aku tak sabar lagi. Hingga tak bisa mengendalikan emosiku."Em, Nai. Tenanglah, Nai!" Ibu tiba-tiba berdiri di depanku jadi penghalang antara aku dan anaknya. Ya, tentu saja dia tak terima jika anak kesayangannya harus merasakan kemarahanku.Mas Huda tampak seperti pecundang! Ia bersembunyi di balik ketiak ibunya. Jika tak salah, kenapa sikapnya demikian? Huft. Bikin emosiku makin naik saja."Gak bisa untuk sekarang, Bu. Maaf!" Kudorong tubuh wanita yang jauh lebih tua dariku itu. Hingga tanganku mampu menarik kemeja Mas Huda. Lelaki yang brengsek yang sudah berani mengkhianatiku."Nai!" Ibu berteriak. Lalu mendorongmu sekuat tenaga hingga aku jatuh di lantai.Aku tak percaya, jika wanita itu berani dan tega mendorongku. Dia yang selama ini selalu baik, menanyakan kabar setiap kali bertelepon dari kampung dan perhatian kala bertemu. Kini bersikap jahat, dan lebih membela puteranya yang jelas-jelas menyimpan pil K
Flashback .... (POV author)Sore hari, Rindi berlari kala pintu rumah diketuk. Saat pintu terbuka, matanya melebar senang dengan senyum merekah sempurna."Kamu sudah datang, Da," sambutnya lembut.Huda mengangguk, lalu segera menutup pintu dan merengkuh wanita yang biasa dipanggil ibu di depan orang lain. Wanita yang dia sukai sejak remaja, kala ayah angkatnya membawanya masuk dalam rumah mereka.Huda yang kala itu memiliki nafsu menggebu harus menahannya setiap hari. "Sudah hentikan." Rindi mendorong tubuh kekar yang sempat menempel dan memberinya ciuman."Kenapa?" Huda keheranan. Tak biasanya wanita itu menolak."Pil KB-ku hilang. Aku curiga Naira yang menemukannya." Wanita itu mengutarakan kekhwatiarannya."Kok bisa? Apa sudah dicari?" Huda tampak terkejut."Sudah. Aku sudah ngubek dapur. Sampai semua yang berantakan kubereskan. Jorok banget istrimu ya, dapur manusia begitu bentuknya." Rindi tersenyum kecut. Kesal."Hem. Mau bagaimana lagi. Dia kan kerja. Makanya aku perlu kamu ad
Naira tak boleh bercerai hanya dengan alasan curiga tanpa bukti. Kakak lelakinya pasti akan sangat sedih jika melihatnya bercerai. Sudah banyak pengorbanan pria itu, sampai dia bisa kuliah, dan bertemu pria bertanggung jawab seperti Huda.Ah setidaknya itu yang Danu pikirkan. Pria bernama Huda itu juga yang menyembuhkan lukanya setelah putus dengan Anggara, mantan yang pergi begitu saja hanya karena salah paham. Pria yang tak mau mendengar penjelasannya lagi. Dan pria yang langsung menikahi wanita lain hanya berselang sebulan mereka putus.Hari itu Naira hampir mati karena patah hati. Tapi keberadaan Huda seolah embun yang menyejukkannya. Dia datang menawarkan cinta. Hingga tak perlu waktu lama keduanya menikah. Meski, Naira yang mencampakkan Anggara, tetap saja dia yang membencinya. Pria dengan harga diri tinggi. Bukannya berusaha menenangkan dan membujuk, serta memperbaiki keadaan, malah menikah dengan wanita lain demi membalas sakit hatinya pada Naira. ____________Baru juga mas