Share

V - DONGKAP

Mustika memucat bibirnya hingga sekujur tubuh. Telah dua jam ia bolak-balik di gerbang rumahnya lantaran menunggu anak semata wayangnya yang izin bermain siang tadi. Masalahnya, Mustika bersumpah ia masih melihat Nina di seberang jalan bermain di dekat pohon besar. Sepersekian detik kemudian, ia tak melihat apapun selain lambaian daun yang meronta minta dilepaskan dari dahannya.

Mustika masih sempat bersantai beberapa jam karena sebelumnya anaknya tidak pernah pergi jauh. Anak itu terlalu penakut untuk sekedar jauh dari pandangan orang tuanya. Meski kadang Mustika agak cemas lantaran Nina adalah selembut-lembutnya hati seorang anak manusia yang pernah ia temui di muka bumi.

Namun hari ini berbeda. Hingga berkumandang adzan maghrib pun, tidak ada batang hidung Mustika terlihat oleh pandangannya. Hal itu menyebabkan Mustika mengirim para pembantu rumahnya untuk mencari di sekitar rumah, termasuk di jalan-jalan yang sering disambangi Nina ketika ia bermain. Mustika merasa agak berdosa dengan mereka yang kepalanya menunduk karena Mustika yang melontarkan kata-kata tak mengenakkan hati mereka. Mustika tahu ia salah, tapi sebuah permohonan maaf akan ia lakukan sesaat setelah Helenina sudah diketemukan.

Menambah kepanikan yang ada, Dedeng seolah berada di luar jangkauan setelah sekian kali pembantu rumahnya mencoba mengabari Dedeng bahwa putrinya menghilang dan sampai maghrib begini belum datang juga. Mustika sudah berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan mengutuk Dedeng karena tidak bersedia mengangkat teleponnya.

“Non Mustika!”

Mendengar teriakan dari taman belakang rumahnya, Mustika berangkat menuju taman belakang, kalau-kalau ternyata anaknya tertidur di sana. Sesampainya ia di taman belakang, benar jika ia menemukan Helenina. Namun Helenina terlihat sangat baik dan ceria, berjalan dari balik semak yang harusnya tidak memiliki celah untuk keluar selain tembok yang dipanjat.

“HELENINA!” Seruan Mustika terdengar lantang dan tinggi, mengejutkan para pembantu rumah yang sudah berkumpul di belakang. Mustika berjalan cepat, mendekat ke arah anaknya.

Teriakan itu cukup membuat Nina terkesiap hingga menjatuhkan bunga lili oranye yang ia pegang. Seluruh tubuhnya bergetar dan tiba-tiba air mata sudah bercucuran. “Ibu...”

“Astaghfirullah, Gadisku!” Mustika masih berseru meski tak selantang pertama kali. Ia berjongkok dan menarik anaknya ke dalam pelukan. Tangisnya pecah seketika, entah apa yang mendasarinya. Yang jelas, Denok Mustika merasa ada berat yang pelan-pelan hilang di pundaknya.

“I-ibu! Nina melihat ngeri di hutan karet!”

Melepaskan pelukan yang erat kepada anaknya, Mustika menatap anaknya betul-betul. “Apa hal, Nak? Mengapa engkau maghrib pun belum pulang?! Betapa cemas Ibu menghadapinya, Nak!”

Seruan Mustika lagi-lagi menghentak Nina cukup keras hingga ia menangis tersedu-sedu. Mustika yang sudah mulai sadar membuka mulutnya, tak menyangka ia bisa mengeluarkan nada tinggi pada anak semata wayangnya. “Maafkan Ibu, Nak... Sudahlah. Mari bebersih dan makan malam. Anak Ibu tentu tidak apa dengan ngeri di hutan, bukan? Anak Ibu kuat! Mari, mari!”

Mustika menoleh pada beberapa pembantunya sambil tersenyum. Satu pembantu berlari mendekat ke arah mereka dan menggandeng tangan Nina dengan segera.

Baru saja Mustika hendak bangkit, ia melihat dua tangkai bunga lili oranye; yang satu telah remuk dan kelopaknya tak cantik, sementara yang satu lagi masih sangat apik. Yang Mustika ingat, ia tak pernah menanam bunga lili di pelataran mana pun di rumahnya. Jika memang Nina pergi untuk mengambilnya, itu berarti Nina pergi amat jauh dari sini.

Mustika meraih bunga yang berada tepat di depan kakinya untuk membawanya masuk ke dalam. Namun setelah ia periksa lagi, ia menemukan beberapa bercak noda merah di lili yang sudah rusak. Mustika terkesiap dan nyaris menjatuhkan bunga lili oranye itu sebelum ia melihat anaknya menoleh padanya dengan senyuman, senyuman yang hampa yang mampu menyerang seluruh bulu di tubuhnya agar berdiri.

***

Kabarnya, sudah tiga hari Ismail tidak pulang, bahkan tak ditemukan. Lingkungan Elit Batavia itu geger sejadinya lantaran tak sering ada kasus kehilangan anak di daerah mereka karena penjagaan yang ketat. Para orang tua agaknya resah dengan hal itu, tak percaya dengan apapun penjagaan yang tengah polisi kerahkan untuk mencegah kemungkinan penculikan anak. Tetapi mereka tidak bisa bergantung pada sipapun lagi kecuali polisi.

Hari itu, akhirnya keluarga Ismail membuka pintunya untuk pertama kali. Polisi akhirnya mengemukakan beberapa tuduhan, termasuk kesaksian orang tua Ismail bahwa mereka sebenarnya mengirim Ismail untuk bermain bersama Nina di sebuah taman yang persis berhadapan dengan kebun karet.

Lalu lagi-lagi, jagat elit Batavia terkejut karena dua masalah terkait anak-anak melibatkan keluarga Dedeng. Dengan berbagai pertimbangan, para orang tua terbagi menjadi dua kubu; mendukung kepolosan keluarga Dedeng atau menentang ketidaktahuan keluarga Dedeng atas dua kasus yang mungkin membunuh dua anak dalam jangka waktu satu bulan.

Kembali rumor berdatangan dari mulut-mulut tanpa dosa warga, mengatakan bahwa Dedeng mungkin menggunakan anak-anak itu untuk sebuah persembahan. Ada pula yang percaya bahwa darah anak-anak itu adalah alasan mengapa Mustika seperti tak menua. Ada pula yang menyebutkan bahwa ... Nina adalah anak iblis.

Lalu mana yang benar?

Mustika ingin memercayai bahwa semua hal adalah tidak benar, tapi semua hal terasa begitu benar sampai-sampai ia mungkin bisa percaya bahwa tidak adanya kerutan di wajah adalah karena darah anak-anak, yang mana itu adalah hal yang kejam.

Pikiran kelam itu menyesap satu-satunya kebahagiaan yang bisa ia rasakan pagi itu; sarapan bersama. Baik Dedeng maupun Mustika, keduanya sama-sama terdiam memandang makanan. Para pembantu tak berani menegur mereka, apalagi melihat Nina sepertinya lahap dengan makanannya pagi itu.

“Ibu! Ayah!”

Panggilan itu menyadarkan hanya satu pikiran; Mustika. Mustika tersentak sekali sebelum ia menoleh dan tersenum pada anaknya yang sudah menghabiskan panekuk dengan siraman gula aren. “Iya, sayang?”

“Bolehkah?” tanya Nina, menyodorkan piring kosong pada ibunya.

Hilang sudah resah Mustika ketika melihat anaknya makan dengan lahap. Ia lantas menoleh pada pembantunya. “Bi, tolong, ya?”

“Tentu, Non.”

Suasana menjadi sedikit cair ketika sebuah ketukan di pintu depan terdengar lantang dan terdengar tak sabar. Seorang pembantu berlari kecil menuju pintu utama rumah Dedeng dan membukanya. “Euh ...”

“Kami dari kepolisian.” Seorang dari tiga polisi berbicara. “Hendaknya mencari Helenina? Gadis enam tahun itu?”

“Anak kami, Tuan?” tanya Mustika, datang dari belakang tubuh pembantu yang membukakan pintu. Pembantu tersebut kemudian merunduk dan meminggir diam-diam. “Apa hal sesungguhnya?”

“Begini ... mengenai Ismail–”

“Apapun berkenaan tentang anak itu pantasnya telah kami katakan di surat kabar. Enggankah Anda sekalian menengoknya?”

Ketiga polisi itu terdiam. Salah seorang yang berbeda yang berbicara sebelumnya menyambung, “Kami hanya ingin bertanya beberapa. Tidaklah akan kami salahkan ia yang bahkan makan saja masih tersedak.”

“Anak saya tidak sekecil yang Anda kemukakan, Tuan.”

Satu polisi lain menepuk pundak polisi tersebut, lalu berjalan ke depan. “Bisakah kami bicara padanya?”

“Saat itu, bahkan saya terduduk membaca hikayat menemani Helenina bermain di serambi hingga petang tiba. Tiada mungkin Ismail bersama Nina kala itu, Tuan!” seru Mustika, agaknya mulai tak sabar. “Tak sudi rupanya Bapak-Bapak ini menerima kesaksian yang telah tertulis?”

“Tidaklah begitu, Nyonya. Mana bisa kami begitu rendah hingga tak percaya engkau. Kami hanya menjalankan tugas kami.”

“Tugas Anda sekalian adalah menemukan anak itu dan membuat anak lain aman dalam lindungan Anda! Bukan menakutinya dan orang tuanya dengan ketukan pagi hari!”

“Bicara saja pada saya.” Itu Dedeng, yang berjalan sambil mengancingi lengan kemejanya. “Perihal Ismail, betul? Bicara pada saya.”

Ketiga polisi itu seketika menunduk. Mereka terlalu takut untuk menatap seseorang yang dianggap tokoh oleh Batavia. Apalagi, seseorang ini dikenal dengan budi baik dan tutur katanya.

Dedeng mengusap lengan kekasihnya sambil berkata, “Masuklah. Persiapkan Nina sekolah. Biarkan Akang mengurusnya.”

Mustika tidak perlu mengonfirmasi permintaan Dedeng. Ia langsung beranjak pergi sesaat setelah anggukan sekali dari suaminya.

Dedeng yang masih menyampirkan jasnya di tangan kemudian mendekat pada ketiga polisi tersebut. Dari dalam kantong celananya, ia ambil segepok duit dan menghitungnya, lalu membaginya tiga. “Wang saya ‘kan kirimkan segera sisanya. Perihal ini, biarkan saja mereka tahu bahwa memang anak saya tak tersandung. Karena memang begitu, bukan?”

Ketiga polisi itu menghijau matanya lantaran melihat uang gepokan. Mereka bertiga mengangguk dengan bahagia dan mengantongi bagian mereka masing-masing.

“Sekarang, ada baiknya kalian pergi dari kediaman saya, banyak betul hal yang saya urus hari ini, kalian enggan menjadi salah satunya, bukan?” tanya Dedeng, menaikkan kedua alisnya, terlihat memaksa.

Polisi-polisi itu lantas mengangguk, berebutan mendahului langkah dari setiap anak tangga yang mereka lalui.

Melihat kumpulan orang dungu itu, Dedeng berdecih. Uang adalah bentuk yang paling abstrak dan mampu mencairkan apapun, bahkan sebuah batu.

Mustika dan Nina datang usai ribut-ribut pagi hari itu. Nina sudah rapih dengan seragam sekolah yang menawan.

Nuhun, Kang. Helenina ketakutan betul mengenai hal ini lantaran kejar-kejaran ia dengan orang asing selama beberapa hari bersekolah. Hingga terkulai saat itu juga ia di ranjang akibat terlalu lama berpikiran.” Mustika meraih tangan Dedeng.

Dedeng tersenyum lembut pada istrinya, menerima uluran tangan itu dengan sukacita. “Akang hari ini pergi ke tempat kejadian ya, Neng? Mungkin akan lama. Jagakan diri Neng baik-baik.”

Dedeng berkendara dengan segera ke kantor surat kabarnya hendak mengemas dan menjual cetakan hari ini. Namun belum beberapa cetak, suara telepon sudah mengganggunya. “Halo?”

“...”

“... Sebentar!” Dedeng mengulurkan tangan pada orang-orang yang berurusan dengan mesin cetak. Orang-orang itu memberhentikan mesin dengan segera. Apapun yang diberitakan oleh orang yang ada di telepon, pasti adalah sebuah hal yang besar yang bisa dijadikan sampul surat kabar.

Setelah mendengar dengan seksama,  Dedeng meraih jas yang baru saja ia copot dan mengenakannya kembali dengan terburu-buru. Langkahnya hampir membuatnya tersandung namun ia berhasil menyelamatkan diri. “Sampaikan pada penjual bahwa cetakan hari ini akan terlambat!”

Dan seruan itu akhirnya berakhir gema di seluruh kantor.

***

“... Tak jugalah karena itu!”

“Lalu hal apa?”

“Mana rupa Ismail yang bermain saja bersama Olanda? Sebelum menjingga pun, bocah itu biasanya sudah berkebun bersama ibunya di belakang rumah.”

“Malang betul nasibnya. Anak itu sudah jadi pemenung akibat tua-tuanya yang banyak mau.”

“Apa dia mati karena diri?”

“Subhanallah. Buruk betul jika begitu.”

Pagi itu Dedeng sudah luntang-lantung membenahi cetakan surat kabar minggu ini lantaran ada berita mengejutkan yang disampaikan dari seorang sobat kalangan elit bahwa anaknya meninggal dengan begitu mengenaskan di dalam kebun karet. Ia bahkan tak sempat menikmati telur dadar cabai buatan istrinya pagi itu karena beritanya sungguh mengejutkan.

Dedeng harus jadi jurnalis dadakan lantaran berita yang mencuat itu. Anehnya, Dedeng betulan terkejut dengan berita ini, tidak seperti yng sudah-sudah mengenai seorang anak yang mati misterius atau atau mati di tempat.

Bahkan ketika Dedeng terjun langsung ke tempat kejadian perkara, Dedeng sudah sangat kesulitan membelah keramaian. Di sana, Ismail belum bisa diangkat karena polisi harus memeriksa seluruh tempat kejadian. Bau busuk menyeruak, lalat berterbangan di sekitar tubuh yang mulai menggendut karena terisi begitu banyak belatung.

Dedeng keluar dari kerumunan, memuntahkan air karena hanya itulah yang baru ia tenggak pagi ini. Mulutnya seketika asam.

Dari jauh, Amin mendekat pada Dedeng yang bertumpuan di pohon. Ia berikan selembar sapu tangan tanpa banyak bicara. Dedeng lantas mendongak, lalu mengambil sapu tangan itu untuk ia seka mulutnya.

Memang sejak seminggu yang lalu, Ismail dikabarkan menghilang. Orang tua Ismail bilang bahwa anaknya bermain bersama Nina di hari ia menghilang. Namun Nina mengaku bahwa ia tidak pernah bermain bersama Ismail hari itu, karena ia berada di serambi rumahnya sepanjang hari, dan pernyataan itu diperkuat oleh pernyataan ibunya yang bilang bahwa memang betul anaknya bermain bersamanya sepanjang hari di serambi rumahnya. Polisi pun langsung percaya dengan pernyataan gadis berumur enam tahun itu, lantaran mereka tahu gadis sekecil itu tak mungkin bisa berbohong dengan baik.

“Kacau sekali, Bung,” kata Amin setelah Dedeng agak tenang.

“Manusia, selalu ada yang harus ditunjuk.”

Dedeng berkacak pinggang. Sebuah sapu tangan kotak-kotak ia tarik dari kantong celana panjangnya. “Tidaklah jiwa manusia akan tenang jika ada sesuatu yang harus disalahkan? Meskipun pada hakikatnya tak benar sesuatu itu salah.”

“Seperti darah dagingmu?”

“Betul. Gadis yang bahkan makan sesuap saja masih sering kejang karena salah masuk kerongkongan, sudah kena tunjuk orang tua yang kesedihan. Malangnya anakku.”

“Alah! Sudahlah, Bung. Sepasang semut yang berdampingan saja enggan oleh perempuan kecil itu ditangkap, malah dijagakan. Lalu apa hal yang membuat orang-orang itu memercayai alasan kepergian Ismail? Sungguh tak nalar saya.”

Dedeng mengiyakan dengan isyarat senyum dan anggukan. Namun kedua tangannya seketika mengepal hingga berkeringat lantaran sebelum ia iyakan apa yang dikatakan kerabatnya, Dedeng melihat sepasang mata kuning lebar di belakang jasad Ismail yang perutnya membengkak. Terlihat dengan senyuman lebar seolah bibirnya akan robek hingga ujung dan kuku-kuku panjang yang mengetuk-ngetuk di atas perut Ismail yang mengembung. Jemari itu kemudian menarik kencang-kencang kukunya dan Dedeng melihat muntahan organ yang membuncah dari perut itu. Semuanya busuk dan berwarna keunguan.

“AAHHH!” Dedeng berteriak kencang sekali. Ia memejamkan kedua matanya hinggam mengerut lantaran ketakutan yang amat sangat.

“Oy, Dedeng!”

Suara Amin cukup membangunkannya. Ia terkesiap dan membuka matanya. Ketika ia melihat mayat Ismail kembali, ia hanya melihat jasad itu seperti terakhir kali, yang seharusnya terlihat.

“Ada apa... ?”

Dedeng tidak menjawab. Ia hanya menggeleng dengan sekujur tubuh yang dingin dan lemas. Semakin menakutkan karena rupanya, Dedeng mengingat tatapan itu pada suatu kejadian di suatu tempat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status