Share

POLIGAMI
POLIGAMI
Penulis: Haris Fayadh

Nama di Surat Undangan

“Kamu ini aneh, Ay,” celetuk Nadia. Gurat heran jelas terpahat di wajahnya saat mengetahui ternyata Ayara membeli kitab tebal berjilid-jilid untuk hadiah ulang tahun Adam, suaminya. Ayara hanya tersenyum menanggapi Nadia yang masih menatap sahabatnya tersebut dengan lekat.

“Mas Adam dari dulu pengen kitab itu, Nad, tapi gak pernah kesampaian,” ucap Ayara kemudian setelah memasang sabuk pengaman. Nadia hanya menoleh sekilas tanpa mengeluarkan suara, kemudian menyalakan mobil.

“Emang itu kitab apa, sih, sampe berjilid-jilid gitu?” Nadia kembali bertanya setelah mobil melaju, menoleh ke arah wanita berhijab di sampingnya selintas lalu, kemudian pandangannya fokus kembali memandang ke depan. 

Ayara tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya itu, masih sibuk mengetik pesan guna memastikan Adam pulang malam ini. Akan ada surprise untuknya.

[Nanti malam pulang kan, Mas?]

Adam belakangan ini jarang sekali di rumah, katanya menginap di pesantren karena harus mengisi kursus bahasa Arab hingga larut. Ayara sama sekali tidak keberatan, bahkan senang karena Adam dapat membantu pesantren yang telah menjadikannya orang seperti saat ini.

Lagipula, kasihan juga jika harus pulang tengah malam, lalu besok paginya akan kembali mengajar. Malam ini, malam Jumat, di pesantren tidak ada kegiatan. Momennya sangat pas dengan ulang tahun pria yang sudah bersama Ayara tiga tahun itu.

Satu lagi, masa haid Ayara berakhir tadi pagi. Jadi, malam ini akan menambah manisnya kejutan wanita itu untuk sang suami. Senyum Ayara terus saja terkulum bila mengingat betapa pendiamnya lelaki berbadan tegap tersebut, tapi di balik sifatnya, Adam sangatlah romantis.

“Tafsir Ibnu Katsir.” Ayara menjawab singkat, sepintas melirik Nadia memutar mata, mungkin kesal karena lama Ayara tidak menggubrisnya.

Adam tidak membaca pesan Ayara, padahal status W******p-nya online. Pasti pria itu sedang sibuk, pikir Ayara.

Pikiran Ayara tidak pernah sekelebat pun bernegatif pada pria saleh itu. Bagaimana mungkin dia berprasangka buruk pada laki-laki yang telah memberikan kebahagiaan untuknya setiap waktu? Kebahagiaan Ayara bersama sang suami semakin lengkap dengan kehadiran Thalita, meskipun harus dengan jalan operasi.

[Insya Allah, Sayang. Mas sudah kangen]

Akhirnya senyum Ayara menyungging membaca pesan Adam. Wanita itu menaruh ponsel di atas dashboard, tepat berada di atas selembar kertas undangan dengan dominasi warna kuning keemasan.

“Undangan dari siapa ini, Nad?” Sepasang netra Ayara memicing membaca nama pasangan bahagia di muka undangan, Fitriya & Tirmidzi. Tiba-tiba darahnya berdesir, jantungnya berdegup kencang, serta otaknya tidak dapat terkontrol digerogoti kekhawatiran. Nama lelaki itu persis dengan nama depan sang suami.

“Ooh ... itu dari temen,” jawab Nadia. 

Ayara hanya melirik sebentar pada perempuan dengan rambut tergerai di samping. Lekas dirinya mengambil kertas undangan itu dengan tangan sedikit gemetar, memastikan kalau nama itu hanya kebetulan sama. Tidak ada foto kedua pasangan pada muka undangan, membuat Ayara membuka plastik pembungkusnya, lalu mengeluarkan kertas tersebut.

Ayara bagai tersambar petir saat membaca nama lengkap pengantin pria, Adam Tirmidzi bin H. Mahmud Hasan. Nama yang sama dengan laki-laki yang sejak tiga tahun lalu menjadi imamnya. Laki-laki saleh yang setiap hari mengayomi, mengecup keningnya sebelum tidur, serta tidak pernah sekali pun berkata kasar.

Mata Ayara kembali memindai nama yang tertulis, antara percaya atau tidak. Akan tetapi, nama itu tetap tidak berubah. 

Jiwa Ayara menolak menerima. Tidak. Tidak mungkin, Adam tidak akan berlaku sekejam itu pada Ayara. Adam tidak akan menduakannya. Tidak mungkin!

Dadanya bergemuruh hebat. Kepalanya tergeleng, tidak percaya dengan takdir yang begitu cepatnya merubah hari-hari bahagianya selama ini. Ia berharap ini mimpi, tetapi saat meraba hangat pipi yang bersimbah air mata, menyadarkan Ayara bahwa ini benar-benar nyata.

“Kamu kenapa, Ay?” 

Ayara menyeka air mata yang membanjiri pipi. Dengan cepat bulir-bulir bening itu kembali merayap.

“Mas Adam ....” Suara Ayara tercekat. 

Nadia terlihat bingung, tangannya segera mengambil surat undangan yang sedang Ayara pegang, lalu membaca nama pengantin laki-laki. Perempuan itu terhenyak lalu menatap Ayara lekat, meminta konfirmasi bahwa nama laki-laki itu adalah memang suaminya.

***

Bi Sumi kebingungan saat melihat Ayara berjalan cepat dengan mata sembab. Bayi mungil yang sedang digendongnya berceloteh dengan senyum mengembang. Segera Ayara mengambil anak itu, menghujaninya dengan kecupan yang seketika membuat air matanya kembali luruh.

“Mbak, ada apa?” Bi Sumi bertanya cemas. 

Ayara hanya menatapnya, lidahnya terasa kelu, tidak mampu menjelaskan apa-apa. Bergegas perempuan itu melangkah menuju kamar. 

Bi Sumi memandang bingung dari ambang pintu ketika melihat Ayara menaruh Thalita di atas kasur dan tergopoh meraih koper dari bawah ranjang.

Beberapa potong pakaian ia masukkan sembarang, serta tidak lupa perlengkapan-perlengkapan Thalita juga ia pastikan tidak ada yang tertinggal. Perempuan akan melangkahkan kaki untuk meninggalkan rumah itu setelah menutup koper rapat-rapat.

Tidak ada yang bisa diharapkan dari Adam, laki-laki yang dulu pernah mengatakan bahwa poligami seringkali dipelintir sebagai anjuran agama, dan sesungguhnya, Islam sangat menjunjung konsep monogami. Begitu tuturnya dulu ketika Ayara menjadikan dadanya sebagai bantal saat akan tidur.

“Bi ... saya pamit,” ucap Ayara serak. Ia menyeka sisa-sisa air mata yang membasahi pipi.

Bi Sumi masih terlihat bingung. Mematung tidak mengerti. Barulah ia paham jika sedang terjadi goncangan dalam keluarga majikannya saat Ayara meninggalkannya begitu saja dengan langkah cepat.

Terlihat mobil Adam memasuki pekarangan saat Ayara membuka pintu rumah. Pria itu keluar dari dalam mobil dengan senyum mengembang seperti biasanya. Namun, tidak dengan Ayara. Rasa bahagia tatkala melihat senyumnya, kini berubah menjadi kebencian luar biasa yang menggerogoti hati.

Senyum pria itu memudar saat melihat sang istri menyeret koper dengan mata sembab. Kembali air mata Ayara tumpah tanpa bisa ditahan.

“Sayang ....” Adam melangkah cepat menghampiri sang istri. Menatapnya lekat dengan wajah kebingungan. Tangannya mencekal pergelangan tangan Ayara saat hendak melangkah.

“Kamu kenapa, Ayara?” 

Lihatlah, pria itu masih bermaksud mengelabuhi Ayara dengan sifat lugunya. Ayara menatap lelaki di depannya dengan mata menjegil.

“Lepas!” 

Ayara mengibaskan tangan agar terlepas dari cekalan Adam. Surat undangan yang sejak tadi diremasnya terjatuh bersamaan dengan terlepasnya tangan wanita itu.

Pandangan Adam kini beralih pada kertas undangan itu. Ia terkesiap saat tersadar bahwa sang istri telah mengetahui rahasia besar yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status