“Ana sialan. Berani-beraninya dia lakuin hal itu ke gue.”
Neta berteriak ke bayangannya sendiri di cermin wastafel toilet kampus setelah sebelumnya memastikan tidak ada orang yang akan mendengarnya mengumpat. Ia tak ingin ada yang akan menganggap cerita yang sedang beredar itu benar. Bagaimanapun juga, reputasi baik harus tetap dipelihara. Bagi Neta, kelakuan Ana sudah kelewat batas. Setelah kemarin mengabaikan Neta seharian di kelas, bergeming tiap diajak bicara, jelas-jelas membuat Neta tidak berbeda dengan makhluk tak kasat mata, sekarang Ana malah berkoar-koar bahwa kelakuan Neta tempo hari yang melempar makalah ke mukanya dan bersikap tidak sopan di kelas Profesor Radi diakibatkan oleh stres yang berkepanjangan karena Lavi, orang yang rencananya akan menikahinya malah tewas terbunuh. Dampak yang ditimbulkan oleh kabar itu sama sekali tidak menyenangkan buat Neta. Ke manapun Neta pergi, mahasiswa tidak akan repot-repot menyembunyikan keengganannya berada dalam rKila berlari tanpa memedulikan apapun. Bahu yang tertabrak, benda yang terjatuh dan menimbulkan kernyitan tak suka di wajah pemiliknya, warga sipil dengan wajah kebingungan yang melihatnya melintasi koridor, semua itu tak penting. Yang utama adalah dapat tiba secepatnya di ruangan AKBP Neco dan menemuinya, meneriakinya kalau perlu.Kila baru saja tiba di kantor dan sedang akan bersiap menyalakan lilin aromaterapinya ketika Ibad memasuki ruangannya tanpa sopan santun. Baru saja akan menyodorkan protes, Ibad sudah membuatnya shock dengan kabar yang dibawanya. Kabar yang membuat Kila berderap marah ke ruangan atasannya dan bermaksud mendampratnya. Tak peduli bahwa ia hanya bawahan. Begitu sampai di ruangan yang dituju, tanpa mengetuk pintu lagi Kila langsung masuk. AKBP Neco yang melihatnya datang tanpa etika sama sekali tak keberatan, seolah ia memang telah menunggunya. Tidak sempat merasa heran karena AKBP Neco melewatkan sesi ceramah soal kesopanan seperti biasanya jika
Sehari sebelumnya…“Lo bener-bener udah gila, Ka.”Kala mendengus bosan. Fatih sudah mengatakan kalimat itu setidaknya sembilan kali sejak satu jam yang lalu, tepatnya sejak Kala memutuskan melakukan hal ini. Setelah agak tidak tega karena dari tadi tidak merespons keluhan Fatih, Kala akhirnya menjawab.“Jadi? Kenapa lo masih di sini kalo gue udah gila?”Fatih kehilangan kata. Sekalinya bereaksi terhadap pernyataannya, Kala malah memberi balasan telak yang tak bisa ditangkis. Sambil memanyunkan bibir yang membuat citra cowok machonya berhamburan, ia memilih diam.Menganggap kecerewetan Fatih sudah bisa dikendalikan, Kala menegakkan diri. Tinggi badan 181 cm membuatnya harus membungkuk di samping badan mobil, meskipun pegal tapi setidaknya bisa membuatnya tidak terlihat oleh buruannya. Sosok yang dimaksud sedang asyik berbincang dengan orang berseragam yang tengah menemaninya, melintasi halaman sebuah rumah makan yang cukup terkenal di Kota Ryha. Samb
Memasuki kamarnya yang berantakan, Fatih sudah lelah jiwa dan raga sehingga ia hanya melemparkan ransel tanpa peduli di mana akan mendarat lalu menelungkup di kasur yang ditutupi bed cover warna hitam motif tartan putih. Ia tak pernah tahu menguntit orang akan secapek ini, mengikuti manusia itu kemana-mana sambil menyembunyikan diri. Dengan postur tubuh machonya, Fatih tahu diri untuk mengeluarkan upaya lebih agar tak terdeteksi. Ia dan Kala sudah mengawasi aktivitas Profesor Gani sesiangan itu. Sebenarnya ia tidak gentayangan ke banyak lokasi, setelah makan siang dengan AKBP Neco, Profesor Gani kembali ke kampus, menyibukkan diri di ruangannya hingga sore. Usai mendapat kabar soal kelakuan Neta di toilet kampus –Fatih sendiri tidak menyaksikannya karena sibuk berjaga dengan Kala di sekitar ruangan Profesor Gani-, sambil berderap marah Profesor Gani meninggalkan ruangannya menuju mobil dan berkendara menuju rumah. Melihat sendiri Profesor Gani memasuki pintu rumahnya, ia
Belum puas setelah membanting pintu ruangan atasannya, Kila kembali menghajar pintu ruangannya sendiri saat ia memasukinya. Ia sedang merasa sangat kesal, kalau perlu semua pintu di kantor polisi ini akan ia hantam agar rusak. Serusak mental orang yang memimpinnya.Dengan tangan gemetar dibungkus amarah, Kila menyalakan lilin aromaterapinya, berharap wanginya dapat mengusir emosi negatif yang bercokol di tubuhnya. Ia kemudian duduk bersandar di kursinya sambil memejamkan mata, meresapi kedamaian yang ditawarkan benda di mejanya itu.Setelah meraup dan melempar napas panjang beberapa kali, Kila merasa sudah bisa berbicara tanpa teriak lagi. Membuka matanya, ia sadar harus bersikap tenang menghadapi kekacauan yang disebabkan oleh atasannya yang menjijikkan.Pikiran itu nyaris membuat usahanya untuk menenangkan diri sia-sia. Sebelum mulutnya kelepasan melontarkan makian yang mungkin akan membuat Kila kembali ke ruangan atasannya dan melancarkan amukan susulan, Kila bur
Aula Kantor Polisi Ryha dipenuhi orang-orang yang memanggul kamera dan alat perekam. Mereka adalah awak media yang telah diundang Bagian Hubungan Masyarakat untuk meliput pengungkapan kasus pembunuhan di bukit yang dibawakan langsung oleh Kepala Kepolisian Ryha, AKBP Neco.Beberapa reporter nampak duduk bergerombol sambil penuh semangat membicarakan kasus yang bisa dipastikan akan terpampang di halaman pertama koran keesokan harinya sebagai selingan dari pemberitaan panas tentang politik. Lama-lama masyarakat bisa bosan jika setiap hari hanya membaca tentang tokoh politik yang berseteru.“Gue denger-denger sih pelakunya temen baik korban.”Reporter wanita yang menggunakan blazer biru berkicau. Di sampingnya, reporter pria berkaos abu-abu mengiyakan.“Kata polisi kenalan gue, dia ditangkep tengah malam tadi tapi sempet melawan.” Reporter blazer biru kaget sekaligus senang karena hal itu artinya sudut pandang tambahan bagi berita yang sudah separuh tersusun dalam otaknya.“Dia
“Lo diskors? Kok bisa?”Kila hanya mengangkat bahu kemudian menyesap minumannya lagi dengan santai seolah-olah diskors bukan masalah gawat. Kala yang melihat aksi kakaknya justru gemas sendiri, bagaimana mungkin Kila menganggap skors seperti cuti untuk liburan?“Gue marah sama AKBP Neco karena tangkap Fatih dan membuatnya jadi tersangka. Dia marah balik dan serahin kasus ini ke tim lain dan gue diskors satu minggu.” Kala bingung harus bereaksi seperti apa, salut karena kakaknya berani melawan atasan yang lalim atau bodoh karena diskors sebab membela hal yang dianggapnya benar?“Sekarang kita mesti gimana? Kakak justru diskors di saat genting begini.”Tak tega menyaksikan ekspresi adiknya yang merana, Kila tersenyum menenangkan.“Jangan khawatir, kita tetap bisa dapat akses ke kantor polisi kok. Ada Ibad dan Pita yang bisa kita jadikan mata-mata. Sementara itu, kita akan berburu di luar.”Ide untuk menjadikan rekan kerja kakaknya sebagai mata-mat
Insiden di toilet cewek kampus kemarin sepertinya menimbulkan efek yang sama pada setiap orang, baik yang melihat langsung ataupun yang sekadar mendengar gosipnya saja karena begitu turun dari mobil mahalnya, Neta langsung disambut dengan tatapan siapa saja yang kebetulan ada Neta dalam jangkauan pandangnya. Bukan tatapan kagum atau memuja yang kerap diterima Neta sebelum kematian Lavi, bukan pula tatapan prihatin atau iba seperti yang didapat sebelum konflik dengan Ana kemarin, Neta merasa para mahasiswa kompak menghadiahkannya tatapan jijik. Berpura-pura tak peduli, Neta berjalan dengan dagu tertarik ke atas, memberikan tantangan pada siapapun yang berniat mencacinya, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Upaya itu cukup berhasil karena tak ada mahasiswa yang kelihatan berbisik-bisik dengan suara yang sengaja dikeraskan ketika ia lewat, entah kalau di belakangnya. Kelasnya sudah ramai ketika Neta sampai. Begitu tiba di pintu, obrolan yang terdengar mendengung tiba-tiba berhen
Sudah hampir satu jam ia mempertahankan pose duduknya, menopang wajah dengan kedua tangan sambil tepekur menatap layar laptop yang menampilkan halaman Microsoft Word yang kosong. Tiap layar laptopnya menggelap, ia hanya menyentuhkan jarinya dengan malas ke panel sentuh sehingga layar kembali benderang. Dan ia akan memelototinya lagi. Sebuah perbuatan yang menyia-nyiakan daya laptop saja.Suara pintu yang terbanting di belakangnya pun tak membuatnya beranjak, bahkan hanya untuk sekadar menoleh. Ia sudah hafal siapa yang memiliki kebiasaan buruk memperlakukan pintu yang tak bersalah seperti itu, ia juga sudah maklum apa penyebab pintu itu dibuka tanpa sopan santun.“Tita!”Pemilik nama hanya melempar napas bosan mendengar identitasnya diteriakkan secara membahana. Kalau sudah begitu, berikutnya adalah deretan kalimat tidak menyenangkan.“Apa kerjamu seharian ini? Mana artikel tentang konferensi pers di kantor polisi tadi? Media lain sudah gencar menyebarkan berit