Share

Empat

Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”

“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”

Aoki tercenung.

“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.

“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki menyadari bahwa mengatakan demikian sesungguhnya tidak memberikan kepuasan sama sekali buat Ajin.

“Persetan sama kepala ini!” Ajin memekik. Kedua tangannya masih mencengkeram hebat kepalanya, kedua matanya masih terus terpejam rapat. Dia tengah berusaha melawan rasa nyeri yang menyerang kepalanya secara tiba-tiba itu. Meskipun gejala demikian sudah biasa terjadi, namun rasa sakitnya tidak bisa ditawar sama sekali; tetap terasa sakit. Ajin belum mampu melanjutkan pembicaraan lagi. Seolah-olah menjelaskan bahwa jika dia bergerak sedikit saja, kepalanya akan semakin pening. Aoki mengamatinya dengan tidak berdaya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Berselang beberapa menit, rasa nyeri itu mereda, dan Ajin menarik napas panjang dan bersandar. Dia tampak terkulai lemas. “

“Maaf,” ucap Ajin.                                                                                                                              “Kapan pertama kali kamu dinyatakan mengidap toksoplasmosis?”

“Aku tidak tahu tepatnya. Mungkin sudah sekitar dua bulan yang lalu. Kepalaku mulai sering pusing, kulitku mulai terlihat memar-memar, pendengaranku agak terganggu sejak di Chiba. Mungkin daripada kau yang hidup tenang di bawah bangunan ini, yang memutuskan iya atau tidak untuk melibatkan diri dengan masalah klienmu, kau tidak bisa membayangkan kalau dulu aku kesakitan tanpa ada bantuan perawatan sama sekali. Setelah aku dibebaskan dan di bawa ke sini, mereka baru membawaku ke Rumah Sakit Kanto. Aku menjalani serangkaian tes, aku mendapat pemeriksaan. Dan aku menceritakan gejala-gejala yang kerap aku alami. Kemudian setelah beberapa pemeriksaan, aku divonis mengidap penyakit itu.” Ajin menghirup napas kuat-kuat, dan setelah dadanya menolak terlalu banyak udara, dia mengembus, dia berhasil menyunggingkan senyuman pertamanya di hadapan Aoki.

“Mungkin aku merasa kalau kau pernah bertemu dengan orang-orang yang sama sepertiku.” Ajin tersendat. “Mereka yang tengah sekarat.”

“Terkadang. Tapi itu merupakan bagian dari pekerjaanku.”

“Dan kukira, orang-orang yang tengah dalam kondisi seperti itu mau tidak mau mengalami kecenderungan untuk menjadi lebih serius tentang masalah Tuhan, kehidupan setelah mati, dan sebagainya.”

“Betul. Seperti burung yang beterbangan di awan, ketika dia mampu merasakan bahwa angin-angin yang menyertainya merubah auranya sebab akan datangnya hujan, mereka akan dengan cepat kembali ke sarang. Tapi bagaimana denganmu sendiri, Ajin? Kau percaya Tuhan itu ada? Apakah kau juga percaya dengan adanya kehidupan setelah mati?”

“Relatif. Atau bisa dibilang situasional. Ada kalanya aku percaya, ada kalanya juga tidak. Bahkan ketika aku mencoba untuk berusaha percaya pada Tuhan, masih ada sedikit keraguan yang menegur kepercayaanku. Mungkin sangat mudah buatmu untuk percaya kepada Tuhan sebab kau memiliki kehidupan yang mudah dan bahagia. Lain cerita jika denganku.”  

“Kau hendak menceritakan seluruh kehidupanmu padaku?”

Ajin menimbang. “Entahlah. Tidak juga.”

“Lantas kenapa kau ke sini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status