Share

Enam

Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan. 

Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.

“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.

Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”

“Aku kerap kali ikut terlibat dalam pergumulan itu. Kepalaku sering terluka. Dan aku mengira, itu yang menjadi penyebab penyakit ini tanggal menggerogoti isi kepalaku sekarang.” Ajin merasa bahwa hal itu adalah sesuatu yang lucu dan dia tengah menertawai leluconnya sendiri.

Budaya sopan santun, Aoki menyumbang tawa kecil, lantas berdiri, dan berjalan ke arah meja tulisnya. “Aku akan memberimu kartu namaku. Kau bisa meneleponku kapan saja. Kau akan selalu diterima di sini.” Aoki mengambil sepucuk kartu nama yang khas dimiliki oleh seorang kelas menengah dan dilanjutkan lirikannya ke layar monitor komputernya. Empat, sudah terhitung, empat putusan bersalah sudah pernah jadi riwayat kelamnya di pengadilan, dan semuanya adalah tindak pidana seksual. Aoki kembali ke kursinya dan menyerahkan kartu nama itu pada Ajin, lantas kembali duduk.

“Penjara paling keras menyingkapi seorang pemerkosa, bukan begitu, Ajin?”

“Sangat keras dan kasar. Brutal kalau istilahku.” Ajin meng-iyakan. “Aku tidak ingat berapa kali aku pernah dihajar. Mungkin karena terlalu sering,” imbuhnya.

“Begini Ajin, aku tidak terlalu tertarik membicarakan hal ini. Aku masih punya beberapa pertemuan lain yang harus aku hadiri. Kalau kau masih sangat perlu dan ingin berkunjung lagi, silakan, telepon aku sebelumnya. Dan aku mengundangmu buat hadir di kebaktian kami hari minggu berikutnya.” Aoki tidak yakin bahwa dia serius dengan ajakan itu, namun suaranya terkesan tulus.

Dari saku jaket kulanya, dirogohnya sepucuk kertas terlipat. “Kau pernah dengar kasus rumit Eren Tatsuya?” tanya Ajin sambil menyerahkan sepucuk kertas itu pada Aoki.

“Tidak pernah."

“Salah satu alumnus SMA Kanto, didakwa bersalah karena dianggap telah membunuh pada tahun 1995. Simpang siur berita masyarakat mengatakan dia telah membunuh pemandu sorak SMA Knato, mayatnya hingga kini belum ditemukan.”

Aoki membuka lipatan kertas itu pelan-pelan. Tampilan di dalamnya adalah sebuah salinan artikel pendek dari surat kabar Yamaka, tertanggal hari Sabtu kemarin, Aoki memindai isinya dengan cepat lantas memperhatikan foto polisi Eren Tatsuya. Bagi Aoki, tidak ada yang istimewa, hanya eksekusi rutin biasa di Kanto yang melibatkan terdakwa lain yang bersikukuh bahwa dirinya tidak bersalah. “Eksekusi itu akan dilakukan hari Rabu ini,” ucap Aoki.

“Kuberitahu sesuatu ya, Pendeta, bahwa orang-orang berseragam itu telah menanggalkan baju narapidana kepada orang yang sebetulnya tidak bersalah. Mereka salah menangkap pelakunya. Anak itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembunuhan gadis itu.”

Aoki mendongak cepat. “Bagaimana kau bisa tahu hal itu?”

“Tidak ada bukti. Secuil bukti pun tidak bisa ditemukan dengan jelas yang menandakan dia pelakunya. Polisi-polisi itu memutuskan dialah pelakunya, merepresi dia dan kemudian memaksanya mengaku, dan sekarang, dengan bukti yang sangat kurang itu, mereka hendak membunuhnya. Itu salah, Pendeta, salah besar.”

“Ajin, kau mengetahui suatu hal yang sangat penting seperti itu, bagaimana kau bisa…”

Ajin mendekatkan diri, terlihat seakan-akan ingin membisikkan sesuatu. Deru jantung Aoki semakin kencang. Namun tidak ada suara yang keluar. Sebuah jeda panjang dan memusatkan tatapan masing-masing keduanya.

“Katamu tadi, mayat gadis itu sampai sekarang belum ditemukan,” Pancing Aoki agar Ajin mau bercerita sendiri.

“Betul. Sangat jelas bahwa jaksa penuntut umum, pihak kepolisian, mereka semua mengarang cerita liar agar terlihat kalau anak laki-laki itu yang telah menculik si gadis pemandu sorak, memerkosanya, mencekiknya, lantas melemparkan mayatnya dari jembatan ke Sungai Merah. Itu semua karangan mereka semata.”

“Intinya kau bilang begini sebab kau tahu di mana mayat gadis itu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status