Share

Tujuh

Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.

“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.

“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua telapak tangannya. “Aku sekarat, oke? Kau tahu itu. Dan sepertinya memang aku akan mati beberapa bulan lagi. Mengapa anak yang tidak bersalah ini juga hendak ikut mati juga? Dia tidak melakukan apa-apa.” Sambil berbicara terbata-bata, matanya berkaca-kaca, kantung matanya berusaha menampung air matanya itu, tetap tidak bisa dan akhirnya menetes. Wajahnya mengerut, menahan rasa sakit.

Aoki memperhatikan, sedangkan Ajin kalang kabut menahan sakit kepalanya, tubuhnya sampai gemetar. Aoki mengulurkan sekotak tisu dan memperhatikan Ajin menyeka wajahnya yang penuh peluh. “Tumorku membesar. Setiap hari semakin membesar dan semakin keras mendesak tengkorak kepalaku.”

“Mereka memberimu obat?”

“Beberapa. Tapi tetap, percuma saja. Aku harus pergi.”

“Menurutku, kau denganku masih belum selesai.”

“Iya, baiklah.”

“Di mana mayatnya?”

“Kau tidak benar-benar ingin tahu.”

“Aku ingin. Mungkin kita bisa bekerja sama menghentikan eksekusi itu.”

Ajin terkekeh. “Oh, iya? Mana mungkin bisa di Kanto.”

Lamat-lamat dia berdiri dan mengetuk-ngetukkan tongkatnya di karpet. Melirik pendeta dan sedikit meringis. “Terima kasih, Pendeta.”

Aoki masih tetap duduk. Dia justru memperhatikan Ajin yang berjalan pincang dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya.

Yuji melirik pintu, dia menolak tersenyum. Dia mampu mengucapkan “selamat tinggal” secara lega untuk membalas ucapan “terima kasih” Ajin. Lalu, Ajin Jaeger pun lenyap dari hadapannya, kembali ke jalanan hampa tanpa sehelai mantel dan sarung tangan, dan Yuji tidak memikirkan itu.

Suaminya tidak bergerak, masih duduk termangu di kursinya. Menatap nanar dinding dan masih mencengkeram sebuah salinan artikel surat kabar.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Yuji. Sejurus kemudian Aoki mengulurkan salinan artikel surat kabar itu dan Yuji membacanya hingga teramat bingung.

“Aku belum mengerti apa sangkut-pautnya,” ucapnya begitu selesai membacanya.

“Ajin Jaeger mengetahui di mana mayat gadis itu, karena dialah pembunuhnya.”

“Apakah dia sendiri yang mengakui kalau dia membunuh gadis itu?”

“Hampir. Dia mengatakan kalau dia menderita toksoplasmosis yang kemungkinan besar tidak bisa ditangani dengan operasi dan dia akan mati dalam waktu beberapa bulan lagi. Aku merasa bahwa pernyataan itu adalah ungkapan putus asa dari seorang mantan kriminal yang akan menghadapi mautnya. Dia bilang Eren Tatsuya tidak ada hubungannya sama sekali dengan hilang dan tewasnya gadis itu. Ungkapan dia tersirat sekali, namun dengan jelas dia menyiratkan kalau dia memang tahu di mana mayat gadis itu.”

Yuji tersentak di sofa dan terbentang di antara bantal-bantal. “Dan kau mempercayai ucapannya?”

“Dia kriminal kambuhan, Yuji, dia penipu. Dia lebih suka berbohong daripada mengatakan hal yang sebenarnya. Kau tidak bisa mempercayai ucapannya. Meski terlihat ironis sekali dia menyampaikannya.”

“Apa kau percaya padanya?”

“Aku rasa, iya.”

“Bagaimana bisa kau percaya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status