“May, gue nebeng lo ya. Tadi gue berangkatnya naik ojol. Yuk,” ajak Gadis.
Tumben sekali Gadis nebeng aku, biasanya dia nebeng Danu karena rumah mereka jauh lebih deket. Aku melirik arloji di pergerangan tanganku, ternyata sudah pukul empat. Danu juga sudah siap-siap mau pulang. Saat itu juga pintu ruangan Rendra terbuka.
“Dis, yakin gak jadi bareng gue?” Tanya Danu.
“Enggak, sama Mayang aja. Lama gak nebeng dia.”
Aku hanya mengangguk. Aku melihat kalau tatapan Rendra mengunci mataku. Tapi aku cuek.
“Yuk, keburu macet.” Aku jalan lebih dulu meninggalkan Danu, Gadis, dan Rendra. Aku baru malas jika ngobrol dengan dia.
“May, mampir beli kopi yuk?” ajak Gadis. Aku langsung mengiyakan, karena memang aku butuh kopi. Sangat penat hari ini. Harapan akan membayangkan makan siang berdua, pulang bareng, sampai rumah makan bareng lagi. Sirna sudah.
“Boleh, ke Kopi da
“Pulang bareng ya?” Suara Rendra terdengar sangat dekat. Ternyata dia sudah ada di depan mejaku.“Mobilku gimana?” tanyaku. Karena aku tadi dijemput Gadis.“Biar dibawa Gadis lagi, Mama ngundang makan malem.” Rendra menarik kursi di depanku.Aku kaget mendengar perkataan Rendra, gila aja Mamanya ngajak makan malem bareng. Aku belum persiapan apa-apa. “Kenapa mendadak sih? Kenapa gak dari tadi ngomongnya? Aku gak siap apa-apa ini?” Protesku.“Mama barusan yang whatsapp. Gak usah bawa apa-apa. Udah gitu aja langsung berangkat. Nanti habis isyak langsung pulang, biar gak kemalaman pulangnya.” Katanya.Akhirnya aku menyetujui. Untung saja hari ini pakaian yang ku pakai bisa dikatakan sedikit sopan. Aku memakai celana kulot warna mocca dan blazer dengan warna senada. Ya, meskipun belum mandi tapi not bad lah.“Dis, mobil gue, lo bawa la
Selang lima menit depan ruang editor terdengar rame-rame. Benar yang dikatakan Gadis kalau Kak Ratu diterima jadi editor di sini. Ketika Bu Rahma selaku kepala HRD masuk ruangan semua penghuni ruangan ini menjadi diem. Kemudian di susul dua orang yang aku Yakini akan diperkenalkan sebagai editor baru. Satu laki-laki dan yang satu perempuan. Yang perempuan jelas itu Kak Ratu.“Mayang, ikut ke ruangan Pak Rendra sekarang juga ya.” Perintah Bu Rahma. Aku langsung berdiri dan mengikuti di belakangnya.Aku berjalan di samping kak Ratu “Hallo kak,” sapaku.Kak Ratu menoleh dan membalas dengan senyuman.Ada yang aneh menurutku, waktu awal ketemu wawancara dulu tidak seperti ini. Ini kenapa seperti cuek ya. Ahhh kenapa juga aku harus mikirin ini.Bu Rahma mengetuk pintu ruangan Rendra. Kami langsung masuk saat Rendra memersilakan dari dalam. Rendra langsung berdiri dari kursinya kemudian menuju kursi tamu yang ada di s
“Mana kuncinya.” Gadis merebut lagi kunci mobilku terus diberikan ke Danu. “Dan, lo yang nyetir, aku gak mau kalau Mayang yang nyetir terus terjadi apa-apa.”“Siap. Tapi nanti kalian janji ceirta ya.” Rayu Danu.Kami bertiga memang sering gak mau kalau diminta nyetir, sesuai kesepakatan bersama menggunakan mobil siapa baru yang punya mobil yang nyetir. Tapi kali ini beda, karena kondisiku yang tidak memungkinkan Gadis menyuruh Danu untuk nyetir.Baru aku membuka pintu mobil, aku melihat Rendra keluar dari kantor dengan Kak Ratu. Tatapan Rendra langsung menatap ke arahku. Aku tau maksud tatapan dia, tapi aku tidak nyakin untuk kali ini.“Ayo May, lo nunggu apa lagi sih.” Teriak Danu.Aku langsung masuk dan menutup pintu. Menghiraukan tatapan Rendra. Selama perjalanan aku hanya melihat ke arah jendela.“Dis, pesan seperti biasanya ya.” Aku menyuruh Gadis ke
Aku membaca cerita karya Rendra yang dikirim. Dua hari ini aku membaca naskahnya. Sebenarnya cerita dia tidak begitu Panjang. Tapi aku menikmati setiap bagian yang dia tulis. Semua yang dia tulis seperti yang aku impikan selama ini.Entah sengaja atau tidak, Rendra tidak memberikanku kerjaan selain naskah dia. Ini tidak adil sebenarnya karena karya dia belum masuk ke daftar yang akan dicetak. Malah ada beberapa karya yang dikerjakan Ratu. Aku sempat protes dengan Rendra, tapi dia tetap dengan keyakinannya, aku diminta untuk fokus ke karya dia. Aneh bukan.Sudah dua minggu pasca kejadian awal Kak Ratu kerja di sini. Semua terlihat baik-baik saja. Aku dan Kak Ratu tidak terjadi perang batin, gak tau kalau perasaan kak Ratu.“Yang, bisa ke ruangan saya sebentar?” Pak Rendra menyembulkan kelapa di pintu.Aku mengangkat kepala mencari sumber suara “Ohh, bisa Pak.” Aku langsung berdiri dan merapikan kemeja yang agak kusut.
Kami tiba di kantor tepat pukul satu. Saat itu Reno dan Ratu sudah fokus ke laptopnya masing-masing. Aku segera menuju meja. Tatapan sinis Ratu sudah mulai aku dapatkan lagi. Mungkin dia curiga kalau Rendra dekat denganku. Aku mah cuek aja.“Mayang, Danu, dan Gadis bisa ke ruangan saya sebentar.” Suara Pak Rendra mengagetkan kami. Aku, Danu, dan Gadis langsung saling menatap.“Ya paling juga dimarahin karena telat masuk.” Ucap Ratu sinis.Padahal kami bertiga tidak telat masuknya. Kami juga tidak menghiraukan perkataan Ratu. Biar diam mau ngomong apa, sepertinya dia iri.Aku langsung membenarkan baju dan jalan ke ruangan Rendra. Kami bertiga masuk setelah mengetuk pintu. Rendra sudah menunggu di sofa tamu.“Silakan duduk.” REndra memersilakan kami.“Jadi begini, karena saya ada projek baru ketemu penulis di Bali, saya ingin mengajak kalian bertiga. Karena penulisnya jauh, jadi nanti bia
Kamis pagi kami sudah sampai di Bandara YIA. Kami diantar Dea, pacarnya Danu.“Udah, gak ada yang ketinggalan kan?” Tanyaku ke Danu dan Gadis.“Beres.” Jawab mereka serempak.Tiket yang dipesankan untuk kami penerbangan pertama yaitu jam tujuh. Sehingga sekarang baru jam senam kami udah siap di bandara. Biasanya jam enam baru bangun tidur. Kata Rendra biar kami sampai Bali masih pagi dan bisa istirahat sebelum siang kami ketemu dengan klien. Kami menurut saja karena semua akomodasi sudah ditanggung sama kantor.Pukul Sembilan kami Sudah sampai hotel, aku dan Gadis satu sakar, sedangkan Danu sendiri. Katanya berdua dengan Rendra jika dia besok nyusul ke Bali.Kami bertiga istirahat di kamar masing-masing. Walau perjalanan tidak terlalu lama, tapi mata memang tidak bisa berbohong. Sebelum keberangkatan ke Bali kami benar-benar lembur sampai jam satu dini hari baru bisa tidur.Aku mengabaikan suara ponsel y
Sesuai janji dengan Rika, penulis kami yang di Bali. Kami bertemu di restoran hotel untuk penandatanganan kontrak. Kami janjian pukul dua siang, waktu lebih maju daripada jadwal sebelumnya. Sebelumnya dijadwalkan jumat malam, karena Rendra sudah tiba di Bali Kamis malam, maka kami memajukan jadwal agar bisa cepat selesai kerjaan kami.Oh iya, tadi pagi Rendra juga mengajak aku untuk sarapan bareng. Dia tidak menceritakan apapun masalahnya, padahal sangat jelas dari raut wajahnya jika dia menanggung beban. Aku mencoba untuk memancing agar diam au bercerita tapi hasilnya sama. Masih nihil. Dia hanya menceritakan pekerjaan yang agak kacau karena aku tinggal, padahal aku ini kerja juga bukan meninggalkan pekerjaan.Aku jadi bertanya-tanya sendiri kalau begini, aku penasaran denga napa yang dikatakan Clara. Tapi ketika mengorek agar diam au bercerita sama saja membuka masalah untuk kami. Makanya, aku hanya bisa diam untuk saat ini. Diam lebih baik. Menganggap
Aku masih menangis di bahu Rendra. Dia masih tetep setia mengelus punggungku. Dia hanya diam tanpa bicara apapun lagi. Kelamaan tangisanku mulai reda, tapi ingusku masih saja keluar. Rendra mengambilkan tisu untuk aku membersihkan ingus."Makasih," kataku.Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk saat ini."Pulang yuk,"ajaknya.Aku menggaguk sebagai jawaban. Tapi sepertinya alam sedang tidak bersahabat dengan kami. Tiba-tiba hujan turun lama kelamaan begitu deras. Kami masih di tempat makan pinggir pantai. Padahal sudh pukul setengh enam. Jika kelamaan kami di sini, tiba di hotel bisa malam karen jrak hotel ke Pantai Pandawa lumayan jauh.Tiba-tiba angin lumayan kencang. Aku kedinginan karena baju yang aku gunakan hanya kemeja tipis dan untungnya aku pakai celaba kulot dan sandal. Toba-tiba Rendra melepas jaket yang dia kenakan."Nanti kamu kedinginan Ren, kalau jaketnya basah gimana?""Gak papa sayang."Hari sem