Share

Bab 3

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-10-31 09:07:56

Cahaya kini berkutat di dapur. Dua gelas beras sudah ditanaknya di dalam alat penanak nasi. Ayam goreng untuk Kiran sudah selesai dia masak. Kini jemari lentiknya tengah sibuk mengiris tempe untuk dijadikan bacem. Sayurnya dia menumis kangkung.

Aroma masakan menguar memanjakkan indra penciuman. Perut yang letih menahan lapar seolah disuguhi oleh godaan. Apalagi tubuh Cahaya terasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah kakak iparnya.

“Ma, di rumah Anneke, sudah banyak kue loh, Ma. Di rumah kita kok gak ada kue?” Suara Kirana yang muncul dari ruang tengah terdengar. Cahaya terdiam. Ingat masih ada sisa uang.

“Iya, besok juga Mama mau bikin. Kiran mau kue apa?” Cahaya tak sampai hati memberi tahu yang sebenarnya jika mereka tak punya uang.

“Wah, beneran, Ma? Mau bikin kue banyak juga?” Kiran begitu antusias dan bertanya dengan mata yang berbinar.

“Enggak banyak, Sayang. Lebarannya ‘kan sehari doang. Satu toples saja cukup, ya.” Cahaya menoleh pada putrinya.

“Kalau di rumah Anneke, kuenya banyak, Ma. Katanya suka banyak keluarganya yang datang. Kalau kita kenapa gak punya keluarga, sih, Ma? Kan biar Mama bisa bikin kue banyak.”

Nyess!

Ada yang terasa menusuk perih. Benar, semenjak jatuh miskin dan Mas Baska pergi merantau, dirinya memang seolah tak punya keluarga. Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah jauh berubah, berbeda sekali dengan ketika dirinya masih berjaya dulu. Mereka pun hanya memanggil kalau butuh bantuan saja.

Andai Cahaya tak memiliki Bapak yang sudah sakit-sakitan, Cahaya dulu juga akan memilih ikut Baska merantau. Namun, tak tega melihat Ibu yang sudah sepuh harus mengurus Bapak sendirian. Cahaya anak semata wayang. Sementara itu, Baska merupakan anak bontot dan memiliki dua kakak perempuan. Ayahnya sudah meninggal dan hanya menyisakan Ibunya saja, karena itu, Mas Baska merasa jika tanggung jawab pada Ibunya pun sama besar, mengingat dua kakaknya hanyalah perempuan. Dulu sikap mereka baik, hanya saja … semenjak dirinya susah, semua menjauh. Benar seperti yang dikatakan Kirana, mereka sudah seperti tak punya keluarga.

“Kita kan ada keluarga, Nenek sama Kakek. Nanti lebaran kita ke sana, kok!”

“Keluarga kita, Kakek sama Nenek doang, ya, Ma?”

Kirana datang mendekat dan duduk di sampingnya. Lalu mengambil irisan tempe dan hendak menyuapkannya.

“Hush, ‘kan lagi puasa!” Cahaya memindahkan wadah tempe.

“Tapi kata Anneke kalau lupa boleh, Ma. Dia kalau di sekolah pasti selalu lupa padahal pas mau beli jajan, Kiran ingetin, tapi katanya nanti saja ingetnya pas jajan esny sudah habis,” celoteh Kirana.

“Kalau lupa itu gak sengaja, mana bisa inget kalau sudah es nya habis. Itu namanya pura-pura lupa. Kiran jangan gitu. Puasa itu adalah latihan kedisiplinan. Bagaimana kita belajar disiplin untuk menahan diri dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Menahan diri itu bukan hanya dari lapar dan haus, tapi juga dari perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Puasa juga melatih kejujuran … karena orang-orang mana tahu kalau kita hanya mengaku-ngaku puasa, padahal seringnya pura-pura lupa kayak temen kamu itu. Selain itu, ketika kita puasa … kita belajar melatih empati kita, Sayang. Karena tak semua orang di dunia ini beruntung dan bisa kenyang makan setiap hari … ada yang setiap harinya harus menahan lapar hingga mendapatkan sepeser rupiah untuk membeli makanan.”

Kirana hanya mengangguk-angguk dan memperhatikan tangan Cahaya yang kini tengah mengiris bawang.

“Oh gitu ya, Ma? Kita masih beruntung ya, Ma, bisa makan tiap hari.” Kiran berucap dengan polosnya. Hanya senyum yang Cahaya ulas sebagai jawabannya. Andai putrinya tahu, seberapa keras dia berjuang untuk bertahan hidup selama empat tahun ini. Namun benar, semua masih harus disyukuri karena mereka masih bisa makan setiap hari.

Hening, hanya suara pisau beradu dengan talenan sampai suara Kirana terdengar lagi.

“Ma, Omanya Anneke itu kalau lebaran suka beliin baju. Omanya Kiran kok gak pernah, sih?” tanyanya.

Cahaya beralih pada ikatan kangkung dan lekas membuang karet pengikatnya. Diirisnya kangkung itu, sedangkan isi kepala berputar memikirkan jawaban yang tepat untuk Kiran. Oma adalah sebutan Kiran untuk Ibu Mertua Cahaya atau orang tua dari Baska.

“Hmm … gini … lebaran itu memang kembali semua baru, tapi itu artinya … setelah puasa sebualn penuh ini, diharapkan kita bisa jadi pribadi yang baru … yang awalnya solatnya cuma wajib saja, setelah Ramadhan selesai diharapkan bisa ditambah sunnah, yang biasa baca qur’annya satu ayat, setelah Ramadhan jadi satu juz, yang biasanya pelit sedekah, setelah Ramadhan diharapkan bisa jadi rajin. Semua baru … itu bukan berarti bajunya harus baru. Tapi kitanya yang baru lagi.”Cahaya mencoba mencari pemaparan sederhana agar bisa dipahami oleh Kirana yang usianya baru enam tahun itu.

“Oh gitu … terus kenapa Mama juga beliin baju baru?” Pertanyaan Kiran membuat Cahaya terdiam. Kadang sebagai orang tua, tak dipungkiri kalau Cahaya sedih ketika melihat anak-anak yang lain pakai baju baru, sedangkan putrinya pakai baju lusuh yang bahkan sudah kekecilan.

“Karena kan baju Kiran juga sudah kecil-kecil. Jadi kebetulan ada rejekinya pas mau lebaran, jadi beli, deh!” Itulah jawaban yang akhirnya Cahaya sampaikan.

“Oh gitu?” Kiran mengangguk-angguk.

“Kiran bosen, nih, Ma. Mau maen di depan dulu sambil nunggu adzan … siapa tahu pas Kiran maen, tiba-tiba ayah datang kasih kejutan! Kata Mama ‘kan nanti juga ayah akan pulang.” Kirana bangkit diiringi air mata cahaya yang jatuh. Selalu sedih ketika dia menanyakan terkait Baska. Sosok yang biasanya komunikasi hanya lewat gawai saja. Setiap lebaran, Kirana selalu berharap jika ayahnya datang dan memberinya kejutan. Wajar dia merindukan sosok ayah, sudah terlalu lama sosok itu menghilang dari memori kanak-kanaknya. Yang dia tahu hanya bayang, yang ditatapnya pada layar gawai.

Seperginya Kiran, gawai Cahaya bergetar. Sepertinya kontak batin terjadi antara dirinya dan Baska. Suaminya itu langsung mengiriminya pesan.

[Dek, Mas sudah kirim uang buat lebaran. Ambil ke rumah Mama, ya!] Cahaya hanya menghela napas panjang, lantas dia menjawab singkat pesan yang dikirimkan suaminya.

[Iya, Mas.] Cahaya tak pernah bertanya nominal dan menuntut ini itu. Dia sangat tahu sebesar apa utang yang harus dilunasi suaminya karena kebangkrutan itu. Bukan hanya ratusan juta, tetapi hingga milyaran. Karena itu, dia tahu diri untuk tak meminta lebih. Bahkan hal itu juga yang menjadikan Cahaya tak punya nyali untuk bercerita pada Mas Baska jika Ibu Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah sangat jauh berubah semenjak kepergian Mas Baska. Cahaya tak mau jika Mas Baska kebanyakan beban pikiran di rantau sana. Cahaya ingin utang-utang yang menggunung itu segera lunas dan suaminya bisa pulang dengan kedaan selamat dan berkumpul kembali bersama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
4 th ldr krn suami kerja di kota? rumahtangga g normal
goodnovel comment avatar
nurdianis
sabar cahaya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 54 - End

    Salah satu orang yang beruntung adalah orang yang istiqomah dalam kebaikan dan khusnul khotimah. Namun begitu, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Terkadang ada juga yang masih tersesat dalam keburukan hingga ujung usia. Terik kota Surabaya mengiringi kepergian Karina dan Bang Fajar yang hendak kembali pergi ke rantau. Namun, bukan untuk selamanya. Melainkan hanya untuk menyelesaikan pendingan tanggung jawab di perusahaan milik Mas Baska. Setelah itu, Abi memintanya pulang dan mengurus usahanya yang ada di Surabaya. Di Bandara kini mereka berada. Berdiri berhadap-hadapan dengan Umi dan Abi yang mengantarnya. “Fajar, setelah urusan dengan Baska selesai. Segeralah kembali. Banyak hal yang harus Abi serah terimakan pada kalian!” “Iya, Abi.” “Kami juga belum mengadakan resepsi, karena itu segera kembali.” Umi pun tak kalah antusias pada pernikahan putri sulungnya. Karina mencebik dan menggoyang-goyangkan kepala. Dia tak mau mengadakan resepsi. “Adeeek!” Bang Fajar mendeli

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 53

    Dunia seakan berhenti berputar ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana. “B--Bang, Fajar?” Lelaki yang disebut namanya oleh Karina itu menoleh. Seulas senyum tersungging pada bibirnya. “Yes, Karin!” Sepasang bola bening milik Karina berkaca-kaca. Karina sudah berlari hendak memeluk Bang Fajar, tapi lengan Abi sigap menghadangnya. “Eh, anak gadis Abi mau ke mana? Bukan mahram, gak boleh peluk-peluk!” celoteh Abi sambil menahan tubuh Karin yang sudah siap menerkam Bang Fajar. “Isshhh, Abi!” Wajah Karina bersemu. Rasanya sungguh malu. Apalagi orang tua Bang Fajar serentak tertawa. Umi pun mengajak calon besannya masuk. Semua duduk pada sofa berbentuk U yang tertata apik di ruangan yang cukup luas. Bang Fajar tampak kalem. Sementara itu, Karina sejak tadi menangkup wajah. Dia masih terisak pelan. Umi memeluknya seraya mengusap-usap punggung Karina. “Duh, kok malah nangis, sih? Apa kedatangan Abang mengganggu?” Suara Bang Fajar menggoda Karina. “Berisik!” omel Karina seraya m

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 52

    “Mau minum apa?” Lelaki yang duduk di sisi kiri Karina tersebut bertanya ketika pramugari sedang menawari makanan dan minuman. Karina menoleh malas lalu mengedik. Akhirnya dia memesan sendiri kopinya. “Kamu kerja di sini? Atau di Surabaya?” “Di sini.” “Kalau aku, kerjanya di Surabaya. Mungkin akan segera dapat jodoh orang sana juga.” Karina mengangguk malas. Dia pun tak menimpali. Mendengar kata-kata jodoh, membuatnya semakin malas. Akhirnya dia lebih memilih memejamkan mata. Satu jam lebih saja harusnya tiba di sana. Hanya saja … entah kenapa. Waktu terasa beranjak sangat lama. “Bang Fajar … selamat tinggal.” Batin Karina sibuk mengucapkan kata perpisahan. Dia pun terus berpura-pura saja tertidur agar tak diajak ngobrol oleh lelaki yang ada di sampingnya. Tampan, sih. Namun, Karina bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tiba di Bandar Udara Internasional Juanda. Karina keluar dengan berjalan lunglai. Ponselnya sudah diaktifkan. Namun, tak ada satu pun pesan dari Bang Faja

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 51

    Enam bulan berlalu dari saat tragedi penyekapan Mbak Fiska. Semua sudah hidup normal kembali sesuai porsinya. Perusahaan dagang milik Mas Baska yang join venture dengan Pak Martadinata sudah stabil. Hal itu juga yang menjadikan alasan Karina memutuskan untuk mengganti agency. Lagi pula kontrak dengan perusahaan konslutan dan pajak milik Mbak Nency sudah selesai. Karina tak mau lagi diperpanjang. Alasannya, perusahaan mereka sudah stabil dan ada sendiri orang pajak internal. “Kita masih butuh konsultan pajak, Rin.” Mas Baska menatap draft kontrak kerja sama yang Mbak Nency ajukan kembali kemarin. “Konsultan masih banyak, Mas. Hanya butuh advise sekarang ini, bukan pekerjaan harian.” Karina menjawab judes. Bahkan dia tak segan merobek kertas-kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. “Tim Nency kerjanya bagus. Apa ada alasan yang lebih masuk akal selain perusahaan sudah settel?” Mas Baska menatap Karina. Gadis itu benar-benar keras kepala. “Yup, betul dia nagus, tapi kita membayar

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 50

    Mbak Fiska sudah berada di rumah sakit setempat sekarang. Yang pertama dilihatnya ketika matanya terbuka adalah Cahaya. Perempuan yang sepenuh hati dibenci, justru menjadi penyelamatnya dikala sedang seperti ini. Air matanya tiba-tiba menetes, lalu beralih isak.“Alhamdulilah, Mbak sudah sadar?” Cahaya mendekat dan menatap wajah tirus dan kusam yang terbaring lemah itu. Hanya anggukkan dari kepala Mbak Fiska yang menjawab. Dia menatap dengan sorot mata lemah.“Baska mana?” Suara serak Mbak Fiska terdengar. “Mas Baska lagi nganterin Kiran dulu. Kasihan ikut tidur di sini. Mas Baska titip di tempat Karina, Mbak.” Cahaya menjawab sambil tersenyum. Memang pernah sakit hati, pernah kesal, pernah benci. Namun, tak menghalanginya untuk berbuat baik. Seburuk apapun Mbak Fiska, dia adalah kakak dari suami yang dicintainya, Mas Baska. “Maafin, Mbak … Mbak sudah salah menilai kamu. Maafin, Mbak ….” Dia terisak lagi. Cahaya duduk dan menggenggam jemarinya lalu menatap lekat pada pupil hitam Mb

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 49

    Mas Fajri tersenyum lebar ketika akhirnya CCTV yang ada di villa berhasil diretasnya. Kini dia kembali fokus pada tujuan utama yaitu meretas sistem perusahaan Mas Baska. Hanya saja pikirannya kini jadi bercabang dengan menghilangnya Mbak Fiska. “Kamu itu kenapa jadi biang masalah sih, Fiska?” Mas Fajri mengacak kesal rambutnya. Dia pun bangun lalu mengambil air mineral dingin dari dalam lemari es yang ada di apartemen barunya. Ponselnya berkedip-kedip, ada panggilan dari Rena. Namun mood Mas Fajri telanjur rusak dan berantakan sehingga panggilan itu pun dia abaikan. Dia pun kesal juga karena Rena hanya omong kosong doang untuk bisa mendekati Mas Baska. “Apa aku lapor polisi saja, ya? Bilang kalau istriku hilang. Hmmm … tapi nanti buat berita acaranya gimana, ya? Hmmm … tapi ini terlalu berisiko. Sepertinya aku lihat sikon saja, tinggal korbankan Enjam jika pada akhirnya ada yang membuat laporan ke polisi. Semoga saja Fiska bisa segera ditemukan oleh Enjam dan diamankan.” Mas Fajri

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 48

    Tiba-tiba Bang Fajar menoleh. Dia menyipitkan mata dan menelisik wajah Karina.“Hmmm … aku jadi curiga, orang yang paling usil di sini ‘kan kamu? Jangan-jangan akun bodong itu kamu, ya?” “Sembarangan ya kalau nuduh! Emangnya aku orang gak ada kerjaan?” Karina mencebik. Padahal tuduhan Bang Fajar memang benar. Namun Bang Fajar tak menjawab, hanya terkekeh saja. “Bang kok jalannya lurus terus, sih? Kapan beloknya?” Karina kembali membuka suara setelah hening beberapa saat. “Belok ke mana, sih, Rin? Jalannya kan emang cuma ini, kok. Kalau ke rumah sakit itu kan memang jalan yang ini yang lurus."“Ya kali, Abang mau belok dulu ke hati aku.” Karina terkekeh seraya terus memutar CCTV dan memperhatikan dengan seksama menit demi menit yang terlewati. Pada pukul 00.30 tampak sudah ada pergerakkan. Dari kamera depan, terlihat Enjam masih memantau sekitar. Waktu itu, baru saja acara barbeque mereka bubar. “Bang, ini download dari jam berapa?” tanya Karina. “Dari mulai terlihat ada pergerak

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 47

    Mas Baska menatap wajah yang penuh senyuman sumringah di depannya. Cahaya terlihat makin hari makin cantik saja. “Ini, mau lagi?” Mas Baska menyodorkan pisang goreng yang dibuat spesial olehnya untuk sarapan mereka pagi itu di villa. Semalam tidur sangat nyenyak setelah berpetualang mengukir kebahagiaan di antara keduanya. “Sudah, Mas. Sudah cukup.” Cahaya menolak piring yang diangsurkan Mas Baska. “Kok dikit, sih, makannya, Dek? Jangan khawatir lagi, uang Mas sekarang sudah banyak,” kekeh Mas Baska seraya bercanda. “Makin uang kamu banyak, aku malah makin takut, Mas. Aku takut jadi gendut nanti kalau makan terus. Nanti kamu nyari lagi yang langsing,” tukas Cahaya sambil terkekeh. Padahal memang dirinya sudah kenyang. Kebiasaan makan seadanya selama empat tahun ditinggalkan, membuatnya terbiasa, sampai sekarang. “Astaghfirulloh, Dek. Emangnya Mas ada muka-muka player, gitu?” Mas Baska kaget mendengar penuturan Cahaya. Istrinya itu terkekeh sambil melirik manja. “Enggak, kok, Mas

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 45

    “Kalau gitu, aku mau nembak beneran, deh! Abang mau gak jadi suami aku?!” Ucapan Karina yang spontan sontak membuat Jodi, Irfan dan Bang Fajar yang hendak masuk ke dalam berhenti dan menoleh serampak. Karina memasang wajah imut dengan mata berkedip-kedip sambil menunggu respon dari lelaki yang batu saja di tembaknya. Namun, hanya bertahan beberapa detik, ketiga lelaki itu pun malah tergelak. “Astagaaa, Rin! Rin! Harga diri lo setipis rempeyek. Masa cewek nembak duluan!” Jodi yang terkekeh hanya menggeleng kepala. Lalu ketiganya pun masuk dan mengabaikan kalimat tembakkan Karina untuk Bang Fajar yang meluncur begitu saja. “Karina mendengus, memang dikira lucu kali, ya? Padahal aku sudah gadein tuh rasa malu ke pegadaian demi Bang Fajar. Dasar cowok!”omelnya sambil berjalan dengan bibir mengerucut lalu masuk ke dalam ruangan. Deg!Ada rasa panas tiba-tiba menyergap ketika tampak Mbak Nency tengah menyodorkan segelas teh leci pada Bang Fajar. Lelaki itu pun menerima dengan sumringah,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status