Home / Romansa / PULANG KAMPUNG / 2 - Cibiran Tetangga

Share

2 - Cibiran Tetangga

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-05-28 08:07:42

DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA.

#2

Dua tetanggaku makin ngoceh saat aku diam saja tak menjawab pertanyaan mereka. Mbak Sinta pun sepertinya tak ada niat untuk membelaku. Entahlah. Mendadak aku punya pikiran buruk padanya kalau begini.

"Kasihan ibumu, Rum. Harus pindah-pindah tiap bulan. Kakak sama adikmu juga sibuk kerja, tapi mereka masih berusaha merawat ibumu dengan baik. Meski harus gantian tiap bulan. Sementara kamu? Bukannya ikut andil merawat ibumu malah nggak pulang-pulang. Ingat, Rum. Surga anak itu terletak pada kaki ibunya. Lah kamu, nggak pernah mau mendekati ibumu gimana mau masuk surga?" ucap Budhe Nur sembari melipat tangannya ke dada, menatapku dengan sinisnya.

Kuhirup napas panjang lalu menghembuskannya. Baru duduk di kursi kayu di ruang tamu untuk melepas lelah, kembali mendapatkan ceramah mereka. Budhe Narni, Budhe Nur sama Mbak Sri.

"Lagian kalau di sana nggak ada kerjaan lebih bagus di sini jaga ibumu, Rum. Buat apa merantau kalau di sana juga nganggur. Anak-anakmu sekolah aja di kampung, biaya juga lebih murah. Suamimu biar aja di Jakarta sendiri. Tetangga juga banyak tuh yang suaminya merantau, tapi anak istri tinggal di kampung. Bisa nabung banyak. Pada beli sawah sama ternak. Daripada sekeluarga ikut semua tapi nggak punya apa-apa buat apa?" Budhe Narni ikut menimpali.

"Aku memang nggak kerja di sana, Budhe tap-

"Nah, kan. Kalau istri cuma pengangguran, anak-anak sekolah semua sementara yang kerja cuma laki doang ya pantes kalau nggak punya tabungan. Biaya hidup di sana juga mahal. Memangnya suamimu kerja apa sih, Rum? Sampai kamu nekat ikut merantau di sana? Apa kamu nggak mikir masa depan?" Mbak Sri yang usianya tak terpaut jauh dariku itu pun ikut menimpali.

Sejak dulu dia memang selalu iri denganku. Di sekolah, tiap kali aku mendapatkan peringkat lima besar, dia selalu menyindir nggak jelas. Tiap kali aku nggak bisa ngumpul bersama teman-teman, dia juga memfitnahku macam-macam. Padahal jelas aku di rumah sibuk membantu ibu membuat keripik yang akan dititipkan ke warung-warung.

Apalagi saat aku menikah dulu, Mbak Sri juga paling nyinyir. Dia bilang, "Buat apa cari jodoh jauh-jauh kalau kerjanya juga cuma serabutan. Lebih baik tetangga sendiri yang sudah kenal sejak awal. Lihat jelas bibit, bebet dan bobotnya."

"Sudah ya Mbak dan Budhe-budhe, aku mau istirahat. Malas berdebat. Yang pasti suamiku itu punya pekerjaan halal dan selalu semangat cari nafkah buat keluarga. Dia juga penyayang dan setia. Itu sudah cukup buatku, soal harta yang lain itu kuanggap sebagai bonusnya," ucapku lagi demi mengakhiri perdebatan nggak jelas ini.

"Halah, Rum. Kamu dulu waktu sekolah 'kan paling pintar diantara aku sama Betty, tapi lihat sekarang hidup kamu paling biasa aja. Sementara aku meski tinggal di kampung, kami sudah punya rumah, sawah, ternak, dan kendaraan. Betty juga sama, dia malah udah kredit mobil segala. Kami mikirin masa depan soalnya, bukan kebahagiaan sesaat saja."

Aku hanya tersenyum. Malas menanggapi mereka yang dari dulu memang sibuk menghina keluargaku. Aku masih ingat betul, dulu saat ibu bersikeras menyekolahkan anak-anaknya sampai SMA, para tetangga dengan entengnya menghina ibu sedemikian rupa.

"Buat apa sekolah, lebih baik langsung kerja. Sekolah SMA 3 tahun itu menghabiskan banyak biaya. Coba kalau langsung kerja, malah dapat duit bisa bantu orang tua."

"Sekolah juga buat apa kalau ujung-ujungnya di dapur? Lebih baik kerja, kalau sudah cukup umur ya nikah saja. Biar nggak terus-terusan menjadi beban orang tua."

"Kasihan ibumu, Rum. Demi kamu dan kakak adikmu sekolah, dia harus pontang-panting cari duit. Nggak kenal panas, nggak kenal hujan. Putus sekolah aja sih mumpung masih kelas dua, kerja sana. Itu Mbak Ambar cari orang buat diajak kerja jadi asisten rumah tangga di Bandung. Ikut aja."

Kata-kata itu kembali terngiang di benak. Sejak dulu, mereka memang selalu meremehkanku dan keluargaku. Membuatku down saat sekolah dulu. Namun aku sangat beruntung karena memiliki ibu yang berpendirian kuat.

"Ibu nggak punya modal harta buat kalian semua, Nak. Ibu cuma punya tenaga, jadi selama ibu masih kuat kerja ibu akan terus bekerja. Ibu beri kalian modal pendidikan sampai SMA, setelah itu ... cari uang sendiri untuk modal kalian nikah nanti. Sekarang jangan pikirkan ibu, fokuslah sekolah. Buktikan pada mereka kalau kalian akan sukses suatu saat nanti. Setidaknya, bisa hidup mandiri dan jauh lebih baik dari kehidupan kita saat ini."

Kuseka air mata yang menetes di pipi. Betapa aku merindukan hadirnya ibu di sini. Sekarang, aku akan merawat ibu dan suami juga anak-anak di rumah ini kembali. Rumah yang penuh kenangan bersama ibu dan almarhum bapak dulu.

"Kalau nggak bisa pulang, harusnya kamu juga kirim uang, Rum. Bukannya malah enak-enakan dan lepas tangan. Kaishan tuh kakak dan adikmu kadang cari pinjaman buat belikan ibumu ini itu. Merawat orang tua itu nggak mudah, Rum. Mereka beralih seperti anak kecil lagi," ucap Budhe Narni dengan ketus sebelum meninggalkan rumah ibu.

Mendadak aku menoleh ke arah Mbak Sinta. Apa dia ngomong yang nggak-nggak tentangku selama ini? Kenapa dia dan Mila harus cari pinjaman segala? Padahal jelas aku selalu mencukupi kebutuhan ibu tiap bulan, bahkan aku juga sering mentransfer lebih untuk anak-anaknya dan juga anak Mila. Apa uang empat juta untuk ibu di kampung masih kurang?

đź’•đź’•đź’•

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muhammad Akbar
bgus cerita nya ga sombkng rum
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PULANG KAMPUNG   86. Takdir Yang Indah (Tamat)

    Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak

  • PULANG KAMPUNG   85. Hari Bahagia

    Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku

  • PULANG KAMPUNG   84 Pembolak-balik Hati

    Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu

  • PULANG KAMPUNG   83 Kabar Bahagia

    Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu

  • PULANG KAMPUNG   82 Koma

    Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.

  • PULANG KAMPUNG   81 Spesial

    "Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status