Hari ini ada acara nikahan anaknya Mbak Ambar. Sebenarnya aku malas ikut ke sana karena pasti ada sindir-sindiran atau ledekan lagi, cuma karena diundang mau nggak mau harus datang. Kewajiban sesama muslim juga kan untuk memenuhi undangan?Ibu sudah siap-siap, begitu rapi. Gina dan Gala kuminta di rumah saja, kalau mau jajan boleh juga asalkan tak perlu berlama-lama di sana. Takut ada hal-hal yang tak diinginkan nantinya. Lagipula hajatan begini, terlalu banyak orang. Aku yakin kedua anakku itu tak akan nyaman.Mas Huda pun sudah mulai aktivitas seperti biasanya. Dia kembali ke kegiatan-kegiatan sosialnya, tapi sekarang aku cukup lega karena Mas Huda ditemani seseorang sebagai body guardnya. Itu pun karena paksaanku. Awalnya dia menolak, tapi aku ambil jurus terakhir. Ancaman.Kalau Mas Huda tetap nggak mau pakai body guard, aku nggak akan izinkan dia pergi ke kampung itu lagi. Mas Huda selalu berdalih bisa bela diri, tapi nyatanya kemarin tergores juga. Aku nggak akan tega jika dia p
Aku dan Mas Huda terpaksa berpencar. Dia mencari Mbak Sinta di kampung sebelah, sementara aku dan Agus masih sibuk mencari di kampung sendiri.Berulang kali pindah gang supaya tak melewati rumah Mbak Ambar. Aku malas jika tetanggaku di sana makin kepo dan tanya macam-macam. Urusan akan semakin ribet dan nggak akan ada habisnya."Bi, ibu ke mana ya, kok belum pulang juga. Coba telpon bapak, Bi. Kali aja ibu nyusul bapak, kan?" Suara Agus yang agak serak menahan isak cukup terdengar di telingaku yang tertutup helm."Bapakmu sudah bibi telpon barusan, tapi nomernya nggak aktif, Gus. Mungkin lowbat," jawabku memberi pengertian. Entah lowbat atau memang sengaja nggak diaktifkan. Yang penting aku beralasan supaya Agus tak mikir aneh-aneh juga."Rum, mau ke mana?" tanya Mas Iqbal yang baru saja lewat di sampingku.Dia berhenti agak jauh lalu memundurkan motornya kembali. Kini aku dan dia sama-sama duduk di motor, menepi di bawah pohon beringin tak terlalu jauh dari rumah Mbak Ambar. Suara or
Kepulangan Mbak Sinta membuat semuanya jauh lebih tenang. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri, bukan berniat b*nuh diri. Namun, berita tak sedap justru berhembus begitu saja. Menggelinding bak bola tertiup angin.Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi banyak orang yang tak percaya. Apalagi mereka beralasan, aku dan Mila telat datang ke acara Mbak Ambar hanya karena menenangkan Mbak Sinta yang depresi.Berita nggak benar itu terdengar dari mulut ke mulut, entah siapa pencetusnya. Sebab itu pula ibu sempat marah padaku, karena tak diberi tahu sejak awal persoalan pelik Mbak Sinta. Sebelum aku dan Mila bicara soal rencana perceraian Mbak Sinta, ternyata ibu sudah lebih dulu tahu dari para tetangga.Pintar sekali mereka mencari berita. Benar-benar seperti wartawan profesional saja. Kabar apa langsung melesat ke seluruh penjuru kampung. Kadang aku heran dengan mereka, bisa-bisanya saingan dengan cctv."Rum, memangnya benar ya kalau Sinta berniat bundir? Suami balik sama mantan jangan ditangi
Mas Angga babak belur entah karena apa. Ibu cukup shock melihat anak lelakinya berdarah-darah begitu. Istighfar tak pernah lepas dari bibirnya. Badannya lemas seketika, beruntung aku dan Mbak Sinta ada di sampingnya. Gegas memapah ibu menuju kamar."Maaf, Bu. Angga dikeroyok dua orang laki-laki di pasar tadi. Motornya hampir saja dirampas pengkeroyok itu. Kalau nggak ada warga yang buru-buru datang, mungkin motor ini sudah hilang," ucap seorang bapak yang mengantar Mas Angga. Sementara bapak satunya memakai motor yang lain tanpa berboncengan."Astaghfirullah. Maksudnya Mas Angga korban perampokan atau penjambretan gitu, Pak?" tanyaku kemudian sembari membawa kotak obat dari kamar."Mungkin saja, Bu. Sebab mereka ingin merampas motor itu, tapi herannya kenapa siang bolong begini. Ibu bisa tanya ke Angga kenal atau tidak dengan pelakunya. Yang jelas tadi memang terjadi pengeroyokan. Itu saja yang bisa kami jelaskan," balas bapak itu lagi sembari menoleh ke arah Mas Angga yang masih kesa
Sore hari, beberapa menit pasca adzan ashar berkumandang. Aku masih ngobrol dengan ibu seputar masalah Mas Angga di teras depan.Kutenangkan hatinya supaya tak terlalu memikirkan persoalan itu. Mas Angga sudah dewasa, dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk masa depannya.Lagipula, kalau memang Mbak Agnes nggak bisa diajak ke arah yang lebih baik, mungkin memang bagusnya mereka berpisah saja. Daripada terus saling menyakiti satu dengan yang lainnya."Hutang Angga tiga puluh juta gimana ya, Rum? Apa dia nggak punya duit segitu? Ibu ikut pusing mikirin ya." Ibu berkata lirih sembari menerawang jauh ke depan. Tatapannya kosong, menatap hamparan kebun jagung tak jauh dari rumah Mbak Sri."Ibu nggak perlu khawatir. Mas Angga masih ada motor, masih ada mobil, ada rumah juga. Kalau hanya utang segitu, InsyaAllah masih bisa diatasi. Lagipula dia juga kerja, punya gaji tetap, Bu," ucapku berusaha menenangkannya."Iya, Rum. Tapi sampai babak belur begitu dikeroyok preman. Gimana ceritanya bi
"Gala udah siap belum?" Anak lelakiku itu masih berisik aja di kamar adiknya sedari tadi. Suaranya begitu nyaring, menertawakan adiknya yang pakai baju nggak modis, katanya."Iya, Ma. Udah beres. Bajunya dah masuk ransel nih," teriaknya menjawab pertanyaanku.Hari ini, rencananya aku mau mengajak anak-anak dan ibu jalan-jalan ke Jogja, sekalian menginap di sana. Ibu pasti senang belanja di Pasar Beringharjo atau sekadar menikmati suasana Malioboro di malam hari.Setidaknya cuci mata untuk menghilangkan beban pikiran yang akhir-akhir ini terus diterimanya. Lagipula, anak-anak juga butuh suasana baru supaya lebih semangat menjalani aktivitas sekolahnya."Mas Angga mana, Mas? Kok nggak kelihatan?" tanyaku pada Mas Huda yang masih sibuk dengan cameranya. Mungkin ada yang rusak atau kotor karena memang jarang terpakai."Mas Angga ketemuan sama rentenir itu buat melunasi hutangnya. Gaji Mas Angga itu lumayan loh, Sayang. Enam juta ya sebulan. Dia bilang cuma megang sejuta, tapi Mbak Agnes k
Bakda maghrib, anak-anak sudah siap dengan style mereka. Gina pun memakaikan jilbab pada neneknya. Beberapa menit kemudian mereka sudah kompak menghampiriku yang menunggunya di depan pintu sembari menelpon Mbak Sinta."Kami siap ke Malioboro," ucap Gala dengan semangat 45. Gina pun merangkul kakaknya lalu berjalan bersama menuju mobil. Jalanan sudah mulai padat, Mas Huda parkir agak jauh ke arah timur. Arah pasar BeringharjoDua anak kesayanganku itu pamit mau jalan-jalan dan cari kaos Jogja, katanya. Sementara aku, Mas Huda dan ibu duduk santai di bangku yang tertata rapi di area Malioboro. Tak lupa Mas Huda memotret kebersamaan kami dalam kameranya."Bu, mau makan apa? Biar Mas Huda beliin," ucapku pada ibu yang masih mengamati pemandangan sekitar."Kacang rebus aja, Rum. Ibu bingung mau camilan apa. Jajanan pasar kalau ada," pinta ibu kemudian.Mas Huda mengangguk pelan, pamit pergi sebentar lalu datang dengan membawa satu plastik berisi jajanan pasar dan kacang rebus sesuai permin
|Mas, apa kamu nggak ada niatan untuk memiliki istri kedua? Padahal kamu sudah pantas melakukannya|Pesan yang dikirimkan Mayang pada Mas Huda itu terus menghantuiku. Seolah tak pernah lepas, selalu saja muncul di manapun tak pernah lihat situasi.Piknik tiga hari yang seharusnya membuatku bahagia, justru selalu dirasuki perasaan takut dan curiga. Namun aku berusaha menutupi kegelisahanku ini dari anak-anak dan ibu. Mereka tak boleh tahu dan mereka harus bisa menikmati liburan kali ini dengan senyum dan tawa.Berulang kali Mas Huda menjelaskan dan meyakinkan, tetap saja membuatku tak tenang. Bahkan saat dia menuruti semua permintaanku untuk menutup akses Mayang mendekati Mas Huda, tetap saja aku masih disesaki khawatir dan curiga.Kini, nomor ponsel Mayang sudah diblokir. Media sosial yang terhubung dengan Mas Huda pun diblokir pula. Tak ada celah lagi untuk menghubungi suamiku. Namun perasaan takut, khawatir dan kesal belum juga hilang.Aku memang salah jika kesal dengan Mas Huda, ka