Minggu. Aku dan Mas Huda memilih hari ini untuk pergi ke rumah Pak Prabowo anaknya Mbah Juminten. Dengan harapan bertemu dengan mereka. Seandainya Pak Prabowo pekerja, kemungkinan hari ini dia libur.Setelah pamit pada Gala dan Gina yang masih asyik nonton kartun di tivi, aku dan Mas Huda pun pamit ke ibu. Senyum tipis terlukis di kedua sudut bibirnya saat mengantarku sampai teras.Kampung Tegal Sari tak terlalu jauh dari sini. Mungkin setengah jam juga sampai. Mas Huda ingin memakai vespa, tapi kularang. Kuminta dia memakai motor gedheku saja. DTanpa membantah, Mas Huda pun menuruti kemauan istrinya meski kutahu dia kurang suka pakai motor itu dan lebih menyukai vespa tuanya. Aku sendiri tak tahu mengapa Mas Huda terlalu sayang dengan vespa itu. Padahal duduk pun rasanya tak nyaman karena sempit apalagi kalau badannya agak lebar seperti badanku.Sepanjang jalan, aku hanya diam. Pun Mas Huda. Tak ada percakapan seperti biasanya. Entah apa yang dipikirkan Mas Huda saat ini, tapi aku
"Kenapa saya dibuang, Mbah?" Aku masih mampu bertanya meski teramat serak dan sesak."Alasan pastinya Mbah nggak tahu, Ndok. Mbah hanya menerima perintah dari bibimu Minah untuk meletakkan kamu di rumah itu."Deg. Minah? Bi Minah? Aku dan Mas Arka saling pandang. Teringat kembali pesan dari Mayang tentang Bi Minah. Berarti Mayang memang benar soal ini. Kunci masa laluku yang utama ada pada Bi Minah."Minah bilang, kamu terlalu berbahaya jika dirawat oleh ibumu atau bibimu sendiri. Makanya dia cari orang yang tepat dan sabar untuk merawatmu. Dia temukan ibu angkatmu sebagai tempat yang diyakini bisa tulus mencintaimu, Ndok." Mbah Minten menghentikan ceritanya sembari menyeka kedua sudut matanya yang mengeriput."Ibu angkatmu saat itu memang sudah punya dua orang anak, laki dan perempuan. Hidup sederhana dengan suami seorang tukang becak dan buruh tani, kadang juga kerja serabutan lainnya. Namun bibimu bilang, meski mereka hidup sederhana atau mungkin di bawah kata cukup, tapi mereka se
Seorang laki-laki, kutaksir usianya diatas 50 tahun. Kulitnya agak hitam, mungkin karena kesehariannya berada di sawah dan berteman dengan terik matahari hingga membuatnya seeksotis ini."Pagi, Mas, Mbak. Saya Santoso. Tadi Mas Bowo sudah menjelaskan sedikit tentang keperluan Mbak dan Mas ke sini. Misal ada yang bisa saya bantu, Insyaallah saya ikut membantu," ucap Pak Santoso begitu ramah.Dia menyalami Mas Huda lalu aku dan dia pun saling menganggukkan kepala, sebagai tanda perkenalan dan saling menghormati satu sama lain. "Iya, Pak. Perkenalkan saya Huda dan ini istri saya Ningrum. Kami sudah tanya banyak hal sama Mbah Minten soal masa lalu istri saya yang kebetulan adalah keponakan Bi Minah. Mbah Minten bilang kalau bapak berteman dengan Pak Herman-- anaknya Bi Minah. Benarkah begitu?" Mas Huda kembali mengulang penjelasan Mbah Minten tadi. Pak Santoso manggut-manggut. Beliau tak mengelak."Herman memang teman sekolah saya, Mas. Dua tahun lalu saya bertemu dengan dia saat masih
"Gina, awaaassssss!" teriakan Gala membuatku menoleh seketika. Aku yang masih sibuk membeli oleh-oleh khas Semarang untuk dibawa ke Jakarta mendadak shock.Gina dan Gala yang dari tadi ikut memilih-milih camilan di sampingku, entah mengapa sudah menjauh. Gala masih berdiri di sebelahku, sementara Gina sudah ada di seberang dan kini terjatuh di jalanan beraspal. Sebuah mobil sudah menabraknya begitu saja.Badanku lemas seketika saat beberapa orang mengerumuni Gina. Ya Allah aku sudah teledor karena tak memperhatikannya sedari tadi. Gadis kecil berusia hampir 10 tahun itu meringis kesakitan memanggilku. "Ma, Gina. Dia sudah di tepi, tapi mobil itu tetap menabrak Gina," isak Gala yang usianya hanya beda 1,5 tahun dengan adiknya itu.Buru-buru kugandeng Gala untuk menyebrang. Gina menangis kesakitan melihat darah dan luka di kaki dan lengannya. Untung kepalanya tak terbentur aspal, karena lengan kirinya untuk menopang kepala.Mas Huda dan Mas Angga yang baru keluar dari mini market pun b
Pov : HudaTiga hari sudah Gina dirawat. Beberapa lukanya masih diperban, tapi dia sudah mulai membaik. Semoga saja besok sudah diperbolehkan pulang.Ningrum yang menjaganya di rumah sakit, sementara aku dan Mas Angga sedang menyelidiki kecelakaan Gina di tempat kejadian. Aku akan tanya ke beberapa warung yang ada di sana, barang kali melihat tragedi kecelakaan itu.Semoga saja ada yang pasang cctv, jadi lebih memudahkan proses penyelidikan kasus ini. Aku dan Ningrum hanya ingin tahu siapa pelaku sebenarnya dan kenapa pelakunya justru menghilang saat kami sibuk membawa Gina ke UGD."Mas, aku tanya ke warung bakso itu, ya? Mungkin tukang parkirnya lihat kejadian itu. Mas Angga bisa tanya ke tukang kebab itu. Dia ada di sana saat kejadian tempo hari," ucapku pada Mas Angga saat kami sama-sama turun dari mobil. Mas Angga pun menganggukkan kepala.Tak banyak tanya Mas Angga mengikuti permintaanku. Dia tanya-tanya ke warung-warung sebelah kanan sedangkan aku tanya-tanya ke warung sebelah k
Pov : Huda|Mas, apa penabrak itu pakai mobil rental?|Kukirimkan pesan itu pada Mas Angga, setelah kulihat mobil penabrak Gina itu berada diantara mobil lainnya. Terjajar rapi, sepertinya memang di sebuah rental mobil.|Benar, Da. Mobilnya ada di rental. Sekarang masih dicek siapa saja penyewa mobil itu tiga hari yang lalu||Oke, Mas. Aku percayakan semua sama Mas Angga. Yang penting pelakunya cepet ketemu. Aku curiga kalau semua ini seperti terencana. Penabrak itu sengaja pakai mobil rental, jangan-jangan dia pakai KTP palsu juga||Tenang saja, Da. Cepat atau lambat pelakunya pasti ditemukan. Kamu fokus kesembuhan Gina saja, soal pelaku itu biar aku yang urus|Aku pun mengiyakan pesan Mas Angga. Kupercayakan urusan itu padanya. Aku yakin dia bisa mengatasi semuanya."Gimana soal penabrak itu, Mas? Apa sudah ditemukan?" tanya Ningrum penasaran. Mbak Sinta pun menoleh ke arahku sembari mengernyitkan dahinya. Mereka sama-sama ingin tahu kelanjutan proses itu."Belum, Sayang. Mas Angga
Pov : HudaPesan dari Ningrum soal tespeknya membuatku begitu penasaran. Gina pun ingin segera tahu hasil tes mamanya. Sejak dulu Gina memang menginginkan seorang adik agar bisa diajak bermain bersama. "Telpon aja, Pa. Atau pesan suara biar nggak perlu ngetik. Kelamaan," ucap Gina menyarankan.Benar juga, gegas kutelpon Ningrum. Terdengar suara tangisnya dari seberang. Kenapa nangis? Hasilnya negatifkah? Atau ada sindiran yang tak enak didengar?"Sayang, Ningrum. Kenapa kamu menangis?" tanyaku setelah terdengar jawaban salam. Aku tahu Ningrum berusaha lebih tenang sekarang meski Isak masih sesekali terdengar. "Nggak apa-apa sih, Mas. Cuma terharu," balasnya kemudian."Terharu? Apa hasilnya beneran positif?" tanyaku sedikit gugup. Kedua mataku mendadak berkaca setelah mendengar jawaban dari Ningrum. Dia mengiyakan.Kuucap hamdallah berulang kali. Gina pun sama, tampak binar bahagia di raut wajahnya. Hamdallah pun meluncur dari bibirnya yang mungil.Akhirnya harapan Gina memiliki adik
Pov : HudaHari kelima di rumah sakit, Gina sudah diizinkan untuk pulang. Ningrum pun datang diantar Mbak Sinta sekalian cek dokter kandungan.Wajah istri cantikku itu berbinar bahagia saat dokter bilang jika dia memang positif hamil. Usia kandungannya menginjak lima minggu.Pantas saja Ningrum tampak lesu dan nggak bersemangat akhir-akhir ini. Kupikir sakit, ternyata dia berbadan dua. Kembali teringat saat dia hamil Gina 11 tahun lalu, begitu kepayahan bahkan dia bilang nggak mau hamil lagi. Ningrum selalu bilang kalau cukup itu kehamilannya yang terakhir, tapi ternyata Allah menakdirkan lain. Dia harus siap dengan segala takdir yang sudah dilukiskannya."Ingat kata Dokter Alesya 'kan, Sayang?" Ningrum mengangguk pelan."Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu kecapekan. Urusan toko biar dipegang Mbak Nisa sama Mbak Arum dulu. Kamu boleh datang asal hanya mantau saja, nggak perlu ikut bantu packing-packing segala," pesanku lagi."Kalau istirahat terus capek juga, Mas. Sesekali b