Home / Romansa / PULANG KAMPUNG / 5 - Soal Gamis

Share

5 - Soal Gamis

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-05-28 08:25:11

DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA

#5

Aku tak peduli cibiran tetangga. Mereka yang tadinya datang berkerumun, lalu membubarkan diri begitu saja. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Macam jaelangkung.

"Jangan dengerin tetangga, Rum. Kaya' nggak tahu mereka aja. Raknya biar dibantu angkut ke dalam Mas Rudy sama Angga. Sebentar lagi Angga juga datang," ucap ibu tiba-tiba berusaha menenangkanku.

Tak ingin membuat ibu tambah pikiran, aku pun mengiyakan saja. Dibantu Mbak Sinta dan Mila, aku membawa kardus dan beberapa karung berisi gamis itu ke kamar belakang yang sudah kusiapkan.

Tak selang lama, Andi-- suami Mila-- datang dengan Mika. Ibu pun memintanya untuk membantu Mas Rudy untuk membawa rak dari halaman ke kamar.

"Mas Angga belum datang, ya?" tanyaku saat semua sudah berkumpul.

Mila sekeluarga dan Mbak Sinta sekeluarga. Rencananya aku memang mau mengadakan syukuran kecil-kecilan. Sudah pesan nasi box juga dan siap diantar bakda ashar. Camilan-camilan juga sudah siap.

Aku hanya berharap supaya kami sekeluarga terutama Gala dan Gina bisa betah tinggal di sini. Tadinya mau syukuran saat Mas Huda datang, tapi dia bilang sekarang aja nggak apa-apa, sekalian syukuran pernikahanku dengannya yang ke-14 tahun.

"Daganganmu banyak juga, Rum. Modalnya gedhe dong ini," ucap Mbak Sinta saat membantuku membawakan beberapa kardus ke kamar.

"Alhamdulillah, Mbak. Makanya bisa kirimin ibu uang tiap bulan," balasku kemudian. Mbak Sinta sedikit tersentak, entah karena apa. Dia mendadak menoleh ke kanan-kiri. Seolah takut ada yang mendengar percakapan kami.

"Kenapa, Mbak?"

"Ah, nggak apa-apa. Ohya, omsetmu tiap bulan gedhe dong, Rum. Bisa kirimin ibu segitu banyak. Udah kaya' PNS aja kirimanmu itu."

"Banyak atau nggak itu memang relatif sih, Mbak, tapi Alhamdulillah cukup buat ibu dan jajan anak-anak. Uang segitu buat keperluan ibu di sini nggak kurang kan, Mbak?"

"Ehh ... nggaklah, Rum. Cukup kok. Kamu tahu sendiri kan kadang ibu minta ini itu, pengin makan ini itu juga, jadi ya nggak pernah nyisa," balas Mbak Sinta gugup. Aku semakin curiga, apa yang sebenarnya disembunyikannya.

"Sekarang kamu sudah pulang, jadi ibu nggak nanya-nanya kamu terus. Dari dulu kan ibu pengin banget dirawat kamu, Rum."

Aku mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Rasanya memang dilema, tapi aku yakin jika pilihan ini tepat adanya. Tak ada salahnya merawat orang tua yang sudah lansia, apalagi itu ibu kandung sendiri.

Aku pun yakin, rezeki akan terus mengalir untuk kami. Boleh jadi akan semakin lancar dan berkah karena doa-doa ibu yang tak pernah terlupa untuk anak-anaknya. Apalagi kami sudah rela melepaskan kehidupan di sana demi menjaga ibu di desa.

"Rum ... Rum! Kata Ambar sama Sri, kamu jualan gamis, ya? Boleh ngutang dong, Rum!" teriak seseorang dari arah pintu.

Mbak Intan dan Mbak Ambar sudah muncul di belakangku. Mereka menghampiriku ke kamar belakang, melewati ruang keluarga yang notabene banyak keluargaku lainnya di sana.

"Ngutang, Mbak?"

"Iya, coba lihat gamisnya," ucap Mbak Intan santai.

Dia dan Mbak Ambar pun langsung mengambil satu bungkus gamis berwarna abu tua. Duh! Jangan sampai mereka pikir seperti gamis di pasar yang seratus ribuan, karena ini gamis branded dengan harga paling murah dua ratus ribuan.

"Cantik banget ini, Rum. Modelnya elegan, warnanya juga menarik, bahannya adem, lembut lagi. Mau dong, Rum. Berapa harganya? Diskonnya jangan lupa," ucap Mbak Ambar begitu antusias. Aku pun menghela napas.

"Iya, Mbak. Itu lumayan premium. Harganya di atas delapan ratus ribu, sesuai dengan bahan, model dan warna cantiknya, kan?"

"Apa, Rum? Delapan ratus ribu? Nggak salah dengar kita, kan?" Mbak Ambar dan Mbak Intan saling toleh dengan mulut membentuk huruf O.

Apa kubilang, pasti shock mereka mendengar harganya. Harusnya mereka juga tahu, gamis begitu cantik dan elegannya nggak mungkin murah. Bukannya ada kualitas ada harga?

Namun beginilah hidup di kampung, selalu saja warna-warni tanggapannya. Di sini yang penting murah dan modelnya pun cantik, soal bahan nggak terlalu dilihat.

"Kamu ngambil untung banyak banget sih, Rum? Gitu juga nggak kaya-kaya. Heran. Kalau aku ambil untung sebanyak kamu, pasti cepet naik haji sama beli motor mabur," sahut Mbak Ambar dengan kesalnya.

Aneh. Harusnya aku yang kesal, kenapa justru mereka yang sewot sih?

"Mana ada untung banyak banget, Mbak. Saya ini distributor gamis merek ini dengan keuntungan 20%, kalau agen 15% kalau reseller 10%. Jadi nggak ada untung banyak banget seperti yang Mbak pikirkan. Harga sudah disesuaikan, nggak ada yang sengaja naikan harga biar makin untung. Ada targetnya juga."

"Biasalah, Mbar. Namanya penjual ya gitu. Mana ada penjual ngaku dan blak-blakan. Iya, kan?"

Lagi-lagi Mbak Ambar dan Mbak Intan saling pandang dan menganggukkan kepala.

"Kalau nggak mau ya nggak apa-apa, Mbak. Ini memang aku jual online, jarang ada yang offline. Apalagi di desa gini, aku juga tahu kalau cari uang agak susah jadi di sini bukan target pasar untuk gamis-gamisku ini."

"Helleh, suombong. Baru jualan gamis delapan ratus ribu aja udah merasa paling gampang cari duit terus ngejek orang-orang kampung macam kita ini nggak ada duit."

"Bukan gitu, Mbak. Mbak Ambar ini salah paham loh."

"Salah paham apanya, Rum? Lah iya bener kan kamu bilang kalau di sini susah cari duit. Asal kamu tahu ya, Rum. Susah-susah gini, kita di sini punya sawah dan banyak ternak. Kalau dijual semua dapat berapa ratus juta tuh. Lah kamu. Katanya di kota cari duit gampang, memangnya sebulan dapat berapa? Punya tabungan berapa?" Cibir Mbak Intan.

Kulihat Mbak Sinta sudah pergi sedari tadi. Sepertinya dia memang nggak mau ikut nimbrung obrolan kami. 

"Alhamdulillah cukup, Mbak. Cukup buat kebutuhan ibu dan jajan anak-anak tiap bulan," balasku singkat. Kembali menata gamis dan hijab-hijannya ke rak.

"Dapet berapa? Wong tiap bulan itu Mbak sama Adikmu selalu cari pinjaman ke bank plecit kok. Berarti kirimanmu sedikit, nggak cukup buat ibumu. Iya to, Mbar?" 

Aku pun menoleh tepat saat Mbak Ambar menganggukkan kepala, membenarkan ucapan Mbak Intan, sementara aku semakin kaget karena sudah dua orang yang mengatakan soal kiriman dan hutang Mbak Sinta juga Mila.

"Aku selalu transfer ibu empat juta tiap bulan, Mbak. Memangnya kurang duit segitu buat hidup di desa ini?"

"Hah?! Empat juta, Rum?!" 

💕💕💕

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PULANG KAMPUNG   86. Takdir Yang Indah (Tamat)

    Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak

  • PULANG KAMPUNG   85. Hari Bahagia

    Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku

  • PULANG KAMPUNG   84 Pembolak-balik Hati

    Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu

  • PULANG KAMPUNG   83 Kabar Bahagia

    Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu

  • PULANG KAMPUNG   82 Koma

    Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.

  • PULANG KAMPUNG   81 Spesial

    "Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele

  • PULANG KAMPUNG   80. Pelaku

    Bakda isya'. Mas Huda mengundang Mas Rudy untuk bertemu di resto kami. Waroeng Ndeso namanya. Menu-menu yang disajikan adalah menu desa.Mas Huda sudah menghidangkan sop buntut, aneka gorengan, ayam panggang dan nila bakar di atas meja.Keluarga kecilku, ibu, Mas Angga dan Dika ditambah Mas Rudy menikmati hidangan ini di gazebo paling belakang. Semua menikmati hidangan dengan nikmat.Masakan dengan rasa yang pas di lidah, enak dan nagih. Pantas dua bulan ini banyak yang datang, orderan online pun cukup banyak. Entah darimana Mas Huda mendapatkan koki yang sepintar ini.Restoran ini pun sebuah kejutan dari Mas Huda untukku di usia tujuh bulanan lalu. Kini usia kandungan menginjak bulan ke sembilan. Perkiraan lahir tinggal menghitung hari lagi.Setelah semua selesai makan, ibu mengikuti anak-anak yang nonton tivi di dalam. Ada ruangan khusus untuk Mas Huda dengan sofa dan tivi di sana. Tak hanya itu saja, ada toilet dan kulkas juga di dalamnya. Cukup nyaman untuk sekadar melepas lelah.

  • PULANG KAMPUNG   79. Pemilik Plat Motor

    Pagi ini Mas Huda mengantarku ke toko. Kebetulan dia tak ada acara, jadi memiliki waktu lebih untukku dan anak-anak. Biasanya dia terlalu sibuk ke sana-sini untuk usaha barunya.Mas Huda membuka resto dengan menu andalan sop buntut, rawon dan timlo. Ada juga ayam dan ikan goreng atau bakar, gorengan, kerupuk dan aneka sambal.Resto itu sudah berjalan dua bulanan, mungkin karena itu Mas Huda tak terlalu sibuk lagi sebab sudah berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan.Mas Huda tiduran di lantai atas, sementara aku ikut cek beberapa pesanan online bersama Mbak Arum dan Mbak Nisa di lantai bawah."Mbak, hari Rabu lalu Bu Sandra ke sini loh," ucap Mbak Nisa disertai anggukan Mbak Arum. Aku sedikit menaikkan alis."Maksudnya Bu Sandra yang punya toko seberang, kan?" Aku memastikan."Iya, Mbak. Yang dulu ke sini narik-narik suaminya itu. Waktu itu dia ke sini sendirian," sambung Mbak Arum."Nanya soal apa dia?" Aku mulai penasaran dengan cerita Mbak Arum. Mau ngapain Mbak Sandra ke to

  • PULANG KAMPUNG   78. Solusi Terbaik

    Mas Angga masih terlihat kusut dan diam beberapa menit sebelum menceritakan permasalahannya."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Mas Huda lagi. Mas Angga menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa."Sebenarnya ini masalah sudah cukup lama sih, Da. Awalnya dari ributnya rumah tanggaku dengan Agnes sampai aku bercerai dengannya. Aku memilih berpisah karena sudah angkat tangan dengan kelakuannya yang memusingkan kepala. Kupikir dengan bercerai, aku akan lebih bebas dan dia tak bisa merecoki hidupku lagi. Ternyata dugaanku salah besar. Dua kali dia membuat keributan di kantor hingga aku mendapatkan SP 3. Dia tak terima aku dekat dengan teman kantorku, padahal jelas dia yang selingkuh. Dia mungkin tetap ingin aku terus mengejarnya, sementara dia sesuka hatinya. Parahnya, kemarin dia membuat ulah lagi. Hanya karena dia melihatku makan siang dengan teman kantorku."Mas Angga menghela napasnya lalu mengusap wajah kasar. Keningnya semakin berkerut memikirkan masalah yang terus menimpa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status