"Mayang, kamu yang merencanakan kecelakaan Gina, kan?" ucap Mas Huda lagi dengan tatapan tajam.Mayang terlihat gelagapan dan salah tingkah. Tak hanya dia, tapi juga laki-laki di sampingnya yang sempat di penjara beberapa bulan itu.Dari penampilannya, sepertinya laki-laki itu bukan dari golongan menengah ke bawah. Penampilannya cukup rapi, kulit bersih terawat dan ponsel serta outfit yang dia pakai pun terlihat mahal.Pantas jika Mas Huda bilang pada ibu untuk tak perlu mempermasalahkan berapa bulan atau tahun hukuman penabrak Gina, sebab seringkali ketukan hukuman tak sesuai dengan kenyataan di lapangan.Entahlah, sering kali uang mengalahkan kebenaran yang ada. Orang bilang, hukum bisa dibeli. Selagi ada uang, tak perlu takut dengan bui. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah sudah amat lumprah dan bukan hal yang perlu dirahasiakan lagi."Mayang!" Mas Huda sedikit membentak. Aku gegas memanggil anak-anak untuk keluar dari area bermain dan siap-siap pulang.Mas Huda meminta Mayang untuk
Hari ini, hari yang cukup bersejarah buatku. Hari dimana Mas Huda mempertemukanku kembali dengannya. Pertemuan pertama pasca kutahu tentang masa lalu ibuku.Muhammad Rizal Burhanudin. Laki-laki yang seharusnya kupanggil papa itu tersenyum tipis menatapku saat dia keluar dari mobilnya.Tak seperti saat pertama kali bertemu, Om Burhan memakai kursi roda sementara sekarang dia memakai kruknya.Mas Huda ikut membantu laki-laki lebih setengah abad itu untuk duduk di ruang tamu. Ibu pun mulai menanyakan kabar atau basa-basi lainnya, sementara Mbak Sinta dan Mila sibuk di dapur untuk membuatkan minum dan menyiapkan camilan."Ningrum apa kabar?" tanya laki-laki itu setelah ngobrol dengan ibu. Wajahnya begitu teduh dengan senyum tipis di bibirnya.Jika dilihat dari wajahnya memang terlihat sopan, kalem dan berwibawa. Namun tak tahu bagaimana dalamnya hati seseorang, karena toh ibuku dulu juga tak merasakan cinta yang adil darinya hingga aku terbuang dari dekapannya."Alhamdulillah baik, Om," b
Masalah demi masalah datang menghampiri, tapi ada saatnya mereka akan pergi. Begitu pula masa lalu yang menyakitkan hati, akan berganti dengan senyum dan tawa di masa kini.Sekian lama aku merenung, mengeja kembali apa yang telah terjadi selama ini. Perlahan mencoba mengikhlaskan meski terlalu sulit kulakukan.Rasanya masih terselip kecewa, sakit hati, terluka dan cemburu dalam dada. Semua perasaan sakit yang bertumpuk dan campur aduk.Tak mungkin bisa hilang sehari dua hari, tapi aku tetap berusaha untuk melupakan dan menggantinya dengan senyum.Tak mungkin juga terus menerus membayangkan dan meratapi masa lalu, karena saat ini ada orang-orang yang begitu mencintai dan membutuhkan cintaku.Orang-orang yang kuyakin Allah kirimkan untuk menggantikan mereka yang telah menyakiti. Tetap yakin bahwa semua ini adalah bagian dari qadarNya yang indah.Buktinya kini DIA mengganti semua luka dan air mata itu dengan senyum dan tawa. Dikelilingi orang-orang yang selalu mencintaiku dan menyebut na
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara yang begitu kukenal dari luar. Laki-laki itu sudah berdiri di sana dengan senyum tipisnya. Dia menatapku dan Mbak Sinta sembari menganggukkan kepala."Wa'alaikumsalam." Aku dan Mbak Sinta menjawab salamnya lirih. Laki-laki itu Mas Rudy, mantan suami Mbak Sinta.Entah mengapa saat ini penampilannya sangat berubah. Kusut, kurus dan seperti menyimpan banyak masalah hingga membuat wajahnya tak sefresh dulu."Eh, Mas Rudy. Masuk, Mas. Silakan duduk," ucapku kemudian, mempersilakan Mas Rudy untuk duduk di sofa single bersebelahan denganku dan Mbak Sinta.Aku tak tahu kenapa Mas Rudy tiba-tiba datang ke sini. Biasanya dia hanya mampir di teras, ngobrol sebentar menanyakan kabar Mbak Sinta atau anak-anaknya, titip salam lalu pamit pergi.Mungkin dia melihat Mbak Sinta di sini jadi sekalian ngobrol. Barangkali memang ada sesuatu yang cukup penting yang akan dia obrolkan dengan Mbak Sinta. Entahlah.Berulang kali aku lihat Mas Rudy wira-wiri di depan tokoku.
Suasana di rumah sudah sangat ramai. Acara empat bulanan digelar sederhana dengan mengundang para tetangga. Acara akan dimulai sebentar lagi, bakda ashar.Mas Huda dan Mas Angga juga dibantu dua tetangga lain pun sudah pulang setelah membagikan 200 box makanan ke orang-orang yang membutuhkan.Acara spesial ini diawali dengan sambutan kecil Mas Huda yang mengucapkan syukur atas kehamilanku yang ketiga.Dia minta kepada semua untuk senantiasa mendoakan keselamatanku dan calon buah hati kami. Tak hanya itu saja, Mas Huda juga sekalian mengucapkan syukur atas berdirinya rumah di samping ibu yang mulai hari ini kami tinggali.Sebenarnya pembangunan rumah sudah selesai dua hari yang lalu. Perabotan pun sudah lengkap. Rumah dengan tiga kamar di bawah dan dua kamar di atas.Gala dan Gina memilih kamar atas, sementara aku dan Mas Huda juga calon buah hati kami yang ketiga di kamar utama yang lebih luas dibandingkan kamar lainnya.Setelah sambutan kecil dari Mas Huda dan ibu, acara selanjutnya
Ada tamu yang menungguku di rumah ibu. Begitu kata Mbak Sinta barusan. Membuatku sedikit berpikir siapa yang malam-malam begini ke rumah hanya untuk menemuiku."Ayo, Rum. Nanti kamu juga lihat sendiri. Mbak sudah berusaha meyakinkan dia kalau kamu nggak seburuk yang dia kira, tapi dia tetap curiga. Makanya kamu ke rumah ibu. Dengerin tuh, dia lagi ngobrol sama ibu," balas Mbak Sinta lagi sembari membantuku beranjak dari sofa.Mila yang tadi sudah tiduran di kasur depan tivi pun ikut mengekor di belakangku. Sementara anak-anak sudah mulai terlelap kecuali Agus dan Gala.Mereka semua berjejer rapi di ruang keluarga karena memang sudah sepakat untuk tidur sama-sama malam ini saja.Dika, Gala dan Agus tidur di kasur paling ujung, sementara Salma, Gina dan Mika tidur di kasur sebelahnya. Gala dan Agus masih main catur sementara yang lain sudah nyenyak di atas kasur."Pasti istrinya Pak Amin, Mbak. Bu Indah memang cemburuan," bisik Mila yang sudah mensejajariku. Kami bertiga masuk ke rumah
Hari semakin bergulir. Kehamilan ini pun menginjak trimester tiga. Rasa takut, cemas, bahagia seolah tercampur menjadi satu.Ada kebahagiaan tersendiri yang terselip dalam dada, tapi di sudut lain takut pun mulai mendera.Takut karena usiaku menginjak 35 tahun saat melahirkan nanti. Banyak doa yang kupanjatkan setiap hari, berharap kelancaran saat hamil tua hingga masa persalinan.Aku tahu, DIA senantiasa memberikan berbagai kebahagiaan yang sering kali tak terduga untukku. Seperti halnya kejutan rumah ini. Rumah yang sangat nyaman kutinggali.Kebahagian makin hari semakin bertambah saja rasanya. Saudara-saudaraku semakin solid dan saling membantu satu sama lain.Semua benar-benar sudah bisa berpikir dewasa, tak seperti dulu yang hanya mengandalkan ego semata.Sejak aku pindah ke rumah ini, ibu memang tak ikut pindah. Dia masih di sebelah bersama Mas Angga dan Dika.Tak mengapa, lagipula rumah ini dan rumah ibu berdampingan, ibarat kata hanya terpisah tembok saja. Bahkan ada pintu ten
Suara lantang itu kembali terdengar. Mas Angga sudah berdiri tak jauh dariku. Dia pulang tanpa Dika di sampingnya. Entah kemana keponakan tampanku itu."Jangan pernah terbuai dengan tangisan perempuan itu, Rum. Dia pura-pura polos dan memelas, padahal banyak akalnya untuk menipu daya," ucap Mas Angga lagi dengan tatapan tajam.Mbak Agnes melotot seketika. Mantan suami istri itu pun saling menatap tajam, seolah ada dendam diantara mereka."Aku lebih tahu bagaimana dia, Rum. Dua ratus juta bukan jumlah yang sedikit. Kalau sekarang dia jatuh, mungkin itu memang balasan terbaik untuknya karena durhaka pada suami. Biarkan saja sesukanya. Jangan dikasihani karena dia nggak pernah mau diperlakukan seperti itu," sambung Mas Angga lagi."Mas! Keterlaluan kamu. Bukannya ikut membantu meringankan bebanku, kamu malah seolah begitu bahagia melihatku sengsara. Aku bahagia banget ya kalau aku dikejar-kejar debt collector? Atau jangan-jangan kamu memang sengaja supaya aku masuk penjara?" omel Mbak Ag