Pukul 9 malam Mas Aldi pulang aku menyadari kehadirannya karena saat itu memang aku belum tertidur.
"Kau sudah tidur?" tanyanya yang sedang meletakkan dua kantong plastik di atas meja. "Aku tidak menjawabnya sama sekali." "Kalau belum tidur bangunlah dan makan martabak yang aku bawakan untukmu, aku juga bawakan nasi goreng spesial. "Aku sudah makan tadi." Tanpa sengaja Aku menjawab ucapannya di balik selimut Sejenak ia tertawa lalu kemudian duduk di meja kerja dan membuka komputernya. "Jangan bohong, nanti kau lapar." "Aku bilang aku sudah makan." "Tapi si Bibi mengatakan kalau kau belum makan dan tidak turun sama sekali ke bawah, apa yang terjadi?" "Aku sedang tidak mood untuk turun ke mana-mana," jawabku. "Kamu adalah pengantin di rumah ini dan seharusnya kau membaur dengan mertua dan kedua iparmu," ujarnya sambil menekuni layar laptopnya. "Oh ya, aku belum bertemu dengan mereka." "Itu adikku memang sibuk dan hanya berada di rumah di akhir pekan." "Apa yang mereka lakukan?" "Mereka punya apartemen sendiri juga kesibukan mereka yang menumpuk, di samping itu, adikku juga punya butik dan restoran mereka semua gadis-gadis yang mandiri." "Kalian beruntung karena terlahir dari orang tua yang kaya dan sehat." Tanpa sengaja aku menggumam sendiri. "Aku tidak bermaksud menyindir ketidak-beruntunganmu," jawabnya. "Aku tidak merasa di singgung Mas," jawabku. "Mengapa engkau tidak bangkit untuk makan makanan yang kubawa, aku akan merasa sedih jika makanan itu dingin sampai besok pagi." "Mas Aldi sudah makan?" "Sudah," jawabnya sambil menatap fokus kepada komputer miliknya. Aku beringsut pelan karena tak sanggup menahan rasa lapar yang sejak tadi menguasai perutku. Perlahan kubuka kotak makanan itu lalu mulai menyendokkannya ke dalam mulutku. "Ini enak sekali," ucapku sambil melihat pada logo makanan yang kuyakin adalah olahan restoran mewah . "Mas Aldi tidak ingin mencicipinya?" "Tidak usah, makanlah aku masih kenyang," jawabnya. Karena makanannya begitu banyak aku tidak bisa menghabiskannya, kuletakkan sendok dan kututup kembali kotak tersebut. "Aku tidak bisa menghabiskannya Mas karena makanan ini sangat banyak, bolehkah aku memanggil si Bibi untuk mengambilnya? "Tidak usah, biarkan saja di situ, aku akan membawanya turun si bibi pasti juga sudah tidur jam segini." "Baiklah kalau begitu, aku akan melanjutkan tidur lagi karena aku mengantuk." Aku beringsut naik ke ranjang. Satu jam berlalu namun mata ini belum juga terpejam, meski begitu ketutup wajahku dengan selimut karena hawa dari AC yang begitu dingin. Pelan-pelan kulihat suami kontrakku menuju sofa tempat aku duduk tadi, lalu membuka kotak makan dan memakan sisa makananku, ia terlihat sangat lapar dan begitu cepat memakan makanannya. "Apa Mas sangat lapar?" Ucapanku barusan membuatnya langsung kaget dan hampir tersedak. "Eh, ...Ya aku sangat lapar." "Tapi, mengapa tadi menolak untuk ....x "Aku hanya ingin kau makan lebih dahulu dan kau kenyang tanpa harus sungkan padaku." Manis sekali sih kanebo kering ini. "Terima kasih Mas." Entah mengapa ucapannya barusan terdengar sangat romantis, tapi sayang aku sadar jika pernikahan ini hanyalah sebuah jalinan hitam diatas putih. "Terima kasih atas kepeduliannya Mas," ucapku pelan. "Apakah aku adalah orang yang punya kepedulian?" Dia terlihat menunduk mengatakan itu sambil sesekali menyuapi makanan ke mulutnya. "semua orang bisa berubah lebih baik, seperti apa kamu sebelumnya aku tidak tahu,. tapi aku yakin kalau tidak ada manusia jahat di dunia ini." Aku tersenyum tulus padanya. Ia menutup kartun makanan itu lalu membenahi plastiknya. "Tidurlah karena besok aku akan membawamu ke perusahaan untuk memperkenalkan yang bawahanku," suruhnya. "Apakah Mas aldi harus melakukan itu?" "Pernikahan kita harus tetap terlihat seperti pernikahan yang wajar pada umumnya, kalau aku tidak memperkenalkanmu kepada jajaran direksi dan bawahanku akan terlihat janggal sekali, apalagi yang kau adalah istriku yang suatu hari kamu juga memiliki hak atas perusahaan itu." Aku ternganga mendengarnya. "Maksudku, seolah-olah kau sungguh istriku.x segera meralat ucapannya. Ah, pahit. "Apakah menjadi istri orang kaya serumit ini?" "Banyak hal yang harus kau lakukan dan standar penampilan serta kemewahan yang diukur, cara bersikap dan mengucapkan kata-kata juga sangat disoroti." "Rumit Sekali rupanya," gumamku. "Hidup seperti ini membentuk seseorang menjadi pribadi yang sombong, dingin, dan tidak peka terhadap kesusahan orang lain, karenanya, qku tidak ingin punya istri dari kalanganku." "Kalau begitu, wanita seperti apa yang Mas cari?" Ia hanya menggeleng pelan lalu tersenyum tipis, "aku belum ada target ke sana, belum ingin serius dengan siapapun." "Pernikahan ini tujuannya hanya membungkam orang tua Mas agar tidak terus-menerus menuntutMas untuk menikah?" "Ya." Dia Lalu mengambil bantal lalu merebahkan dirinya di sofa. "Mengapa tidak tidur di ranjang ini?" aku yang bertanya padanya. "Mungkin tidak akan baik jika kita terus-menerus bersama,.aku takut tanpa sengaja aku akan menyentuhmu," jawabnya sambil memejamkan mata. "Aku hanya mampu menghela nafas pelan." "Andai Ini bukan pernikahan kontrak, andai ini didasari dengan cinta aku pasti akan sangat bahagia." aku membatin dalam hatiku. "Mengapa kau diam saja apa? yang kau pikirkan?" tanyanya lagi. "Tidak akan baik jika kau tidur di sofa dan kedinginan, sedangkan aku menikmati ranjang ini sendirian, ranjang ini sangat luas untuk kita berdua kita bisa memasang bantal sebagai pembatasnya," kataku pelan. Ia tertawa renyah mendengar ucapanku, "Tidak usah aku baik-baik saja." Pahit dua kali. Bagaimana kalau Ibu mau datang dan memergoki kita tidur terpisah seperti ini," kataku yang entah mengapa berusaha membujuknya. "Aku akan memberi alasan kalau kau sedang datang bulan," jawabnya asal. Lagi, aku hanya mampu mendengkus kesal, "Baiklah, aku tidak akan mampu memaksanya lagi pula mengapa aku harus memaksanya? dia hanya suami palsu." aku miris menyadari itu. Dua jam kemudian Aku berusaha mengerjab dan membuka mata, ternyata kudapati pria itu sudah tertidur pulas di sampingku. wajahnya yang tampan dalam lelap yang begitu damai membuatku betah untuk memperhatikannya. "Apa yang kau lihat?" ucapnya sambil terus terpejam membuatku gelagapan dan gugup. "Tidak, siapa yang melihatmu?" jawabku salah tingkah. "Sejak 20 menit yang lalu kau menatapku," jawabnya merontokkan harga diriku. "Tidak ...." Aku mengelak lagi. "Jujur saja, Apa kau menyukaiku kini?" ucapannya terdengar menggodaku. "Siapa yang bilang? dari mana kamu tahu?" Ia menyibak selimut lalu menatapku, "Lagipula siapa yang akan tahan dengan pesona pria tampan sepertiku," ujarnya penuh percaya diri. "Percaya diri sekali," sungutku. Tiba-tiba ia meraih tubuh ini menjatuhkannya hingga kami terguling, dan posisinya kini ia berada di atasku. aku Aku gugup dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat apalagi ketika mata bening itu menatapku. "Itu wajahmu bersemu merah artinya apa yang aku katakan benar adanya," ujarnya nyaris berbisik. Aku memutar bola mata dengan malas sambil menggeleng pelan, padahal dalam hati ini amat gugup. "Aku hanya kasihan padamu, tadi kau tidak ingin tidur denganku, tapi nyatanya kau yang tidur juga Mas." Ah bicara apa aku? Konyol! "Badanku pegal tidur di sofa." ia melepaskanku dan kembali merebahkan diri di tempatnya tadi. "Tidurlah karena besok kita harus berangkat ke perusahaan." ia menutup wajahnya dengan bantal sedangkan aku merutuk sendiri dalam hati. Andai aku bisa melakukan apa yang menjadi harapanku ... Ah, gemas.Aku tahu, memilih Mas Aldi dalam hidupku juga bukan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang harus kuhadapi dengan sabar dan penuh kekuatan. Misalnya ibu tirinya yang hanya melihat uang sebagai sesuatu yang bernilai. Sedang hubungan dia dan Mas Aldi berjalan datar, terkesan berpura-pura baik dan dipaksakan agar nampak seperti ibu yang baik di depan suaminya.Aku tahu, adik-adik Mas Aldi akan mencibirku, begitu juga beberapa wanita yang pernah dekat dengannya, mereka tak akan berhenti untuk menggoda suamiku, sampai Mas Aldi kembali bertekutk lutut.*Kulangkahkan kaki, mencari pria yang menikahiku beberapa bulan lalu ke kantornya. Penampilanku yang hanya berkemeja kotak dan celana jeans serta sebuah tas selempang yang tersampir di bahu sangat kontras dengan tempat di mana aku berpijak saat ini.Resepsionis datang dan bertanya apa keperluanku--yang lusuh dan tidak elegan ini-- datang ke kantor mereka."Aku mencari suamiku," jawabku.Wanita berseragam rapi itu mengernyit, mungkin lupa ata
Aku ingin memilih sekarang dan mengakhiri kemelut cinta segitiga yang membuatku bingung memilih antar Mas Aldi atau Rizal. Terlebih ketika aku sudah berdamai dengannya beberapa saat tadi."Aku akan menyusul Mas Aldi malam nanti," gumamku setelah baru saja di antar olehnya pulang.Ketika masuk ke dalam rumah kudapati ibu sedang termenung sendiri di meja makan, wajahnya amat sedih dan sesekali ia mengusap deraian air mata di pipi."Ibu ... ibu kenapa?" tanyaku pelan sambil menghampiri dan menggenggam tangannya."Ibu hanya memikirkan bagaimana masa depan pernikahanmu Nadia, sedih sekali melihat ketika wanita sebayamu sedang berbahagia dengan rumah tangga mereka, sedangkan kamu terpisah dari suamimu sendiri dan berada di dalam ketidakpastian.""Sebenarnya aku sendiri yang membuat pernikahan ini berada dalam ketidakpastian, mudah untuk kembali dan berbahagia lagi tapi karena sakit hati aku membeli untuk berlarut-larut mendiamkan masalah ini. Tapi ibu tenang saja sekarang," jawabku pelan."
Selepas kepergiannya ada rasa kesepian yang tiba-tiba memenuhi dinding hatiku. Kemarin aku telah membencinya, berkali-kali muak padanya, tapi mendengar semua penuturan yang menyedihkan tadi, membuat sudut pandangku berubah dan seketika menjadi iba.Lalu bagaimana dengan perasaan hatiku yang tiba-tiba dicuri Mas Rizal dengan perhatian dan kelembutannya?Seharusnya tak kubiarkan ruang kosong di hati diisi cinta lain hingga statusku resmi menjanda, apa akibatnya sekarang setelah memutuskan jauh dari suami, kini aku dilema sendiri."Kalo kau mencintaiku maka tahanlah aku." Itu pintanya sesaat sebelum pergi.Aku tahu persis bahwa jika kali ini ia patah hati karena penolakanku, maka itu akan mengulang luka lama yang dia derita, sakitnya akan terbuka kembali, dan hatinya akan semakin ditutupi kegelapan abadi. Akan susah sekali untuk membuatnya tersenyum dan hangat lagi."Apa yang kamu lakukan Nak, kok kamu gitu sama suamimu?""Aku harus bagaimana, Bu?""Kenapa memutuskan berpisah sementara
Kususuri jalan trotoar dengan langkah gontai seolah-olah boneka, atau jasad yang tidak bernyawa. Hatiku terbelah menjadi dua dan aku tidak tahu harus kemana, suami dan pria itu, dua hal yang terus berputar dan menyita fokus otakku.Aku lelah memikirkan itu.Kubuka pintu, engsel berderit dan wajah tampan dengan cambang halus yang tumbuh di sekitar pipinya menoleh, menyunggingkan senyum manis yang tulus, senyum yang jarang kulihat ketika ia masih kanebo keringku, es batu yang melelehkan, ah patah hati mengingatnya Meski seni mencinta adalah cara paling mudah menyakiti diri sendiri, aku tetap melakukanny, dan tak pernah menyangka bahwa sakitnya akan seburuk ini. Bertubi tubi dan merenggut akalku.Kubuka pintu rumah, engsel berderit dan mengalihkan perhatian pria tampan dengan jambang halus yang mulai menumbuhi pipinya dia tersenyum memperlihatkan aksen paling manis di wajahnya, aksen yang jarang sekali kulihat ketika dia masih ku sebut sebagai kanebo kering milikku.Ah, kenapa aku bisa
Sedang sibuk menekuni semua tugas dalam memberi label pada hp yang sudah didaftarkan Imei-nya, tiba tiba pria yang selalu memiliki senyum hangat dan tatapan menggoda, datang dan meletakkan secangkir kopi dengan gelas kertas."Aku, udah merindukanmu dan memutuskan untuk langsung datang ke counter ini.""Tidak ada tempat untuk merindukan seseorang, ini adalah tempat penjualan HP," jawabku sambil tertawa."Sungguh aku tidak bisa mengalihkan diri dari memikirkan kamu," ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja lalu menopang dagunya, menatapku lekat."Jangan melihat aku seperti itu, aku akan merasa canggung," jawabku tersenyum."Hei, aku tahu aku salah merindukan milik orang lain, tapi aku tidak bisa menepis perasaanku, Nadia," ujarnya dengan tatapan penuh keseriusan. Aku juga tidak mendengar sebuah kebohongan dari nada bicaranya."Iya, situasi ini memang tidak menguntungkan untuk kita,"jawabku sambil tersenyum dan melanjutkan pekerjaan."Mengapa reaksi mengubah begitu santai
Bangunkan pria yang tertidur di depan TV sambil menepuk bahunya."Hei bangun, Ini sudah pagi,"ujarku dengan kesal karena di jam 8 di saat matahari sudah terik dia masih saja tertidur pulas.Ia menggeliat sesaat lalu berusaha mengerti akan membuka matanya."Apa sih istriku? Seorang Istri membangunkan suaminya dengan mesra memeluk lalu menyiapkan secangkir kopi, tapi kau malah membentakku," keluhnya sambil kembali memeluk bantal guling dan memejamkan mata."Bangun dan berangkatlah ke kantormu Aku tidak mau disalahkan ibu mertua karena kau tertidur di sini dan kau lalai dengan tugasmu.""Mengapa kau memanggilku dengan panggilan kau' padahal sebelumnya kalau selalu menyebut ku dengan kata sapaan Mas dan saat itu amat merdu terdengar di telingaku, ada apa kau berubah sedrastis ini?""Aku sudah katakan sebelumnya bahwa sejak Kau mengusirku dari hidupmu aku putuskan untuk menghapus semua perasaanku.""Sebelumnya kau punya perasaan?" tanyanya sambil mengulum senyum."Tidak." Aku membuang muka