Melewati Treant raksasa yang kembali menyatu dengan hutan terasa seperti baru saja lulus dari ujian paling absurd sedunia. Lega, tentu saja. Ada kelegaan luar biasa yang menjalar di sekujur tubuh.Tapi, peringatan terakhirnya terus menggema di benakku.“Tidak semua penjaga bisa diajak bicara dengan lagu.”Kalimat itu menjadi nada sumbang yang merusak harmoni kemenangan kecil kami, menanamkan benih waswas yang baru.Perjalanan kami berlanjut, semakin dalam ke jantung Perbatasan Senja. Dan tempat ini… demi semua dewa yang tak pernah kukenal, hutan ini semakin aneh saja.Cahaya senja abadinya yang temaram membuat semua warna tampak pucat dan misterius. Jamur-jamur raksasa sebesar payung berpendar dengan cahaya ungu dan oranye yang sakit-sakitan, tumbuh di batang-batang pohon yang kulitnya sehitam arang. Aku bahkan bersumpah melihat beberapa bunga aneh yang kelopaknya langsung mengatup rapat setiap kali kami melintas, seolah mereka pemalu… atau mungkin membenci kehadiran kami.Rasanya sep
Pohon yang berjalan. Pohon yang marah.Butuh beberapa detik bagi otakku yang kelelahan untuk mencerna pemandangan mustahil di depan kami. Ini bukan sekadar monster hutan. Ini adalah perwujudan... jiwa dari hutan itu sendiri. Menjulang tinggi, berakar pada zaman, dan jelas... sangat tidak menyukai kami."Treant," desis Arista di sampingku. Kedua belatinya sudah siaga dalam genggaman, postur tubuhnya merendah, siap menerkam. "Penjaga Kuno hutan ini. Jangan bergerak tiba-tiba, Liora."Terlambat. Sekujur tubuhku sudah membeku kaku.Suara gemuruh rendah kembali menggema dari tubuh raksasa itu. Suara itu tidak keluar dari mulut, melainkan bergetar dari setiap serat kayunya, seolah ribuan akar tercabut paksa dari perut bumi."SIAPA... YANG... MENGGANGGU... KETENANGAN HUTAN INI?"Suaranya lambat, berat, dan sarat akan amarah purba yang telah lama tertidur.Dua titik cahaya hijau lumut yang menyala di tempat yang seharusnya menjadi mata, kini menatap lurus ke arahku. Ia bisa merasakannya. Ener
Riel dan Arista menatapku, ekspresi mereka terpaku dengan campuran antara kaget dan ragu. Aku mengerti kebingungan mereka. Beberapa saat lalu aku sama tersesatnya, kini aku menawarkan diri menjadi pemandu. Dari sudut jiwa yang mana datangnya kepercayaan diri ini, aku sendiri tak tahu.Aku hanya membalas tatapan mereka dengan senyum tipis."Aku tahu jalannya," ujarku, suara terdengar lebih mantap dari yang kurasakan."Ikuti aku."Tanpa menunggu persetujuan mereka, aku berbalik dan melangkah lebih dulu. Memasuki kembali labirin akar-akar pohon raksasa yang tadinya terasa begitu menyesatkan.Namun kali ini, semuanya berbeda.Aku tidak lagi melihat dengan mata biasa. Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan indera Aether-ku yang baru lahir ini mengambil alih sepenuhnya. Seluruh duniaku yang tadinya dipenuhi hijau dan cokelat kini memudar, digantikan oleh fokus mutlak pada benang-benang energi biru pucat yang menari-nari di dalam benakku.Benang-benang itu seperti pita cahaya gaib yang dite
Perpisahan dengan Faelan dan kehangatan Suaka Sylvan terasa seperti mimpi yang berakhir terlalu cepat. Hanya butuh satu langkah melewati tirai air terjun, dan dunia luar yang kejam kembali menyergap kami tanpa ampun.Kami kembali menjadi buronan. Kembali menjadi target.Namun kali ini… ada harapan. Ada tujuan yang jelas."Perbatasan Senja," gumam Arista. Matanya yang tajam menatap jalur menurun di depan kami, sebuah pemandangan yang terasa begitu asing dan tidak ramah. "Menurut peta Elara, kita harus melewati hutan lebat di kaki lembah itu."Beberapa jam pertama perjalanan terasa menipu. Lereng-lereng landai yang kami susuri dipenuhi hutan pinus yang lebih rapat dari sebelumnya. Suara angin tak lagi meraung-raung, dan udara terasa sedikit lebih hangat seiring menurunnya ketinggian kami. Sebuah ketenangan yang hampir membuat kami lengah.Riel, meski masih sesekali meringis jika bergerak terlalu cepat, sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Langkahnya lebih mantap, dan wajahnya yang pucat p
Tiga Hari.Selama tiga hari penuh, suaka Sylvan di balik tirai air terjun ini telah menjadi rumah kami. Benteng kami dari dunia luar yang kejam. Di sini, waktu seolah melambat, berjalan seirama dengan denyut alam itu sendiri.Untungnya, di bawah perawatan Faelan dan Arista, kondisi Riel membaik dengan pesat. Setiap hari, lukanya dibersihkan dengan air suci dari kolam yang telah kumurnikan, dan ia menelan ramuan herbal pahit racikan Faelan. Perlahan tapi pasti, racun sihir gelap Umbra itu enyah dari tubuhnya. Wajahnya yang semula sepucat kertas, kini mulai merona, dan napasnya jauh lebih teratur.Hari ini, untuk pertama kalinya, ia berhasil duduk sendiri di tepi kolam. Gerakannya memang masih kaku dan ia masih butuh bantuan untuk sekadar berdiri."Sudah kubilang, aku baik-baik saja," ujarnya dengan nada keras kepala yang khas saat Arista mencoba membantunya bersandar lebih nyaman.Aku yang duduk tak jauh darinya hanya bisa memutar bola mata.Dasar Pangeran Elf, baru saja sadar sudah so
Saat kami melangkah melewati tirai air terjun yang berkilauan, dunia luar yang dingin dan kejam seolah lenyap seketika. Semua digantikan oleh keajaiban yang sama sekali berbeda.Gua ini… bukan sekadar gua.Ini adalah sebuah suaka.Udara hangat dan lembap menyambut kami, dipenuhi aroma wangi bunga-bunga malam, tanah subur, dan lumut basah. Dinding-dinding batunya tidak berkilau oleh kristal, melainkan diselimuti lapisan lumut hijau zamrud yang berpendar lembut. Cahaya hijau pucat yang menenangkan itu terasa begitu… hidup.Di tengah gua, sebuah kolam kecil dengan air sejernih cermin memantulkan pendaran lumut, menciptakan pemandangan yang sureal dan damai.Di tempat ini, aku bisa merasakan aliran Aether dengan sangat jelas; bersih, murni, dan berdenyut mengikuti ritme kehidupan alam. Sangat kontras dengan energi kacau di puncak gunung atau aura gelap Umbra yang memuakkan.Rasanya seperti paru-paruku yang sesak akhirnya bisa bernapas lega."Bawa Pangeran Elf itu kemari," kata Faelan, sua