Syuting hari itu berakhir larut malam. Angin dingin menusuk masuk di sela-sela kostum tipis para figuran yang kini mulai berkemas, lelah dan menggigil. Namun di balik tenda kecil yang menjadi tempat berkumpul para figuran, ada suasana yang tak biasa—bukan hanya kelelahan, tapi sebuah getaran bahagia yang mencoba disembunyikan dalam keremangan cahaya.
Hana, yang baru kembali dari toilet dengan rambut sedikit berantakan dan wajah letih, tertegun saat mendapati beberapa temannya berkerumun di sekitar meja kecil. Di atasnya, berdiri kue mungil dengan lilin yang menyala. Lampu tenda sengaja dipadamkan, menyisakan hanya cahaya lilin yang menari pelan, memberi warna hangat di tengah gelapnya malam.
“Selamat ulang tahun, Hana!!” seru Mina riang, seperti meledakkan keheningan yang sedari tadi tertahan.
Hana terdiam. Matanya membulat, lalu perlahan mulai berkaca-kaca.
“Ini… buat aku?” tanyanya nyaris berbisik.
“Tentu saja! Ayo tiup lilinnya! Kamu pasti bahagia banget hari ini karena pacar kamu dateng,” goda Mina cepat, membuat yang lain tertawa cekikikan.
Namun tak semua ikut tertawa.
Di balik keramaian itu, Jiwon berdiri di dekat van produksinya, masih mengenakan jaket syuting. Dadanya berdegup tak karuan. Kata "pacar" tadi menggema di kepalanya. Pandangannya langsung menyapu area sekitar... mencari satu sosok. Jungwon. Ia mengingat jelas pria itu duduk terlalu dekat dengan Hana tadi, tertawa seperti hanya mereka berdua di dunia ini.
Tapi parkiran sudah kosong. Jungwon telah pergi.
Jiwon menghela napas yang terasa seperti bara. Tapi sebelum amarah menguasainya, suara Hana tiba-tiba terdengar jelas.
“Pacar? Ya ampun, bukan. Jungwon itu sahabat kecilku di Jeju. Dia cuma mampir karena tahu hari ini ulang tahunku.”
Tawa kembali pecah, tapi yang paling merasa lega adalah Jiwon. Seperti beban besar terangkat dari dadanya. Tapi sekaligus… ada ruang baru di sana. Sebuah keinginan. Untuk tahu lebih banyak. Untuk menjadi lebih dekat.
Namun tentu saja, dia tetaplah pemeran utama. Dan Hana… tetaplah figuran.
Untuk sekarang.
Ketika keramaian di tenda mulai reda dan para figuran kembali ke ritme malamnya, Jiwon melangkah masuk ke dalam van-nya. Tapi bukan untuk pulang.
“Hyung,” ucap Jiwon, suaranya serius.
Yoon Chan mendongak, masih memegang kopi kaleng. “Hm?”
“Aku butuh nomor Hana.”
Yoon Chan tersedak. “Kamu gila ya?!”
“Aku serius," ujar Jiwon dengan tatapan membara.
Yoon Chan menatapnya tak percaya. Tapi tatapan Jiwon tak goyah. Dan akhirnya, dengan gumaman kesal, ia keluar van, menyusuri tenda-tenda untuk bertanya. Lima belas menit kemudian, ia kembali dan menyerahkan secarik kertas kecil ke tangan Jiwon.
“Kalau ibumu tahu aku ngasih ini, aku bisa dibuang ke gurun Gobi,” gerutunya pelan.
Jiwon tak menjawab. Ia hanya menatap angka-angka di kertas itu dengan mata berbinar, lalu jemarinya menari di atas layar datar untuk menulis pesan kepada Hana.
Hai… nanti malam bisa ketemu di bawah pohon itu lagi? Mau bahas latihan akting.
– Han Jiwon
Ia ragu sejenak. Lalu menekan tombol kirim.
Detik demi detik berlalu seperti abadi. Sampai akhirnya...
1 Pesan Masuk
Wah! Aku setuju! Ayo bertemu di sana.
– Lee Hana
Senyum muncul di wajah Jiwon. Ia langsung meraih jaket dan paper bag putih dari kursi belakang, berisi syal rajut abu-abu yang pernah ia beli tanpa tahu untuk siapa.
Ketika ia tiba di bawah pohon besar itu, Hana sudah duduk lebih dulu. Lampu jalan memberi cahaya samar pada wajahnya. Mereka berbincang pelan. Jiwon menyodorkan hadiah ulang tahun dengan canggung, sebab ia tak pernah memberikan satu hadiah pun kepada seorang wanita, dan iya, Hana adalah yang pertama. Syal itu ia kalungkan sendiri di leher Hana, perlahan dan penuh hati-hati. Walaupun awalnya terasa canggung dan aneh, tapi setelah melihat senyuman mekar di wajah cantik Hana membuat Jiwon merasa lega. Jiwon berharap, hangatnya syal itu tidak hanya terasa di fisik Hana, tapi menembus hingga ke dalam hatinya.
Namun sebelum mereka benar-benar larut dalam kebersamaan yang langka, ponsel Jiwon tiba-tiba bergetar.
1 Notifikasi Masuk.
Ia menoleh sekilas.
Jangan terlalu dekat dengan figuran itu. Aku dapat foto kalian dari lokasi.
– [Nomor Tidak Dikenal]
Jiwon menegang. Ia mengedarkan pandanganya, menggerakkan kepalanya dengan cepat ke kiri dan ke kanan. Mengamati situasi dengan perasaan tak nyaman.
Hana melihat ekspresi wajahnya berubah.
“Ada apa?” tanya Hana pelan.
Jiwon menatap layar ponsel itu sekali lagi, sebelum mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil.
“Tidak apa-apa,” katanya. Tapi di balik senyumnya, matanya menyimpan badai.
Dan malam itu... tak ada yang tahu bahwa langkah kecil mereka berdua baru saja menapaki ujung tebing—siap menjatuhkan keduanya kapan saja
Sudah tiga hari sejak pertengkaran kecil di dalam mobil itu. Hana tidak menerima satu pun pesan atau telepon dari Jungwon—hal yang sangat tidak biasa bagi pria yang selama ini selalu menjadi orang pertama yang menanyakan kabarnya.Keheningan itu membuat dada Hana terasa sesak. Bukannya membaik, tubuhnya justru makin melemah. Tapi diam di rumah hanya membuat pikirannya makin kalut, dan satu-satunya tempat yang bisa memberinya sedikit rasa nyaman adalah coffee shop milik Jungwon.Dengan langkah lesu dan wajah pucat, Hana mendorong pintu masuk café yang terasa hangat dibanding udara luar yang dingin. Aroma kopi dan kayu manis menyambutnya, tapi tidak cukup kuat untuk mengusir dingin yang menggerogoti tubuhnya."Hei, Kak Hana!" sapa salah satu staf dengan senyum ramah.Hana membalas senyuman itu seadanya. "Jung ada di ruangannya, kan? Aku masuk ya."Staf itu terlihat ragu. "Eh, Kak... Pak Jungwon tadi pagi ke Busan."Langkah Hana langsung terhenti. "Busan? Kenapa nggak bilang?""Saya kura
Hana baru saja menyelesaikan take adegannya untuk adegan pagi yang cukup emosional. Pipinya masih sedikit memerah karena terpaan angin dingin bercampur salju buatan. Ia menepi ke pojok tenda kru, menarik napas, lalu membuka jaket bagian dalam untuk meraih ponselnya.Begitu layarnya menyala, Hana terkejut melihat notifikasi pesan dari Jiwon—banyak sekali. Biasanya, Jiwon hanya mengirim satu atau dua pesan singkat. Tapi kali ini, pesan-pesannya muncul berurutan seperti seseorang yang sedang kalap. Ia membuka satu per satu.📲 Jiwon : Hana... kamu sudah sampai di lokasi syuting kah? Pakai pakaian tebal, salju akan turun.Hana tersenyum tipis. Terlambat, pikirnya. Ia memang sudah menggigil beberapa jam terakhir karena wardrobe-nya tak terlalu hangat.📲 Jiwon : Hana! Aku tahu kamu diantar sama Jungwon! Aku iri!!!!Kening Hana mengernyit. Kok tahu...? Lalu ia lanjut membaca.📲 Jiwon : Hana, kamu nolak aku bukan karena udah pacaran sama Jungwon kan?📲 Jiwon : Han... kalau kamu gak jawab y
Hujan turun tipis pagi itu, seperti ingin mengiringi langkah terakhir Hana di lokasi syuting. Hari ini adalah penutup untuk perannya dalam drama yang diam-diam begitu membekas di hatinya—bukan karena karakternya, tapi karena seseorang yang tak sengaja menjadi pusat kekacauan emosinya.Senyuman para kru dan figuran lainnya mengiringi perpisahan kecil di ujung set. Tak ada pesta perayaan. Hanya beberapa pelukan hangat, ucapan terima kasih, dan sebotol kopi hangat yang diberikan oleh manajer figuran."Kamu akan langsung masuk jadwal produksi yang ini, ya. Besok udah bisa standby di lokasi baru," ucap manajer figuran sambil menyodorkan secarik jadwal.Hana mengangguk. "Terima kasih, sunbae. Aku akan datang tepat waktu."Namun di balik semua keheningan dan kepergian yang tampak biasa itu, ada satu orang yang tak siap membiarkan Hana benar-benar pergi.Sementara Hana menyembunyikan dirinya dalam rutinitas baru yang padat dan nomor yang selalu dalam mode diam, Yoon Chan berdiri canggung di d
Udara pagi masih menusuk tulang saat Hana melangkah masuk ke lokasi syuting. Kabut tipis melayang-layang di udara, menambah nuansa dramatis pagi itu. Pipinya memerah, bukan karena riasan, melainkan sisa kedinginan semalam saat syuting adegan di bawah hujan buatan yang mengguyur hingga larut malam. Ia menarik napas pelan, mencoba menstabilkan detak jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya.Seorang manajer figuran mendekat cepat, tatapannya meneliti wajah Hana yang tampak sedikit pucat. "Kau nggak apa-apa, Hana? Hidungmu merah. Jangan-jangan masuk angin?"Hana tersenyum, menepis kekhawatiran yang terpancar dari mata manajer itu. "Aku baik-baik saja, kok. Mungkin cuma efek cuaca. Enggak perlu ubah jadwal, ya. Aku masih bisa lanjut."Belum sempat manajer itu membalas, terdengar suara ribut dari arah belakang. Beberapa kru menoleh, termasuk Hana. Yoon Chan datang tergopoh-gopoh, peluh di pelipisnya mengalahkan suhu dingin. Di tangannya ada dua kardus besar berisi botol-botol air mine
Rintik salju menyambut pagi Hana yang dingin. Hari ini adalah hari pertamanya syuting untuk drama Confidental yang akan ia perankan bersama Jiwon.Selama menuju halte, Hana terus memikirkan bagaimana caranya agar dia tampak profesional di hadapan Jiwon yang belakangan terus mengejarnya. Pandangannya tertuju pada iklan besar di seberang halte. Wajah Jiwon yang tampan di sana bahkan bisa membuat remaja di sekitarnya berfoto. Mereka sangat mengidolakan Jiwon. Lantas, bagaimana respon mereka kalau Jiwon menyukai seseorang yang jauh di bawah Jiwon? Baik dari segi karir, keuangan, keluarga. Apakah mereka masih mau bertahan menjadi penggemar Jiwon? Atau mundur perlahan dan Jiwon akhirnya kehilangan sinarnya?Kedatangan bus membuyarkan pikiran Hana. Ia pun masuk ke dalam bus dan membaca naskah agar syuting hari ini berjalan lancar. Kata demi kata Hana baca, sungguh membuat hatinya tersayat. Kisah cinta antara dirinya dan Jiwon di drama ini sangatlah pilu. Mereka berpisah bukan karena suatu ke
Pagi itu, cahaya matahari menerobos perlahan melalui sela-sela gorden kamar sempit Hana. Ia menggeliat kecil, mencoba membuka matanya yang masih berat. Di luar jendela, langit Seoul tampak cerah, meski udara masih dingin di akhir musim dingin yang belum benar-benar hengkang.Ponselnya bergetar hebat di atas meja kecil. Getaran itu membangunkannya lebih cepat daripada alarm. Dengan mata setengah terbuka, Hana meraih ponsel dan melihat sebuah pesan baru dari manajer figuran agensinya.📩 Naskah baru untukmu, Hana. Kamu dapat peran figuran spesial. Cek email.Perasaan kantuknya langsung lenyap. Ia duduk tegak di tempat tidur, jantungnya berdetak lebih cepat. Hana membuka email dan menemukan file naskah bertanda “CONFIDENTIAL”. Dengan rasa penasaran dan semangat, ia mulai membacanya. Ternyata, ia diminta memerankan mantan kekasih dari karakter utama dalam drama terbaru yang akan diproduksi stasiun televisi besar.Meski hanya figuran, peran itu memiliki beberapa adegan penting—bahkan adega