Langit di luar jendela pesawat terlihat biru pucat, diwarnai awan tipis yang menggumpal seperti kapas. Di dalam kabin kelas bisnis yang nyaman, lampu kabin diredupkan, memberikan kesan malam meski waktu masih menunjukkan siang. Suara mesin pesawat bergema lembut, menciptakan suasana sunyi yang anehnya menenangkan.
Devan duduk di kursi dekat jendela, diam membisu, sementara Belvina duduk di sebelahnya dengan Liam yang tertidur di pangkuannya. Bocah kecil itu tampak sangat tenang, napasnya teratur, dengan wajah polos yang begitu damai. Tangan mungilnya menggenggam ujung cardigan ibunya, dan sesekali tubuh kecilnya bergerak sedikit, seperti mencari posisi yang lebih nyaman.
Entah sejak kapan, pandangan Devan teralihkan dari jendela ke arah bocah kecil itu. Pandangannya tajam, tapi bukan karena marah. Justru ada semacam keterpukauan yang sulit ia definisikan. Tatapan polos dalam tidurnya, senyum samar yang kadang muncul entah karena mimpi apa, dan kepalanya yang sesekali b
Udara pagi mengendap tenang di halaman belakang, membawa aroma rumput basah dan teh jahe hangat yang mengepul dari cangkir. Ziandra duduk berdampingan dengan Pak Yuda, menyaksikan burung-burung kecil bertengger di dahan pohon mangga. Sesekali, suara cicit mereka memecah sunyi dengan irama yang menenangkan.Hari-hari seperti ini menjadi rutinitas baru bagi Ziandra. Sejak memutuskan berhenti dari kantor, ia memilih mendampingi mertuanya di rumah. Angga sudah menyetujui itu sejak awal, bahkan bersyukur istrinya begitu tulus menjaga ayahnya. Sejak hubungan mereka membaik, rumah terasa lebih damai, jauh dari luka yang dulu menganga.Ziandra mengisi cangkir Pak Yuda dengan teh hangat, lalu duduk kembali.“Terima kasih, Nak,” ucap Pak Yuda lirih. Ia menyeruput pelan, kemudian menyandarkan punggung. Pandangannya jauh ke arah pepohonan.Ziandra mengangguk kecil. “Sama-sama, Ayah.”Beberapa saat mereka hanya diam. Tak canggung, hanya
Hari-hari berlalu seperti angin musim semi yang tak lagi menyimpan dingin. Tak ada lagi perdebatan yang menggantung di antara waktu, tak ada lagi luka yang membuat hati enggan pulang. Segalanya terasa lebih tenang, lebih ringan. Termasuk bagi Ziandra.Sejak hubungan antara dirinya, Angga, dan Pak Yuda membaik, tak ada lagi beban yang perlu disembunyikan di balik senyum palsu. Rumah yang tadinya terasa seperti medan perang kini menjadi tempat yang damai, bahkan penuh tawa ringan saat sarapan pagi atau menjelang tidur.Ziandra tak lagi datang ke kantor setiap hari, namun sesekali ia berkunjung sekadar menyapa sahabat dekatnya, Jenna. Ia tahu dirinya butuh waktu untuk beristirahat, tapi juga tak ingin benar-benar lepas dari dunia kerja yang pernah membuatnya tumbuh.Hari itu, langit tampak cerah meski sinar matahari tertutup awan tipis. Ziandra membawa kotak makan berisi nasi salmon panggang, salah satu menu kesukaan Angga. Pagi tadi suaminya itu terburu-buru dan m
Pagi di perusahaan dimulai seperti biasa, dengan langkah-langkah cepat para karyawan, suara pintu lift yang terbuka dan tertutup, serta dering telepon yang bersahutan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari sosok Angga pagi ini. Wajahnya tidak sekeras biasanya, tak ada sorot tajam atau aura tekanan yang kerap memancar setiap kali ia memasuki lantai kerja.Senyum tipis tampak di wajahnya, seperti ada cahaya yang meredupkan bayang-bayang lelah di bawah matanya. Ia menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya, bahkan sempat mengangguk sopan saat seseorang memberi salam pagi. Hal-hal kecil yang selama ini jarang ia lakukan.Begitu sampai di ruangannya, Angga membuka jas, menggantungnya di balik pintu, lalu duduk di kursi kerja dengan gerakan santai. Jemarinya membuka layar ponsel yang dari tadi menggetar pelan.[Kira-kira foto ini cocok diberi caption apa? Bagaimana kalau ‘Menantu dan Mertua yang Sedang Berdamai bersama dengan pagi’ menurutmu bagus,
Malam itu, Ziandra masih terbaring dalam posisi yang sama. Mata terpejam, namun pikirannya belum benar-benar tertidur. Bayangan kata-kata Angga terus terulang di benaknya, tentang ayahnya yang akhirnya mengakui kesalahan, tentang cinta yang terus ia perjuangkan, dan tentang dirinya yang akhirnya benar-benar dianggap.Pintu kamar kembali terbuka. Aroma lezat yang menguar dari luar perlahan menyusup masuk, menggoda indera penciumannya.Langkah kaki Angga terdengar ringan kali ini, seperti sedang menyimpan sesuatu yang istimewa.“Ziandra ...,” panggilnya pelan, nyaris seperti membangunkan anak kecil.Perempuan itu membuka matanya perlahan, lalu berbalik menatap suaminya yang kini berdiri di sisi tempat tidur dengan nampan di tangan.“Aku tahu kau belum makan apa-apa sejak siang tadi. Kau boleh pura-pura tidur seharian, tapi jangan pura-pura kenyang. Aku tidak mau kau sakit,” ucap Angga dengan lembut.Ziandra tersenyum ti
Langkah kaki Angga terdengar pelan saat ia dan Ziandra memasuki halaman rumah keluarga besarnya. Suasana rumah itu lengang, seolah menyesuaikan dengan hati mereka yang masih dipenuhi sisa emosi dari pertemuan di taman tadi.Mobil baru saja diparkir. Angga sempat ingin langsung menggandeng tangan istrinya masuk ke dalam, namun pandangannya terhenti saat melihat seseorang duduk sendiri di taman belakang. Ayahnya.Pria tua itu mengenakan jaket hangat dan selimut tipis yang menutupi pahanya. Duduk diam di atas kursi roda, memandangi kolam kecil yang hampir mengering. Raut wajahnya kosong, seperti memandangi masa lalu yang hanya bisa ia sesali diam-diam.Beberapa hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, Pak Yuda memang lebih sering diam. Tidak banyak bicara, tidak juga menunjukkan kemarahan seperti biasanya. Tapi itu justru membuat suasana rumah semakin aneh.Angga hanya menatap sekilas ke arah ayahnya, lalu mengalihkan pandangan dan bersiap masuk ke dalam.
Liam turun dari sepedanya dan dengan semangat berlari ke arah bangku taman tempat ibunya dan Ziandra duduk. Napasnya masih terengah karena terlalu banyak tertawa dan berlari, namun wajahnya bersinar penuh keceriaan.“Mama! Tante Ziandra! Tadi seru banget aku main sepedanya! Papa jago banget naik sepeda dan latih aku!” serunya antusias.Ziandra hanya tersenyum kecil, berusaha menanggapi dengan hangat meskipun dadanya sesak melihat antusias Liam yang begitu polos memanggil Angga dengan sebutan ‘Papa’.Tanpa banyak bicara, Liam langsung memanjat ke pangkuan Belvina, meringkuk manja sambil terus mengoceh tentang hal-hal kecil yang ia alami bersama Angga—tentang balapan sepeda, membeli es krim di minimarket, hingga memberi makan ikan di kolam kecil taman lain yang sempat mereka lewati.Belvina mengelus kepala anaknya perlahan. Wajahnya hangat, meski ada sisa-sisa haru yang belum hilang dari sorot matanya. Ia melirik ke arah Ziandr