Dengan napas yang belum stabil, Ziandra membuka kontak dan mengetik nomor yang baru saja diberikan Liona. Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol telepon. Nama Belvina terpampang jelas di layar, seolah menatapnya balik dengan semua misteri yang belum terpecahkan. Detak jantungnya berpacu cepat, dan telapak tangannya mulai berkeringat dingin.
Ia menelan ludah. Sekali lagi. Lalu memberanikan diri untuk menekan ikon panggil.
Nada sambung terdengar sebentar, sebelum akhirnya diangkat.
[“Halo?”]
Sahutan itu muncul dengan suara lembut dan tenang. Bahkan terdengar ramah.
Ziandra terdiam beberapa detik. Ia tidak tahu apa yang ia harapkan—mungkin suara berat yang sinis atau kalimat sarkas pertama yang menyambutnya. Tapi yang terdengar justru sebaliknya. Suara wanita yang terdengar ... baik. Bahkan terlalu sopan untuk seseorang yang dituduh menjadi duri dalam rumah tangganya.
[“Halo? Ini siapa, ya?”] ul
Hujan telah lama reda, namun jalanan masih basah dan memantulkan cahaya lampu-lampu kota yang temaram. Mobil yang dikendarai Ziandra terhenti di depan sebuah deretan apartemen tua, cat temboknya mengelupas di sana-sini. Aroma lembap dan anyir samar menyeruak dari lorong sempit yang mengarah ke pintu-pintu kusam berderet rapi.Belvina mengepalkan kedua tangannya erat-erat di pangkuan. Napasnya memburu pelan. “Ini tempatku tinggal selama di sini,” lirihnya.Ziandra dan Jenna saling pandang. Ada rasa sesak menggayuti dada mereka melihat keadaan yang jauh dari layak.“Bagaimana bisa Devan dan Liona memperlakukanmu seperti ini,” gumam Jenna tak percaya.Ziandra mengetatkan rahangnya. “Ayo,” ujarnya tegas.Mereka bertiga melangkah cepat menapaki tangga sempit yang berderit di setiap injakan. Suasana di dalam gedung tua itu begitu sunyi, hanya terdengar tetesan air dari sudut langit-langit yang bocor. Di depan salah sat
Di tengah ruangan sempit yang hanya diterangi lampu meja kecil, Liona duduk berselonjor di sofa reyot sambil memainkan ponselnya. Jarinya lincah menelusuri linimasa media sosial, sesekali terkekeh pelan melihat video-video pendek yang lewat begitu saja. Di sudut ruangan, Liam tidur pulas di atas kasur tipis, berselimutkan kain hangat. Hujan deras yang mengguyur di luar menambah suasana malam yang dingin dan lembap.Sebuah suara pintu terbanting membuat Liona tersentak.Devan muncul dengan langkah terburu-buru, mantel panjangnya basah kuyup, rambutnya meneteskan air. Wajahnya masam, kedua alis berkerut tajam. Ia menggerundel kesal.“Sial! Aku lupa bawa payung!” gerutunya sambil menepuk-nepuk mantel yang basah.Matanya segera menyapu ke dalam ruangan. Pandangannya terarah pada kasur tempat Liam terlelap, namun sosok Belvina tak tampak di mana pun. Ia melangkah cepat mendekati Liona yang masih asyik menatap ponsel.“Di mana Belvina?&
Belvina menarik napas panjang, lalu meletakkan kedua tangannya di pangkuan. Jemarinya saling menggenggam erat, seolah tengah menahan sesuatu yang selama ini disimpannya rapat-rapat.“Aku dan Angga memang pernah bersama. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku merasa dihargai saat aku tak lebih terlihat sebagai wanita penghibur. Tapi saat itu, aku sadar kami berbeda. Aku tidak punya apa-apa. Sementara Angga, dia begitu tinggi hingga tak bisa kugapai,” katanya akhirnya, suaranya pelan dan jelas.Ziandra hanya diam, bola matanya tajam menatap wanita di hadapannya.Belvina menghela napas, lalu melanjutkan. “Dan akhirnya ... aku terpaksa meninggalkannya. Saat itu kami memang saling mencintai, tapi keadaan begitu sulit untukku. Aku terus mendapat tekanan dari Pak Yuda untuk meninggalkan putranya. Jika Angga jadi menikahiku, maka Pak Yuda akan pastikan karier putranya akan hancur. Ia bahkan takkan segan merusak karier Angga jika aku masih kukuh be
Setelah mengirimkan lokasi pertemuan pada Belvina, Ziandra menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa gugup yang belum juga surut. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin lift yang memantulkan wajah letih dan mata sembap.“Ini keputusan yang tepat,” gumamnya lirih, lalu melangkah cepat menuruni tangga rumah sakit.Namun di anak tangga ketiga, langkahnya terhenti saat mendapati seseorang berdiri di ujung lorong—Jenna.“Ziandra?” panggil Jenna pelan, wajahnya menunjukkan raut prihatin sekaligus lega. “Aku memang ingin mencarimu. Syukurlah, kita bertemu di sini.”Ziandra terdiam sejenak, lalu turun beberapa anak tangga hingga akhirnya berdiri sejajar dengan sahabatnya itu. “Untuk apa?”“Aku sempat mengobrol dengan Angga. Aku melihatnya duduk sendirian di luar ruang ICU dengan wajah muram, dan karena tidak tega kutemani dia dengan hanya duduk diam di sebelahnya. Namun Angga dengan miris mal
Dengan napas yang belum stabil, Ziandra membuka kontak dan mengetik nomor yang baru saja diberikan Liona. Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol telepon. Nama Belvina terpampang jelas di layar, seolah menatapnya balik dengan semua misteri yang belum terpecahkan. Detak jantungnya berpacu cepat, dan telapak tangannya mulai berkeringat dingin.Ia menelan ludah. Sekali lagi. Lalu memberanikan diri untuk menekan ikon panggil.Nada sambung terdengar sebentar, sebelum akhirnya diangkat.[“Halo?”]Sahutan itu muncul dengan suara lembut dan tenang. Bahkan terdengar ramah.Ziandra terdiam beberapa detik. Ia tidak tahu apa yang ia harapkan—mungkin suara berat yang sinis atau kalimat sarkas pertama yang menyambutnya. Tapi yang terdengar justru sebaliknya. Suara wanita yang terdengar ... baik. Bahkan terlalu sopan untuk seseorang yang dituduh menjadi duri dalam rumah tangganya.[“Halo? Ini siapa, ya?”] ul
Angga masih terpaku di tempat, tubuhnya seperti kehilangan tenaga setelah mendengar permintaan itu keluar dari mulut sang istri. Tapi detik berikutnya, saat Ziandra benar-benar mulai melangkah pergi, ia langsung tersadar dan menyusul cepat, menarik lengan perempuan itu.“Ziandra, jangan! Kumohon, dengarkan aku dulu!”Ziandra menoleh pelan, matanya basah, tapi tatapannya tetap kuat. “Untuk apa? Agar kau membenarkan semuanya dengan kata-kata manis?”“Bukan begitu! Aku tidak akan menceraikanmu!” ucap Angga cepat, penuh tekanan, suaranya terdengar serak oleh emosi yang mendesak.Ziandra terdiam. Tangannya masih dalam genggaman Angga, tapi tidak mencoba melepaskan. Ia hanya menatap pria itu, menunggu, menuntut penjelasan yang layak.Angga menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, lalu mulai bicara. Suaranya rendah, namun jelas.“Ya, aku mengenal Belvina. Kami pernah sangat dekat. Sangat. Dia ... c