Home / Young Adult / Pacarku Si Ketua OSIS / Hati yang Semakin Terikat

Share

Hati yang Semakin Terikat

Author: Adela Ghani
last update Last Updated: 2024-09-24 15:44:09

Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku.

Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja.

Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari.

Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak.

“Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya.

Aku mendongak, tersenyum padanya.

“Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?”

Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku.

“Aku tahu kamu sering lupa makan kalau lagi sibuk, jadi ini buat kamu. Jangan sampai sakit gara-gara kerja terlalu keras.”

Aku menatap kotak itu, sedikit terkejut.

“Arga, kamu nggak perlu repot-repot”

“Bukan repot,” potongnya dengan cepat, senyum kecil menghiasi bibirnya.

“Aku cuma nggak mau lihat kamu jatuh sakit. Lagipula makanan ini nggak terlalu banyak, jadi jangan khawatir.”

Mau tidak mau, aku tersenyum juga.

“Makasih Arga. Kamu terlalu baik.”

“Bukan soal baik atau nggak Nayla,” katanya sambil menarik kursi di seberangku dan duduk.

“Aku cuma... ya, aku peduli sama kamu.”

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kata-katanya meski sederhana, mengandung makna yang dalam.

Aku menatapnya sejenak dan aku bisa melihat ketulusan dalam matanya. Ini bukan sekadar perhatian biasa. Ada sesuatu yang lebih di balik tatapannya, sesuatu yang mungkin dia sendiri belum berani ungkapkan sepenuhnya.

“Aku tahu kamu peduli,” kataku akhirnya, berusaha menyembunyikan kegugupanku.

“Tapi aku nggak mau merepotkan kamu.”

“Kalau soal kamu Nayla, aku nggak pernah merasa repot.”

Jawabannya begitu spontan begitu tulus, hingga membuatku terdiam. Tatapan kami bertemu sejenak, dan di detik itu aku tahu perasaanku terhadap Arga semakin dalam.

Mungkin awalnya aku ragu, tapi sekarang, perhatian-perhatian kecilnya yang konsisten membuatku tak bisa mengelak lagi. Aku mulai menyukainya.

Kami duduk dalam keheningan, namun keheningan itu bukan sesuatu yang canggung. Sebaliknya, ada kenyamanan di sana.

Aku merasakan kehangatan yang berbeda, seolah-olah meski kami tidak saling berbicara, kami tetap saling memahami.

Setelah beberapa saat, Arga berdiri.

“Aku harus ke kelas dulu. Jangan lupa makan ya. Aku nggak mau lihat kamu pingsan di ruang OSIS.”

Aku tertawa kecil.

“Iya, iya. Terima kasih lagi Arga.”

Dia hanya tersenyum sebelum berbalik dan melangkah keluar dari ruangan. Saat pintu tertutup, aku menyandarkan tubuhku di kursi dan menghela napas panjang.

Ada perasaan hangat yang menjalar di hatiku, tapi juga sedikit kebingungan. Bagaimana aku bisa sedekat ini dengan Arga? Dan yang lebih penting, apa arti semua ini baginya?

---

Waktu terus berjalan, dan hubungan kami semakin hari semakin dekat. Tak hanya di OSIS, tetapi di setiap kesempatan yang ada, Arga selalu memastikan aku baik-baik saja.

Bahkan, saat kami berada di kantin bersama teman-teman, dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk menanyakan apa aku sudah makan atau menawarkan tumpangan pulang.

Perhatiannya semakin jelas, tetapi aku masih belum berani memastikan apakah ini hanya sikapnya sebagai ketua OSIS yang peduli pada anggotanya atau ada perasaan lebih yang dia sembunyikan.

Setiap kali aku mencoba mencari tahu melalui sikap atau ucapannya, Arga selalu berhasil membuatku terjebak dalam keraguan.

Suatu sore, ketika kegiatan OSIS sudah selesai, Arga tiba-tiba mendekatiku saat aku sedang membereskan meja di ruang OSIS.

“Nayla, kamu ada waktu sebentar?” tanyanya pelan.

Aku menatapnya sedikit bingung.

“Ada, kenapa?”

Dia tersenyum tipis kemudian berkata.

“Aku mau ngajak kamu jalan sebentar. Cuma ke taman sekolah, nggak jauh kok. Ada yang mau aku omongin.”

Ajakan itu membuat jantungku berdebar kencang. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang terasa berbeda, namun kali ini lebih serius, lebih... dalam.

Aku hanya bisa mengangguk, dan tanpa banyak bicara lagi kami keluar dari ruang OSIS dan berjalan menuju taman sekolah.

Sore itu, matahari mulai terbenam menciptakan suasana yang hangat namun teduh. Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat daun-daun di pepohonan bergoyang lembut.

Kami berjalan berdampingan, tetapi tak satu pun dari kami memulai percakapan. Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang ingin Arga katakan, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.

Setelah beberapa saat, kami tiba di taman dan duduk di bangku yang biasanya kami datangi jika butuh istirahat sejenak. Suasana di sekitarnya begitu damai, hanya terdengar suara burung-burung yang berkicau.

“Nayla,” akhirnya Arga memecah keheningan. Suaranya tenang, tapi ada getaran emosi di sana.

Aku menoleh, melihatnya menatap lurus ke depan. Wajahnya serius tapi juga lembut.

“Iya?”

Dia menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara lagi.

“Akhir-akhir ini, aku merasa... ada sesuatu yang berubah di antara kita.”

Perkataannya langsung membuatku terdiam. Jantungku berdegup lebih cepat. Ini dia. Ini momen yang selama ini kutunggu, tetapi juga aku takuti.

“Aku nggak tahu gimana cara ngungkapinnya,” lanjutnya sambil memandangku.

“Tapi aku rasa, kita bukan cuma sekadar ketua dan sekretaris OSIS lagi.”

Aku menelan ludah, mencoba memahami kata-katanya.

“Maksud kamu?”

Arga tersenyum kecil, namun senyuman itu dipenuhi dengan keraguan.

“Aku merasa... aku mulai suka sama kamu Nayla. Dan perasaan ini semakin jelas setiap kali kita bertemu.”

Kata-kata itu membuat dunia seolah berhenti berputar. Perasaan yang selama ini coba kuabaikan tiba-tiba menyeruak ke permukaan.

Semua perhatian yang Arga berikan, senyuman, dan tatapannya, semua kini terasa begitu jelas. Dia memang menyukaiku, seperti aku mulai menyukainya.

Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Sebuah perasaan bahagia mulai merayap di hatiku, tapi juga disertai dengan rasa gugup yang luar biasa.

“Arga...” bisikku pelan, berusaha mengendalikan emosi yang meluap-luap di dalam dadaku.

“Aku... aku juga merasakan hal yang sama.”

Arga menatapku, matanya penuh harap.

“Kamu serius?”

Aku mengangguk perlahan, merasa pipiku mulai memerah.

“Iya. Selama ini aku juga bingung dengan perasaanku, tapi... aku nggak bisa menyangkal lagi. Aku suka sama kamu Arga.”

Senyum di wajahnya melebar, dan aku bisa melihat kebahagiaan yang begitu nyata terpancar dari matanya.

Dia tak berkata apa-apa lagi, dia hanya memandangku dengan tatapan yang begitu dalam, seolah-olah perasaan kami sudah saling terhubung tanpa perlu diungkapkan lagi dengan kata-kata.

Hari itu, di bawah langit senja yang mulai memerah, aku dan Arga akhirnya menyadari bahwa kami bukan lagi sekadar teman di OSIS. Kami lebih dari itu. Perasaan yang selama ini tersimpan akhirnya terbuka, dan tak ada lagi keraguan di antara kami.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Memohon Kepada Bara

    Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pernikahan Dipercepat

    Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Arga Datang

    “Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pertemuan di Parkiran

    Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Malam Panjang

    Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Apakah Ada Pilihan Lain?

    Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status