Share

Chapter 6

Penulis: APStory
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 14:06:13

Mireya baru saja membeli sebungkus roti dan air mineral di minimarket. Usia kehamilan pada trimester pertama membuatnya lebih sering merasa lapar.

Di sisi lain, dia juga harus memikirkan bagaimana agar sisa uangnya bisa mencukupi hingga setidaknya satu bulan ke depan.

Mau tak mau, dia harus hidup hemat dan memangkas segala pengeluaran yang tidak perlu.

“Terima kasih,” ucapnya kepada kasir usai melakukan pembayaran.

Saat ingin meninggalkan minimarket, tiba-tiba hujan turun dengan lumayan deras. Terpaksa Mireya harus berteduh karena tidak membawa mantel ataupun payung.

Mireya duduk di atas kursi yang tersedia di teras minimarket. Dia membuka bungkus roti dan mulai memakannya sebagian, sementara setengah sisanya akan dia simpan untuk dimakan saat nanti lapar lagi.

Detik selanjutnya, seorang wanita tua baru saja keluar dari minimarket dan ikut berteduh di sebelah Mireya.

Di samping wanita itu, ada sosok pemuda bertubuh tinggi kurus yang terlihat mencurigakan. Akan tetapi, wanita tua itu tidak menyadarinya.

Pemuda itu celingak-celinguk seperti sedang membaca situasi. Dia melihat resleting tas wanita tua itu terbuka dan merasa mempunyai peluang untuk mengambil sesuatu yang berharga.

Mireya mencoba tidak peduli dengan urusan orang lain. Namun, bersikap abai ketika melihat tindak kejahatan di depan matanya justru membuatnya sangat tidak nyaman, sehingga dia memutuskan bangkit dari kursi dan mendekati wanita itu.

“Nenek ...?”

Suara Mireya berhasil menggagalkan niat pemuda yang hampir ingin memasukkan tangan ke dalam tas yang sedikit terbuka itu.

“Kamu memanggilku?” Wanita bernama Sania tersebut menunjuk diri sendiri, seolah ragu bahwa Mireya sedang mengajaknya bicara.

“Ya, benar.” Mireya tersenyum canggung, lalu menyuruh Sania duduk di kursi dan membuatnya semakin bingung.

Setelah Sania duduk, Mireya menyentuh lengannya dengan lembut seraya bertanya, “Nenek, apa kamu kenal orang itu?”

Mendengar suara Mireya yang begitu pelan, diselimuti raut wajah seperti menyimpan sesuatu, Sania mengerti bahwa pembicaraan mereka akan menjadi rahasia.

“Aku tidak mengenalnya,” jawab Sania usai melirik sejenak pemuda yang masih berdiri di dekat mereka.

“Huh, ternyata benar ....” Mireya mendengkus, merasa lega telah menyelamatkan seseorang yang barangnya nyaris dicuri.

Tak berapa lama, pemuda itu pergi menerobos hujan dan membiarkan tubuhnya basah kuyup. Mungkin dia sadar aksinya hampir ketahuan oleh Mireya. Jadi, lebih baik segera pergi daripada nanti diteriaki maling.

“Gadis Kecil, sebenarnya ada apa?” Sania masih penasaran terkait pertanyaan ambigu Mireya.

“Tadi aku melihat orang itu ingin mengambil sesuatu dari tas Nenek.” Mireya bicara yang sejujurnya. “Apa resletingnya terbuka? Atau mungkin ada barang yang hilang?”

“Benarkah?” Sania mengerutkan kening. Dia meletakkan tas di atas meja, lalu memeriksa isinya dengan cepat, sedangkan Mireya diam saja mengamati ekspresi Sania yang sedikit panik.

Setelah diperiksa, ternyata semuanya masih utuh. Tak ada satu pun yang berkurang di sana.

Sania mendongak seraya berkata, “Aman. Tidak ada yang hilang.”

“Syukurlah ....”

“Terima kasih, Gadis Kecil. Kalau tidak ada kamu, dompet dan ponsel milikku pasti sudah hilang dicuri.”

Mireya mengangguk sopan, menanggapi dengan santai seakan itu bukan masalah besar baginya.

Dia juga menawarkan roti dan air mineral, tetapi Sania menolaknya dengan pilihan kata yang sangat halus—agar tidak menyinggung perasaan Mireya.

Saat melihat Sania mengusap lengannya sendiri, Mireya berpikir kalau wanita itu sedang kedinginan dan berinisiatif mengeluarkan jaket yang dia simpan di dalam koper.

“Pakai ini, supaya Nenek tidak kedinginan.”

Hati Sania terasa hangat ketika Mireya menyampirkan jaket itu di bahunya. “Tapi bagaimana dengan kamu? Pasti kamu juga dingin.”

“Tidak perlu khawatir! Tubuhku bisa menahannya lebih kuat dari Nenek.”

Mendengar itu, sudut bibir Sania mencetak senyuman tipis. “Zaman sekarang susah sekali menemukan orang baik,” bebernya, lalu kembali bicara, “Terima kasih karena kamu sudah menjadi salah satunya.”

Mireya menjawab, “Jangan terlalu memuji, Nek. Aku hanya kebetulan sedang melihatnya. Bahkan jika itu orang lain, mereka pasti juga akan melakukan hal yang sama.”

“Apa pun itu, aku sangat berterima kasih padamu.”

Mireya mengangguk. “Ya, sama-sama,” pungkasnya.

Lalu, obrolan berakhir sampai di situ. Hanya suara samar rintik hujan yang mengisi heningnya suasana.

Mireya membiarkan Sania menempati kursi yang tadi dia duduki, sementara dirinya hanya berdiam diri sambil menatap air hujan yang tak kunjung reda.

Sania memperhatikan Mireya diam-diam. Perempuan itu tadi terlihat hangat dan penuh cinta ketika bicara dengannya, tetapi setelah memisahkan diri, sudut matanya tampak memendarkan kesedihan yang mendalam.

Mireya memeluk dan mengusap lengannya sendiri, sambil sesekali mengembuskan napas panjang. Dia seperti ingin bercerita kepada dunia, tetapi tidak tahu bagian mana yang harus diungkapkan terlebih dahulu.

Dilihat dari sudut mana pun, hidupnya selalu terasa getir dengan luka di hati yang hampir membusuk.

“Hey ... apa kamu baik-baik saja?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 115

    Setelah bernegosiasi dengan Mervyn, akhirnya Mireya diizinkan untuk tetap datang ke acara perkenalan istri CEO di perusahaan. Mireya pun telah berdandan dan mengenakan gaun yang tidak terlalu formal, tetapi tetap terlihat elegan.“Marcell, Michelle, kalian tunggu di rumah dulu, ya? Mami akan pergi ke perusahaan Papi untuk sebuah acara.”“Mami, apa aku tidak bisa ikut? Aku ingin melihat bagaimana perusahaan Papi di sini,” pinta Michelle dengan wajah memelas. “Apakah sama dengan perusahaan Jordan di kota B?”“Iya, Mami. Aku juga bosan di rumah terus. Boleh kami ikut, ‘kan?” Marcell menimpali perkataan adiknya.Mireya menghela napas seraya menyunggingkan senyuman tipis. “Anak-anak, sekarang Mami sedang ada urusan. Jadi, maaf, belum bisa mengajak kalian. Kalau Papi sudah datang, Mami akan bicara agar kalian sesekali diajak ke perusahaan Papi. Oke?” ujarnya.Kedua anak itu sempat murung dan kecewa. Namun, Mireya terus memberi mereka pengertian, sehingga keduanya bisa belajar memahami keada

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 114

    Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 113

    Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 112

    Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 111

    Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a

  • Pahitnya Cinta: Mengandung Benih CEO Dingin   Chapter 110

    Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status