Mari kita lanjut lagi malam kalo rameee... wkwkwkwk!
Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, mengenai wajah Alisha yang masih terlelap. Perlahan, kelopak matanya mulai bergerak, lalu terbuka setengah saat cahaya hangat itu menyapa.“Sudah pagi, rupanya…” gumamnya pelan, suaranya serak sisa tidur.Ia berniat mengubah posisi tidurnya, namun baru menyadari ada sesuatu yang berat melingkari pinggangnya. Alisha terdiam sejenak, matanya berkedip-kedip, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih setengah kabur.Perlahan, ia merasakan kehangatan di punggungnya — tubuh seseorang yang begitu dekat, hingga napasnya terdengar jelas di belakang telinganya, teratur dan dalam. Jantung Alisha seketika berdetak lebih kencang. Ia tak perlu menebak lama untuk menyadari siapa pemilik tangan yang kini memeluknya erat dari belakang.‘Astaga… Zayden?!’ teriaknya dalam hati.Kesadarannya langsung utuh seketika. Alisha berbalik untuk memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi!Dan …!Ya Tuhan!? Wajah Zayden terlihat sangat
Jelas saja dia panik. klien yang akan ditemui ini adalah klien besar, dan sudah bekerja sama dalam waktu yang lama. Itu yang diketahui Alisha, tetapi secara detail dia tidak terlalu paham, karena klien ini dipegang oleh salah satu rekannya–Farhan. Zayden benar-benar memastikan kunjungannya kali ini bisa bertemu dengan pimpinannya langsung. Kalau kejadiannya begini, bagaimana bisa mereka akan tiba tepat waktu?! “Sudah tenang saja, Kak Zayden pasti bisa menanganinya!” Yumi berkata dengan menenangkan Alisha. “Menangani apanya sih?! Udah, ah! Aku mau mikir dulu apa yang harus aku lakukan! Mudah-mudahan bajuku tidak terlalu bau untuk kupakai dua kali!” Setelah mengatakan hal itu, Alisha memutuskan sambungan telepon mereka. Dia kembali menatap layar ponselnya berharap apa yang dikatakan Yumi hanya sebuah lelucon saja! Akan tetapi, waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 10.40, kurang 20 menit jam 11 siang! “Ya Tuhan! Bisa gawat ini!” serunya. Dia kemudian berlari ke ruang tidur, tet
Alisha masih berdiri di tempat, membiarkan sunyi yang tersisa di kamar itu membungkusnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja menyelesaikan lari jarak jauh. Tangannya masih menempel di kening, tepat di tempat bibir Zayden tadi menyentuh kulitnya.“Apa … barusan?” gumamnya lagi dengan pelan dan mencoba untuk menerka-nerka.Ia menunduk, mencoba mencari alasan logis. Hanya saja alasan logis untuk saat ini sepertinya tidak ada yang cocok kecuali satu hal …. Hanya saja apa itu mungkin? Alisha memejamkan mata, menggeleng cepat, berusaha mengusir perasaan aneh yang baru saja muncul.“Ah, hari ini aku artinya bebas tugas, kan? Tapi … apa alasan yang akan aku berikan pada mereka kalau aku tidak ikut ke sana?” Alisha baru terpikir akan hal ini. Artinya dia harus menciptakan kebohongan lagi.Dia mengirim pesan pada Zayden:Alisha: “Nanti kalau mereka bertanya aku tidak ikut bagaimana?”Zayden: “Aku akan mengatakan kalau kamu tiba-tiba tidak enak badan.”Alisha: “Jangan! Itu sama saja de
Sementara itu, di tempat lain. “Nyonya sepertinya suasana hati Anda sedang baik sekali hari ini.” Danti, asisten pribadi Helena Wijaya berkata padanya saat Helena menikmati makan siangnya. “Ya, tentu saja. Dari laporan terakhir tentang istrinya Zayden sepertinya dia memang wanita baik-baik, hanya nasibnya saja yang kurang beruntung sebelum ini.” Helena berkata santai. Danti tersenyum ringan. “Betul, Nyonya.” “Jadi, menurut Nyonya apa kita perlu selidiki lebih jauh terkait Nona Alisha ini?” tanya Danti memastikan. “Tetap lanjutkan, karena aku ingin membuktikan kalau pernikahan mereka itu ada sesuatu di dalamnya. Mungkin Alisha terlihat sederhana, hanya saja … sikap sederhananya ini perlu digali lagi. Walaupun aku menyukainya, tetap kita perlu waspada.” Helena berkata dengan nada datar. “Baik, Nyonya.” Danti kembali menjawab dengan hormat. “Kalau begitu, mereka tetap perlu bertugas untuk mengawasi mereka.” “Ya, katakan pada mereka bagaimana perkembangan hari ini. Aku sudah tidak s
Setelah mengirimkan pesan itu, Alisha langsung melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Beberapa detik dia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia lakukan.Tapi di detik berikutnya — panik itu datang menyerbu.“Ya Tuhan! Apa yang barusan aku lakuin?!” serunya, buru-buru meraih kembali ponsel yang tadi dia lempar.Jari-jarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan. Dan … terlambat! Pesan itu… sudah dibaca.Tubuhnya langsung lemas. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang hitam. “Astaga… bodoh … bodoh … bodoh!” rutuknya sambil menepuk kening sendiri.Kenapa dia bisa seimpulsif itu? Kenapa tanpa pikir panjang, langsung kirim saja? Padahal, dia tahu, hal-hal seperti ini jelas tidak bisa sembarangan! Tidak bisa hanya mengikuti emosi sesaat saja! Kalau begini bukankah malah bikin runyam dan mempermalukan diri sendiri?!"Ah… gimana kalau dia marah? Atau… aduh, jangan-jangan dia malah–" pikiran Alisha berputar ke mana-mana. Kepalanya terasa
Alisha hanya bisa menahan napas, menyadari betapa pria itu bisa membuat emosinya naik turun dalam hitungan detik. Tidak bisakan pria ini membuat hubungan mereka jauh lebih jelas?“Bukan begitu, tapi maksudku–”“Aku tidak bisa melarang orang untuk menyukaiku, lagipula bukankah itu menyenangkan kalau disukai oleh istri sendiri?” Zayden hanya menanggapi datar akan hal itu.“Ya kamu memang tidak punya hak untuk larang orang lain, cuma maksudku, kalau kamu tidak menyukaiku, kamu bisa untuk bersikap biasa saja saat orang lain tidak ada di sekitar kita karena hal ini bisa membuatku–”“Makin menyukaiku?” potong Zayden.Alisha diam.“Kamu menyimpulkan dari mana kalau aku tidak menyukaimu?” Kalimat yang dilontarkan Zayden barusan terdengar datar, tenang, dan tanpa emosi.Hanya saja cukup membuat Alisha mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba untuk menerjemahkan maksud dari pria itu.“Maksudmu?” Zayden menghela napas dalam sebelum akhirnya bicara, “Dari pesanmu itu, kamu hanya menyatakan sesu
Alisha hanya bisa terpaku. Lidahnya kelu, wajahnya memanas, dan degup jantungnya seperti berkejaran tanpa aturan.Sementara Zayden… hanya tertawa kecil dalam hati melihat ekspresi terkejut bercampur panik yang ditunjukkan wanita di hadapannya. Alisha memang sangat tampak menggemaskan.Melihat hal itu, akhirnya Zayden kembali berkata, “Jadi, jangan pernah menyimpulkan sendiri seolah-olah kamu sudah tahu isi hati orang lain. Cenayang dan jin saja tidak tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” Kemudian Tangan Zayden membelai pelan pipi Alisha yang makin merona.“Itu ….” Suara Alisha lolos juga setelah sekian lama tertahan. “Apa kamu tidak sedang mabuk atau mengigau?”Zayden lalu menarik napas dan mencubit pelan kedua pipinya. “Aku ingin mencubitmu keras-keras, tapi mana mungkin aku menyakiti istriku, kan? Menurutmu ini mimpi atau ….” Zayden mendekatkan wajah mereka, hingga Alisha benar-benar menahan napasnya sendiri.Lalu detik berikutnya dia mendorong tubuh Zayden untuk menjauhinya. “K
Langkah keduanya terdengar pelan di koridor hotel yang sepi. Hanya denting samar pendingin ruangan dan suara langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang lorong. Zayden tetap menggenggam tangan Alisha sejak tadi, tanpa banyak bicara. Genggamannya kokoh, hangat, dan Alisha tidak menolak hal itu.Dia hanya ingin menikmati waktu kebersamaan ini saja.Sesekali, Alisha melirik ke arah pria di sampingnya. Wajah Zayden seperti biasa — datar, nyaris tanpa ekspresi. Tapi justru itu yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.“Melihat terus ke arahku apa kamu mau membuat lubang di wajahku, hehm?” Zayden melirik ke arah Alisha.“Apaan sih!” Alisha berkata dengan senyum malu-malunya, lalu melihat tangannya yang masih dalam genggamam Zayden. Dia menyukai kebersamaan seperti ini. Ini benar-benar pengalaman pertama untuk Alisha!Namun, begitu lift berjalan turun ke lobi, Alisha buru-buru menarik tangannya dari genggaman Zayden.Zayden menoleh, alisnya sedikit berkerut. “Kenapa?”Alisha merapika
Alisha tidak pernah membayangkan kalau dia akan mendapatkan adegan manis dalam hidupnya seperti saat ini, bahkan bermimpi pun rasanya dia tidak berani. Banyak hal yang rasanya sangat tidak mungkin baginya, tetapi nyatanya dia ada bersama Zayden saat ini.“Ahhhhh … kenapa aku senang sekali?” Alisha berkata dengan senyum lebarnya, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya itu, dengan cara menggerak-gerakkan tubuhnya dan memegangi lengan Zayden yang melingkar di bawah dagunya.“Dasar berlebihan,” ucap Zayden santai, lalu melepaskan tangannya dan memutar tubuh mungil itu hingga menghadap ke arahnya.Mata bulat Alisha berkedip-kedip sesaat sebelum akhirnya benar-benar melihat ke dalam mata Zayden yang cukup tenang.“Ke-na-pa liatnya begitu?” tanya Alisha.Zayden hanya menggeleng pelan lalu mendesah berat. “Apa kamu yakin bisa bertahan untuk tidak meninggalkanku?” Pertanyaan tiba-tiba ini membuat Alisha terkejut.‘Aduh! Kenapa sih dia merusak suasana bagus gini dengan berta
Aldian merasa sangat terpojok saat ini, apalagi pandangan kedua rekannya ini seolah menekannya untuk berkata dengan jujur. Dia menimbang-nimbang sesuatu, apa harus dia berbicara atau tetap diam saja.“Hei, kamu mau ceritain sama kita atau … nggak? Atau kamu sudah tahu hubungan gelap mereka?” Tika kembali menekan Aldi.“Ih, apaan sih kalian, udah lagian mau mereka ada hubungan gelap atau nggak kan gak ada efeknya di kita.” Aldian berkata dengan suara beratnya.“Nggak bisa gitu dong! Alisha itu teman kita, kita tidak boleh membiarkan dia merusak hubungan orang lain, dan jadi wanita simpanan!” sahut Tika lagi.“Lagian sepertinya kamu tahu sesuatu deh, Aldi!” Kali ini Farhan menatap tajam ke arah Aldian.“Udah kayak perempuan aja, kamu Farhan, mau-maunya bergosip.” Aldian berkata santai.“Ah, ternyata memang benar ya!” Tika menarik kesimpulan sendiri dari apa yang dia perhatikan dari Aldian.“Kalau begitu aku harus menghubungi Alisha segera! Dia harus diperingatkan! Dia tidak boleh menjad
Langkah keduanya terdengar pelan di koridor hotel yang sepi. Hanya denting samar pendingin ruangan dan suara langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang lorong. Zayden tetap menggenggam tangan Alisha sejak tadi, tanpa banyak bicara. Genggamannya kokoh, hangat, dan Alisha tidak menolak hal itu.Dia hanya ingin menikmati waktu kebersamaan ini saja.Sesekali, Alisha melirik ke arah pria di sampingnya. Wajah Zayden seperti biasa — datar, nyaris tanpa ekspresi. Tapi justru itu yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.“Melihat terus ke arahku apa kamu mau membuat lubang di wajahku, hehm?” Zayden melirik ke arah Alisha.“Apaan sih!” Alisha berkata dengan senyum malu-malunya, lalu melihat tangannya yang masih dalam genggamam Zayden. Dia menyukai kebersamaan seperti ini. Ini benar-benar pengalaman pertama untuk Alisha!Namun, begitu lift berjalan turun ke lobi, Alisha buru-buru menarik tangannya dari genggaman Zayden.Zayden menoleh, alisnya sedikit berkerut. “Kenapa?”Alisha merapika
Alisha hanya bisa terpaku. Lidahnya kelu, wajahnya memanas, dan degup jantungnya seperti berkejaran tanpa aturan.Sementara Zayden… hanya tertawa kecil dalam hati melihat ekspresi terkejut bercampur panik yang ditunjukkan wanita di hadapannya. Alisha memang sangat tampak menggemaskan.Melihat hal itu, akhirnya Zayden kembali berkata, “Jadi, jangan pernah menyimpulkan sendiri seolah-olah kamu sudah tahu isi hati orang lain. Cenayang dan jin saja tidak tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” Kemudian Tangan Zayden membelai pelan pipi Alisha yang makin merona.“Itu ….” Suara Alisha lolos juga setelah sekian lama tertahan. “Apa kamu tidak sedang mabuk atau mengigau?”Zayden lalu menarik napas dan mencubit pelan kedua pipinya. “Aku ingin mencubitmu keras-keras, tapi mana mungkin aku menyakiti istriku, kan? Menurutmu ini mimpi atau ….” Zayden mendekatkan wajah mereka, hingga Alisha benar-benar menahan napasnya sendiri.Lalu detik berikutnya dia mendorong tubuh Zayden untuk menjauhinya. “K
Alisha hanya bisa menahan napas, menyadari betapa pria itu bisa membuat emosinya naik turun dalam hitungan detik. Tidak bisakan pria ini membuat hubungan mereka jauh lebih jelas?“Bukan begitu, tapi maksudku–”“Aku tidak bisa melarang orang untuk menyukaiku, lagipula bukankah itu menyenangkan kalau disukai oleh istri sendiri?” Zayden hanya menanggapi datar akan hal itu.“Ya kamu memang tidak punya hak untuk larang orang lain, cuma maksudku, kalau kamu tidak menyukaiku, kamu bisa untuk bersikap biasa saja saat orang lain tidak ada di sekitar kita karena hal ini bisa membuatku–”“Makin menyukaiku?” potong Zayden.Alisha diam.“Kamu menyimpulkan dari mana kalau aku tidak menyukaimu?” Kalimat yang dilontarkan Zayden barusan terdengar datar, tenang, dan tanpa emosi.Hanya saja cukup membuat Alisha mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba untuk menerjemahkan maksud dari pria itu.“Maksudmu?” Zayden menghela napas dalam sebelum akhirnya bicara, “Dari pesanmu itu, kamu hanya menyatakan sesu
Setelah mengirimkan pesan itu, Alisha langsung melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Beberapa detik dia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia lakukan.Tapi di detik berikutnya — panik itu datang menyerbu.“Ya Tuhan! Apa yang barusan aku lakuin?!” serunya, buru-buru meraih kembali ponsel yang tadi dia lempar.Jari-jarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan. Dan … terlambat! Pesan itu… sudah dibaca.Tubuhnya langsung lemas. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang hitam. “Astaga… bodoh … bodoh … bodoh!” rutuknya sambil menepuk kening sendiri.Kenapa dia bisa seimpulsif itu? Kenapa tanpa pikir panjang, langsung kirim saja? Padahal, dia tahu, hal-hal seperti ini jelas tidak bisa sembarangan! Tidak bisa hanya mengikuti emosi sesaat saja! Kalau begini bukankah malah bikin runyam dan mempermalukan diri sendiri?!"Ah… gimana kalau dia marah? Atau… aduh, jangan-jangan dia malah–" pikiran Alisha berputar ke mana-mana. Kepalanya terasa
Sementara itu, di tempat lain. “Nyonya sepertinya suasana hati Anda sedang baik sekali hari ini.” Danti, asisten pribadi Helena Wijaya berkata padanya saat Helena menikmati makan siangnya. “Ya, tentu saja. Dari laporan terakhir tentang istrinya Zayden sepertinya dia memang wanita baik-baik, hanya nasibnya saja yang kurang beruntung sebelum ini.” Helena berkata santai. Danti tersenyum ringan. “Betul, Nyonya.” “Jadi, menurut Nyonya apa kita perlu selidiki lebih jauh terkait Nona Alisha ini?” tanya Danti memastikan. “Tetap lanjutkan, karena aku ingin membuktikan kalau pernikahan mereka itu ada sesuatu di dalamnya. Mungkin Alisha terlihat sederhana, hanya saja … sikap sederhananya ini perlu digali lagi. Walaupun aku menyukainya, tetap kita perlu waspada.” Helena berkata dengan nada datar. “Baik, Nyonya.” Danti kembali menjawab dengan hormat. “Kalau begitu, mereka tetap perlu bertugas untuk mengawasi mereka.” “Ya, katakan pada mereka bagaimana perkembangan hari ini. Aku sudah tidak s
Alisha masih berdiri di tempat, membiarkan sunyi yang tersisa di kamar itu membungkusnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja menyelesaikan lari jarak jauh. Tangannya masih menempel di kening, tepat di tempat bibir Zayden tadi menyentuh kulitnya.“Apa … barusan?” gumamnya lagi dengan pelan dan mencoba untuk menerka-nerka.Ia menunduk, mencoba mencari alasan logis. Hanya saja alasan logis untuk saat ini sepertinya tidak ada yang cocok kecuali satu hal …. Hanya saja apa itu mungkin? Alisha memejamkan mata, menggeleng cepat, berusaha mengusir perasaan aneh yang baru saja muncul.“Ah, hari ini aku artinya bebas tugas, kan? Tapi … apa alasan yang akan aku berikan pada mereka kalau aku tidak ikut ke sana?” Alisha baru terpikir akan hal ini. Artinya dia harus menciptakan kebohongan lagi.Dia mengirim pesan pada Zayden:Alisha: “Nanti kalau mereka bertanya aku tidak ikut bagaimana?”Zayden: “Aku akan mengatakan kalau kamu tiba-tiba tidak enak badan.”Alisha: “Jangan! Itu sama saja de
Jelas saja dia panik. klien yang akan ditemui ini adalah klien besar, dan sudah bekerja sama dalam waktu yang lama. Itu yang diketahui Alisha, tetapi secara detail dia tidak terlalu paham, karena klien ini dipegang oleh salah satu rekannya–Farhan. Zayden benar-benar memastikan kunjungannya kali ini bisa bertemu dengan pimpinannya langsung. Kalau kejadiannya begini, bagaimana bisa mereka akan tiba tepat waktu?! “Sudah tenang saja, Kak Zayden pasti bisa menanganinya!” Yumi berkata dengan menenangkan Alisha. “Menangani apanya sih?! Udah, ah! Aku mau mikir dulu apa yang harus aku lakukan! Mudah-mudahan bajuku tidak terlalu bau untuk kupakai dua kali!” Setelah mengatakan hal itu, Alisha memutuskan sambungan telepon mereka. Dia kembali menatap layar ponselnya berharap apa yang dikatakan Yumi hanya sebuah lelucon saja! Akan tetapi, waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 10.40, kurang 20 menit jam 11 siang! “Ya Tuhan! Bisa gawat ini!” serunya. Dia kemudian berlari ke ruang tidur, tet