Selamat siang! Ah ... updatenya siang ternyata! Terima kasih untuk yang sudah menunggu dengan penuh kesabaran! Sayang kalian banyak-banyak!
Jelas saja dia panik. klien yang akan ditemui ini adalah klien besar, dan sudah bekerja sama dalam waktu yang lama. Itu yang diketahui Alisha, tetapi secara detail dia tidak terlalu paham, karena klien ini dipegang oleh salah satu rekannya–Farhan. Zayden benar-benar memastikan kunjungannya kali ini bisa bertemu dengan pimpinannya langsung. Kalau kejadiannya begini, bagaimana bisa mereka akan tiba tepat waktu?! “Sudah tenang saja, Kak Zayden pasti bisa menanganinya!” Yumi berkata dengan menenangkan Alisha. “Menangani apanya sih?! Udah, ah! Aku mau mikir dulu apa yang harus aku lakukan! Mudah-mudahan bajuku tidak terlalu bau untuk kupakai dua kali!” Setelah mengatakan hal itu, Alisha memutuskan sambungan telepon mereka. Dia kembali menatap layar ponselnya berharap apa yang dikatakan Yumi hanya sebuah lelucon saja! Akan tetapi, waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 10.40, kurang 20 menit jam 11 siang! “Ya Tuhan! Bisa gawat ini!” serunya. Dia kemudian berlari ke ruang tidur, tet
Alisha masih berdiri di tempat, membiarkan sunyi yang tersisa di kamar itu membungkusnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja menyelesaikan lari jarak jauh. Tangannya masih menempel di kening, tepat di tempat bibir Zayden tadi menyentuh kulitnya.“Apa … barusan?” gumamnya lagi dengan pelan dan mencoba untuk menerka-nerka.Ia menunduk, mencoba mencari alasan logis. Hanya saja alasan logis untuk saat ini sepertinya tidak ada yang cocok kecuali satu hal …. Hanya saja apa itu mungkin? Alisha memejamkan mata, menggeleng cepat, berusaha mengusir perasaan aneh yang baru saja muncul.“Ah, hari ini aku artinya bebas tugas, kan? Tapi … apa alasan yang akan aku berikan pada mereka kalau aku tidak ikut ke sana?” Alisha baru terpikir akan hal ini. Artinya dia harus menciptakan kebohongan lagi.Dia mengirim pesan pada Zayden:Alisha: “Nanti kalau mereka bertanya aku tidak ikut bagaimana?”Zayden: “Aku akan mengatakan kalau kamu tiba-tiba tidak enak badan.”Alisha: “Jangan! Itu sama saja de
Sementara itu, di tempat lain. “Nyonya sepertinya suasana hati Anda sedang baik sekali hari ini.” Danti, asisten pribadi Helena Wijaya berkata padanya saat Helena menikmati makan siangnya. “Ya, tentu saja. Dari laporan terakhir tentang istrinya Zayden sepertinya dia memang wanita baik-baik, hanya nasibnya saja yang kurang beruntung sebelum ini.” Helena berkata santai. Danti tersenyum ringan. “Betul, Nyonya.” “Jadi, menurut Nyonya apa kita perlu selidiki lebih jauh terkait Nona Alisha ini?” tanya Danti memastikan. “Tetap lanjutkan, karena aku ingin membuktikan kalau pernikahan mereka itu ada sesuatu di dalamnya. Mungkin Alisha terlihat sederhana, hanya saja … sikap sederhananya ini perlu digali lagi. Walaupun aku menyukainya, tetap kita perlu waspada.” Helena berkata dengan nada datar. “Baik, Nyonya.” Danti kembali menjawab dengan hormat. “Kalau begitu, mereka tetap perlu bertugas untuk mengawasi mereka.” “Ya, katakan pada mereka bagaimana perkembangan hari ini. Aku sudah tidak s
Setelah mengirimkan pesan itu, Alisha langsung melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Beberapa detik dia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia lakukan.Tapi di detik berikutnya — panik itu datang menyerbu.“Ya Tuhan! Apa yang barusan aku lakuin?!” serunya, buru-buru meraih kembali ponsel yang tadi dia lempar.Jari-jarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan. Dan … terlambat! Pesan itu… sudah dibaca.Tubuhnya langsung lemas. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang hitam. “Astaga… bodoh … bodoh … bodoh!” rutuknya sambil menepuk kening sendiri.Kenapa dia bisa seimpulsif itu? Kenapa tanpa pikir panjang, langsung kirim saja? Padahal, dia tahu, hal-hal seperti ini jelas tidak bisa sembarangan! Tidak bisa hanya mengikuti emosi sesaat saja! Kalau begini bukankah malah bikin runyam dan mempermalukan diri sendiri?!"Ah… gimana kalau dia marah? Atau… aduh, jangan-jangan dia malah–" pikiran Alisha berputar ke mana-mana. Kepalanya terasa
Alisha hanya bisa menahan napas, menyadari betapa pria itu bisa membuat emosinya naik turun dalam hitungan detik. Tidak bisakan pria ini membuat hubungan mereka jauh lebih jelas?“Bukan begitu, tapi maksudku–”“Aku tidak bisa melarang orang untuk menyukaiku, lagipula bukankah itu menyenangkan kalau disukai oleh istri sendiri?” Zayden hanya menanggapi datar akan hal itu.“Ya kamu memang tidak punya hak untuk larang orang lain, cuma maksudku, kalau kamu tidak menyukaiku, kamu bisa untuk bersikap biasa saja saat orang lain tidak ada di sekitar kita karena hal ini bisa membuatku–”“Makin menyukaiku?” potong Zayden.Alisha diam.“Kamu menyimpulkan dari mana kalau aku tidak menyukaimu?” Kalimat yang dilontarkan Zayden barusan terdengar datar, tenang, dan tanpa emosi.Hanya saja cukup membuat Alisha mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba untuk menerjemahkan maksud dari pria itu.“Maksudmu?” Zayden menghela napas dalam sebelum akhirnya bicara, “Dari pesanmu itu, kamu hanya menyatakan sesu
Alisha hanya bisa terpaku. Lidahnya kelu, wajahnya memanas, dan degup jantungnya seperti berkejaran tanpa aturan.Sementara Zayden… hanya tertawa kecil dalam hati melihat ekspresi terkejut bercampur panik yang ditunjukkan wanita di hadapannya. Alisha memang sangat tampak menggemaskan.Melihat hal itu, akhirnya Zayden kembali berkata, “Jadi, jangan pernah menyimpulkan sendiri seolah-olah kamu sudah tahu isi hati orang lain. Cenayang dan jin saja tidak tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” Kemudian Tangan Zayden membelai pelan pipi Alisha yang makin merona.“Itu ….” Suara Alisha lolos juga setelah sekian lama tertahan. “Apa kamu tidak sedang mabuk atau mengigau?”Zayden lalu menarik napas dan mencubit pelan kedua pipinya. “Aku ingin mencubitmu keras-keras, tapi mana mungkin aku menyakiti istriku, kan? Menurutmu ini mimpi atau ….” Zayden mendekatkan wajah mereka, hingga Alisha benar-benar menahan napasnya sendiri.Lalu detik berikutnya dia mendorong tubuh Zayden untuk menjauhinya. “K
“Aku hamil anakmu, tapi kamu malah sibuk berpacaran dan akan menikah dengan wanita lain!? Tega kamu!” Seruan nyaring Alisha di restoran elit ibu kota itu menarik perhatian semua orang. Alisha berdiri di tengah ruang restoran, tepat di hadapan seorang pria yang tengah makan bersama wanita lain. Air mata mengalir deras menuruni wajahnya, tampak begitu menyedihkan hingga banyak orang merasa kasihan padanya dan memandang tajam pria di depannya. “Sudah menghamili anak orang, tapi masih bermain-main dengan wanita lain. Dasar pria nggak bertanggung jawab!” “Hah … padahal tampan, tapi kenapa sikapnya seperti seorang bajingan …,” sahut tamu yang lain. Mendengar makian-makian ini, pria yang tertuding itu menatap Alisha tajam. “Nona, kita bahkan tidak saling mengenal. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil anakku?” tanyanya dingin. Kalimat sang pria membuat Alisha menangis semakin kencang. “Ya Tuhan, demi menutupi aibmu, sekarang kamu berpura-pura tidak mengenalku?! Padahal sebelumnya kamu
Alisha berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Dia bahkan tidak berani menoleh ke belakang. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya satu: jangan sampai pria itu mengejarnya! Begitu melihat taksi melintas, Alisha langsung melambaikan tangan. "Berhenti!" serunya. Usai masuk ke dalam mobil dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir, Alisha menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menghela napas panjang. "Ya Tuhan, kekonyolan macam apa ini? " gerutunya, masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Niat hati ingin membantu teman, tapi Alisha malah mempermalukan dirinya sendiri dengan salah orang!? Yang benar saja! Alisha ingat, di awal sebelum memasuki restoran, dia sudah menanyakan jelas di mana meja Alvin Wicaksana. Akan tetapi, kenapa pelayan mengarahkannya ke meja yang salah!? Di saat itu, Alisha terdiam, mencoba mengingat adegan awal dirinya tiba di restoran. “Permisi, meja Tuan Wicaksana di sebelah mana, ya?” Karena ramainya restoran, sang pela
Alisha hanya bisa terpaku. Lidahnya kelu, wajahnya memanas, dan degup jantungnya seperti berkejaran tanpa aturan.Sementara Zayden… hanya tertawa kecil dalam hati melihat ekspresi terkejut bercampur panik yang ditunjukkan wanita di hadapannya. Alisha memang sangat tampak menggemaskan.Melihat hal itu, akhirnya Zayden kembali berkata, “Jadi, jangan pernah menyimpulkan sendiri seolah-olah kamu sudah tahu isi hati orang lain. Cenayang dan jin saja tidak tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” Kemudian Tangan Zayden membelai pelan pipi Alisha yang makin merona.“Itu ….” Suara Alisha lolos juga setelah sekian lama tertahan. “Apa kamu tidak sedang mabuk atau mengigau?”Zayden lalu menarik napas dan mencubit pelan kedua pipinya. “Aku ingin mencubitmu keras-keras, tapi mana mungkin aku menyakiti istriku, kan? Menurutmu ini mimpi atau ….” Zayden mendekatkan wajah mereka, hingga Alisha benar-benar menahan napasnya sendiri.Lalu detik berikutnya dia mendorong tubuh Zayden untuk menjauhinya. “K
Alisha hanya bisa menahan napas, menyadari betapa pria itu bisa membuat emosinya naik turun dalam hitungan detik. Tidak bisakan pria ini membuat hubungan mereka jauh lebih jelas?“Bukan begitu, tapi maksudku–”“Aku tidak bisa melarang orang untuk menyukaiku, lagipula bukankah itu menyenangkan kalau disukai oleh istri sendiri?” Zayden hanya menanggapi datar akan hal itu.“Ya kamu memang tidak punya hak untuk larang orang lain, cuma maksudku, kalau kamu tidak menyukaiku, kamu bisa untuk bersikap biasa saja saat orang lain tidak ada di sekitar kita karena hal ini bisa membuatku–”“Makin menyukaiku?” potong Zayden.Alisha diam.“Kamu menyimpulkan dari mana kalau aku tidak menyukaimu?” Kalimat yang dilontarkan Zayden barusan terdengar datar, tenang, dan tanpa emosi.Hanya saja cukup membuat Alisha mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba untuk menerjemahkan maksud dari pria itu.“Maksudmu?” Zayden menghela napas dalam sebelum akhirnya bicara, “Dari pesanmu itu, kamu hanya menyatakan sesu
Setelah mengirimkan pesan itu, Alisha langsung melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Beberapa detik dia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia lakukan.Tapi di detik berikutnya — panik itu datang menyerbu.“Ya Tuhan! Apa yang barusan aku lakuin?!” serunya, buru-buru meraih kembali ponsel yang tadi dia lempar.Jari-jarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan. Dan … terlambat! Pesan itu… sudah dibaca.Tubuhnya langsung lemas. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang hitam. “Astaga… bodoh … bodoh … bodoh!” rutuknya sambil menepuk kening sendiri.Kenapa dia bisa seimpulsif itu? Kenapa tanpa pikir panjang, langsung kirim saja? Padahal, dia tahu, hal-hal seperti ini jelas tidak bisa sembarangan! Tidak bisa hanya mengikuti emosi sesaat saja! Kalau begini bukankah malah bikin runyam dan mempermalukan diri sendiri?!"Ah… gimana kalau dia marah? Atau… aduh, jangan-jangan dia malah–" pikiran Alisha berputar ke mana-mana. Kepalanya terasa
Sementara itu, di tempat lain. “Nyonya sepertinya suasana hati Anda sedang baik sekali hari ini.” Danti, asisten pribadi Helena Wijaya berkata padanya saat Helena menikmati makan siangnya. “Ya, tentu saja. Dari laporan terakhir tentang istrinya Zayden sepertinya dia memang wanita baik-baik, hanya nasibnya saja yang kurang beruntung sebelum ini.” Helena berkata santai. Danti tersenyum ringan. “Betul, Nyonya.” “Jadi, menurut Nyonya apa kita perlu selidiki lebih jauh terkait Nona Alisha ini?” tanya Danti memastikan. “Tetap lanjutkan, karena aku ingin membuktikan kalau pernikahan mereka itu ada sesuatu di dalamnya. Mungkin Alisha terlihat sederhana, hanya saja … sikap sederhananya ini perlu digali lagi. Walaupun aku menyukainya, tetap kita perlu waspada.” Helena berkata dengan nada datar. “Baik, Nyonya.” Danti kembali menjawab dengan hormat. “Kalau begitu, mereka tetap perlu bertugas untuk mengawasi mereka.” “Ya, katakan pada mereka bagaimana perkembangan hari ini. Aku sudah tidak s
Alisha masih berdiri di tempat, membiarkan sunyi yang tersisa di kamar itu membungkusnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja menyelesaikan lari jarak jauh. Tangannya masih menempel di kening, tepat di tempat bibir Zayden tadi menyentuh kulitnya.“Apa … barusan?” gumamnya lagi dengan pelan dan mencoba untuk menerka-nerka.Ia menunduk, mencoba mencari alasan logis. Hanya saja alasan logis untuk saat ini sepertinya tidak ada yang cocok kecuali satu hal …. Hanya saja apa itu mungkin? Alisha memejamkan mata, menggeleng cepat, berusaha mengusir perasaan aneh yang baru saja muncul.“Ah, hari ini aku artinya bebas tugas, kan? Tapi … apa alasan yang akan aku berikan pada mereka kalau aku tidak ikut ke sana?” Alisha baru terpikir akan hal ini. Artinya dia harus menciptakan kebohongan lagi.Dia mengirim pesan pada Zayden:Alisha: “Nanti kalau mereka bertanya aku tidak ikut bagaimana?”Zayden: “Aku akan mengatakan kalau kamu tiba-tiba tidak enak badan.”Alisha: “Jangan! Itu sama saja de
Jelas saja dia panik. klien yang akan ditemui ini adalah klien besar, dan sudah bekerja sama dalam waktu yang lama. Itu yang diketahui Alisha, tetapi secara detail dia tidak terlalu paham, karena klien ini dipegang oleh salah satu rekannya–Farhan. Zayden benar-benar memastikan kunjungannya kali ini bisa bertemu dengan pimpinannya langsung. Kalau kejadiannya begini, bagaimana bisa mereka akan tiba tepat waktu?! “Sudah tenang saja, Kak Zayden pasti bisa menanganinya!” Yumi berkata dengan menenangkan Alisha. “Menangani apanya sih?! Udah, ah! Aku mau mikir dulu apa yang harus aku lakukan! Mudah-mudahan bajuku tidak terlalu bau untuk kupakai dua kali!” Setelah mengatakan hal itu, Alisha memutuskan sambungan telepon mereka. Dia kembali menatap layar ponselnya berharap apa yang dikatakan Yumi hanya sebuah lelucon saja! Akan tetapi, waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 10.40, kurang 20 menit jam 11 siang! “Ya Tuhan! Bisa gawat ini!” serunya. Dia kemudian berlari ke ruang tidur, tet
Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, mengenai wajah Alisha yang masih terlelap. Perlahan, kelopak matanya mulai bergerak, lalu terbuka setengah saat cahaya hangat itu menyapa.“Sudah pagi, rupanya…” gumamnya pelan, suaranya serak sisa tidur.Ia berniat mengubah posisi tidurnya, namun baru menyadari ada sesuatu yang berat melingkari pinggangnya. Alisha terdiam sejenak, matanya berkedip-kedip, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih setengah kabur.Perlahan, ia merasakan kehangatan di punggungnya — tubuh seseorang yang begitu dekat, hingga napasnya terdengar jelas di belakang telinganya, teratur dan dalam. Jantung Alisha seketika berdetak lebih kencang. Ia tak perlu menebak lama untuk menyadari siapa pemilik tangan yang kini memeluknya erat dari belakang.‘Astaga… Zayden?!’ teriaknya dalam hati.Kesadarannya langsung utuh seketika. Alisha berbalik untuk memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi!Dan …!Ya Tuhan!? Wajah Zayden terlihat sangat
Setelah pergi mengantar neneknya menemui seseorang, Zayden memutuskan untuk kembali ke hotel dengan menggunakan taksi. Begitu membuka ponselnya di dalam taksi, matanya langsung membelalak. Puluhan panggilan dari Alisha memenuhi layar. Baru sekarang notifikasi itu muncul, setelah mode Do Not Disturb-nya dinonaktifkan.Dia ingin langsung menghubungi Alisha balik, tetapi panggilan Arsel membuatnya mengurungkan niatnya.“Bagaimana, Arsel?” tanya Zayden saat panggilan itu tersambung.“Tuan, sepertinya informasi yang disampaikan oleh orang itu sedikit berbeda setelah kulakukan validasi.” Arsel melaporkan hasil investigasinya pada Zayden.Hal itu membuat Zayden mengerutkan keningnya cukup dalam. “Apa kamu yakin?”“Yakin, Tuan, aku sudah memastikan sekali lagi, karena itu, aku akan kembali menelusurinya lebih dalam setelah ini.” Arsel berkata dengan suara tenang.Zayden menghela napas dalam.“Ya sudah, kalau begitu, cari dengan teliti.” Zayden lalu mematikan sambungan itu.Pikirannya mulai be
Beberapa jam sebelumnya.Setelah meninggalkan Alisha di tempat itu, Zayden menyusul Helena. Dengan perasaan yang sangat kesal dia menghentikan langkah Helena yang baru saja ingin masuk ke mobil.“Nenek tunggu!” cegatnya sambil setengah berlari.Helena menghentikan gerakannya dan memutar tubuhnya melihat ke arah Zayden.Sudah cukup lama … Zayden tidak memanggilnya seleluasa sekarang.Zayden berjalan mendekat. “Kita harus bicara.” Dia berkata dengan suara tegas, lalu melihat ke arah sopir yang sedang membukakan pintu mobil untuk wanita itu dan juga asisten pribadi Helena yang berada di dekatnya dengan tatapan datar. “Empat mata,” lanjutnya lagi.Mengerti dengan yang dimaksud Zayden, sopir dan asisten pribadi Helena itu menunggu perintah dari Nyonya besar mereka.Helena lalu melihat ke arah keduanya dan memberikan isyarat untuk meninggalkan mereka, tetapi sebelum asistennya meninggalkan Helena dia berkata pelan, “Nyonya jangan lupa, kita masih ada janji jam lima sore ini–”“Aku yang akan