Nah, kan.... kira2 Alisha tuh malu gak nih sebenernya? Btw, temen-temennya Chinta sekalian, terima kasih untuk yang sudah selalu support karya chinta ya! Untuk terus menunggu updatenya dan juga gemsnya... sayang kalian banyak2 🥰🥰
Mendengar ucapan itu, Alisha tampak terkejut. “Hah?” Zayden menatap Alisha tajam dan berkata, “Kamu bersikeras menyembunyikan pernikahan kita dari semua orang, bahkan sampai lebih bersedia mengadakan pernikahan yang intimate. Bukannya itu karena kamu malu menjadi istriku?”Alisha mengerjapkan mata. “Bukan begitu, Zayden. Bukannya sudah kubilang kalau aku hanya tidak ingin ada rumor yang bisa mengganggu karir kita masing-masing? Pun kamu tidak peduli, tapi orang lain peduli.”Zayden langsung menyipitkan matanya, dalam sekali lihat jelas Zayden tidak sependapat. “Untuk apa aku peduli apa yang orang lain pikirkan?”“Apa kamu tidak ingat bagaimana papa dan mamamu begitu senang ketika dirimu terbukti tidak menyimpang? Kamu ingin mereka mengalami kesedihan yang sama jika ke depannya hubungan kita dipermasalahkan orang lain? Semua hanya karena latar belakangku yang tidak jelas dan juga kedudukanku yang tidak setara dengan keluargamu?”Zayden terdiam sesaat. Dia merasa wanita di depannya in
Saat langkah kaki Alisha yang terhenti, sang WO yang menyadari keanehan itu langsung menyelip di antara kerumunan tamu dan memberikan isyarat, “Nona, lanjut berjalan!”Hal itu menyadarkan Alisha dari keterkejutannya dan menatap ke arah sang WO. Namun, dia gelisah dan kembali menatap ke arah Yumi.Terlihat bahwa security telah berhasil memisahkan sahabat Alisha itu dengan para tamu yang menghinanya tadi. Yang luar biasa, para tamu itu diusir keluar dan Yumi melipat kedua tangan penuh kemenangan.Tiba-tiba, tatapan Yumi beralih kepada Alisha, dan pandangan mereka bertemu.Bak tersambar petir, Alisha bisa melihat ekspresi gelap Yumi sekaligus amarahnya yang membara.Pasti … pasti Yumi marah karena Alisha tidak pernah memberitahunya tentang pernikahannya ini!Namun, waktu tidak mendukung Alisha, dan dia harus kembali fokus ke prosesi pernikahan. Alhasil, dia membuang wajah dari Yumi dan lanjut berjalan ke ujung panggung. ‘Aku … aku akan bicara dengan Yumi nanti …’ pikirnya.“Sepertinya, s
“Kok jadi Alvin sih?!” desis Alisha ketus.Zayden terdiam, tapi terus menatap wanita yang telah secara sah menjadi istrinya itu tajam.“Pandanganmu tidak lepas darinya sejak awal. Di sisi lain, Yumi juga terus memperhatikanmu dan bersikap waspada. Bukan berita baru kalau bocah itu menyukai Alvin, dan kalau dia bersikap waspada padamu, bukankah itu berarti dia menganggapmu saingannya?” cerocos pria itu.Alisha terbengong. Patut dia akui Zayden memang jeli dalam melihat situasi dan membaca ekspresi orang-orang di sekelilingnya, tapi … tebakannya kali ini melenceng jauh!Jelas-jelas Alisha memerhatikan Yumi dan bukan Alvin!Karena Alisha tidak kian menjawab, Zayden kembali mendesak. “Jadi, katakan padaku, apa hubunganmu dengan Alvin? Apakah kalian … mantan kekasih?”“Bukan!” Alisha menyemburkan kata itu dengan sedikit keras, membuat sejumlah tamu yang berada di bawah panggung agak terkejut. Bahkan, orang tua Zayden sampai menoleh dan menatap mereka bingung.“He he he ….” Cepat Alisha men
Ditembak pertanyaan seperti itu, Zayden membeku. Dia yang tangannya masih berada di atas rambut Alisha yang lembut hanya bisa terdiam di tempat.Dengan wajah ngeri, Zayden menatap Alisha. “Kamu … bilang apa?”Tak sadar dengan kengerian di wajah Zayden, Alisha menegaskan, “Aku bilang, apa kamu cemburu sama Alvin tadi?” Senyuman iseng terlukis di bibirnya. “Habisnya, kalau bukan cemburu, kenapa kamu sampai mendesakku begitu dan terlihat sangat lega setelah dengar aku ada hubungannya sama Yumi?”Zayden cepat menarik tangannya dari kepala Alisha dan mengalihkan pandangan ke depan. “Konyol. Aku hanya tidak ingin ada skandal di keluarga dan mendapatkan cap sebagai perebut kekasih sepupu.”Sudut bibir Alisha semakin meninggi. “Oh? Seorang Zayden yang tidak takut dibilang menyimpang, sekarang takut disebut perebut kekasih orang? Menarik, menarik.”Pelipis Zayden berkedut. “Alvin sepupu dekatku, aku tidak mau kami bermasalah hanya karena wanita.”“Ohhh, jadi kalau aku mantan kekasih Alvin, kamu
Alisha berusaha dengan cepat untuk berdiri, namun sekali lagi gaunnya yang sebagian masih tertindih badan Zayden membuatnya sedikit kesulitan, wajah Alisha terlihat makin memerah karena malu, gerakan terburu-burunya ini, membuatnya sekali lagi terjatuh dan menimpa Zayden.“AH!”Zayden hanya menghela napas panjang. Dengan satu gerakan lembut, ia memegang kedua bahu Alisha, mencoba menenangkannya. Alisha akhirnya mematung beberapa saat, merasa canggung dengan posisi mereka. Pandangan mata mereka saling bertemu, dan saat itu pula Zayden menyunggingkan senyuman miring. Matanya melirik ke arah dada Alisha, lalu pria itu menggelengkan kepalanya.Alisha langsung merona merah, malu dan marah. Apa maksud pria itu?! Apa dia baru saja mengejek ukuran dadanya?!Dia ukuran C! Itu sudah cukup di atas rata-rata, ya!Mengabaikan tatapan marah Alisha, Zayden pun berdiri selagi membantu Alisha. “Jangan terlalu terburu-buru, santai saja. Kalau tidak, nanti kamu terjatuh lagi.”Alisha bergidik. Suara Zay
Zayden yang baru saja ditampar membeku di tempat. Di sisi lain, Alisha dengan panik kembali menarik bathrobe-nya dan menutup tubuhnya dengan cepat, wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. Merasa bersalah karena jiplakan merah ada di pipi pria itu, Alisa pun berkata, “Ma-maaf … tapi kenapa juga kamu keluar lagi!? Aku pikir kamu sedang mandi!” Zayden mengalihkan pandangan pada Alisa selagi mengusap wajahnya yang masih terasa panas. “Aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal.” “Jangan mendadak dong!” tegur Alisa, masih tidak mau kalah. Zayden menatapnya beberapa detik sebelum mengangkat tangan, menyerah. "Oke, salahku. Lain kali aku ketuk pintu dulu sebelum keluar dari kamar mandi." Ucapan Zayden membuat Alisha makin tersipu, tahu dirinya tidak masuk akal. Akhirnya, wanita itu pun membuang muka, pura-pura sibuk mencari piyamanya. Tapi dalam hati, pikirannya kacau. ‘Dia lihat nggak ya? Astaga… kalau dia lihat… jangan-jangan lingerie itu juga?’ "Sudah kamu ma
Amarah membara sang wanita, ditambah pecahan gelas kaca yang berserakan di lantai, membuat empat wanita muda yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan. Ruangan yang biasanya tenang kini terasa seperti medan perang, penuh ketegangan dan hawa panas dari emosi yang membuncah.“Hanya mengacaukan sebuah pesta pernikahan saja kalian tidak bisa? Apa gunanya aku membayar kalian mahal?!” bentak sang wanita, suaranya menggema tajam di seluruh ruangan.“Maaf, Nyonya...” Salah satu dari mereka memberanikan diri bicara, meski suaranya nyaris tak terdengar, bergetar hebat karena takut.“Nyonya, kami benar-benar sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, tapi... saat itu kondisi di lapangan tidak memungkinkan,” lanjutnya mewakili yang lain, berusaha mempertahankan ketenangan meski tubuhnya mulai gemetar.“Aku sudah membayar mahal untuk pekerjaan semudah ini, tapi hasilnya sangat mengecewakan.” Nada dingin Tania membuat mereka tak berani menatap langsung ke arahnya.“S-sa... saya sudah berusaha
Pagi itu datang perlahan.Sinar matahari menyelinap lembut melalui celah tirai, menari di atas kulit mereka yang masih terlindung kehangatan malam. Di balik selimut yang setengah tersingkap, Alisha masih terjebak dalam batas tipis antara mimpi dan kenyataan. Helaan napasnya tenang, seiring tangannya yang terulur tanpa sadar, merengkuh tubuh hangat di sampingnya.Ia tersenyum dalam setengah sadarnya.Tangan mungilnya menyusuri kontur wajah itu perlahan, seakan ingin menghafal setiap lekuk yang begitu ia rindukan, seolah pria dalam pelukannya adalah wujud nyata dari mimpi-mimpinya yang tak pernah tercapai.Sentuhannya melayang ke dada bidang pria itu. Ia merasakan detak jantung yang kuat, otot-otot yang nyata, dan kehangatan yang tak terbantahkan. Dalam hati, ia bergumam lirih,"Kalau saja ini bukan mimpi… kalau saja Zayden bisa seperti ini—hangat… hadir… dan nyata untukku."Ia membiarkan dirinya terbuai, menolak kenyataan, menggantungkan harap pada mimpi yang terlalu manis untuk dilepas
Alisha hanya bisa menahan napas, menyadari betapa pria itu bisa membuat emosinya naik turun dalam hitungan detik. Tidak bisakan pria ini membuat hubungan mereka jauh lebih jelas?“Bukan begitu, tapi maksudku–”“Aku tidak bisa melarang orang untuk menyukaiku, lagipula bukankah itu menyenangkan kalau disukai oleh istri sendiri?” Zayden hanya menanggapi datar akan hal itu.“Ya kamu memang tidak punya hak untuk larang orang lain, cuma maksudku, kalau kamu tidak menyukaiku, kamu bisa untuk bersikap biasa saja saat orang lain tidak ada di sekitar kita karena hal ini bisa membuatku–”“Makin menyukaiku?” potong Zayden.Alisha diam.“Kamu menyimpulkan dari mana kalau aku tidak menyukaimu?” Kalimat yang dilontarkan Zayden barusan terdengar datar, tenang, dan tanpa emosi.Hanya saja cukup membuat Alisha mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba untuk menerjemahkan maksud dari pria itu.“Maksudmu?” Zayden menghela napas dalam sebelum akhirnya bicara, “Dari pesanmu itu, kamu hanya menyatakan ses
Setelah mengirimkan pesan itu, Alisha langsung melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Beberapa detik dia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia lakukan.Tapi di detik berikutnya — panik itu datang menyerbu.“Ya Tuhan! Apa yang barusan aku lakuin?!” serunya, buru-buru meraih kembali ponsel yang tadi dia lempar.Jari-jarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan. Dan … terlambat! Pesan itu… sudah dibaca.Tubuhnya langsung lemas. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang hitam. “Astaga… bodoh … bodoh … bodoh!” rutuknya sambil menepuk kening sendiri.Kenapa dia bisa seimpulsif itu? Kenapa tanpa pikir panjang, langsung kirim saja? Padahal, dia tahu, hal-hal seperti ini jelas tidak bisa sembarangan! Tidak bisa hanya mengikuti emosi sesaat saja! Kalau begini bukankah malah bikin runyam dan mempermalukan diri sendiri?!"Ah… gimana kalau dia marah? Atau… aduh, jangan-jangan dia malah–" pikiran Alisha berputar ke mana-mana. Kepalanya terasa
Sementara itu, di tempat lain.“Nyonya sepertinya suasana hati Anda sedang baik sekali hari ini.” Danti, asisten pribadi Helena Wijaya berkata padanya saat Helena menikmati makan siangnya.“Ya, tentu saja. Dari laporan terakhir tentang istrinya Zayden sepertinya dia memang wanita baik-baik, hanya nasibnya saja yang kurang beruntung sebelum ini.” Helena berkata santai.Danti tersenyum ringan. “Betul, Nyonya.”“Jadi, menurut Nyonya apa kita perlu selidiki lebih jauh terkait Nona Alisha ini?” tanya Danti memastikan.“Tetap lanjutkan, karena aku ingin membuktikan kalau pernikahan mereka itu ada sesuatu di dalamnya. Mungkin Alisha terlihat sederhana, hanya saja … sikap sederhananya ini perlu digali lagi. Walaupun aku menyukainya, tetap kita perlu waspada.” Helena berkata dengan nada datar.“Baik, Nyonya.” Danti kembali menjawab dengan hormat. “Kalau begitu, mereka tetap perlu bertugas untuk mengawasi mereka.”“Ya, katakan pada mereka bagaimana perkembangan hari ini. Aku sudah tidak sabar i
Alisha masih berdiri di tempat, membiarkan sunyi yang tersisa di kamar itu membungkusnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja menyelesaikan lari jarak jauh. Tangannya masih menempel di kening, tepat di tempat bibir Zayden tadi menyentuh kulitnya.“Apa … barusan?” gumamnya lagi dengan pelan dan mencoba untuk menerka-nerka.Ia menunduk, mencoba mencari alasan logis. Hanya saja alasan logis untuk saat ini sepertinya tidak ada yang cocok kecuali satu hal …. Hanya saja apa itu mungkin? Alisha memejamkan mata, menggeleng cepat, berusaha mengusir perasaan aneh yang baru saja muncul.“Ah, hari ini aku artinya bebas tugas, kan? Tapi … apa alasan yang akan aku berikan pada mereka kalau aku tidak ikut ke sana?” Alisha baru terpikir akan hal ini. Artinya dia harus menciptakan kebohongan lagi.Dia mengirim pesan pada Zayden:Alisha: “Nanti kalau mereka bertanya aku tidak ikut bagaimana?”Zayden: “Aku akan mengatakan kalau kamu tiba-tiba tidak enak badan.”Alisha: “Jangan! Itu sama saja d
Jelas saja dia panik. klien yang akan ditemui ini adalah klien besar, dan sudah bekerja sama dalam waktu yang lama. Itu yang diketahui Alisha, tetapi secara detail dia tidak terlalu paham, karena klien ini dipegang oleh salah satu rekannya–Farhan. Zayden benar-benar memastikan kunjungannya kali ini bisa bertemu dengan pimpinannya langsung.Kalau kejadiannya begini, bagaimana bisa mereka akan tiba tepat waktu?!“Sudah tenang saja, Kak Zayden pasti bisa menanganinya!” Yumi berkata dengan menenangkan Alisha.“Menangani apanya sih?! Udah, ah! Aku mau mikir dulu apa yang harus aku lakukan! Mudah-mudahan bajuku tidak terlalu bau untuk kupakai dua kali!” Setelah mengatakan hal itu, Alisha memutuskan sambungan telepon mereka.Dia kembali menatap layar ponselnya berharap apa yang dikatakan Yumi hanya sebuah lelucon saja! Akan tetapi, waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 10.40, kurang 20 menit jam 11 siang!“Ya Tuhan! Bisa gawat ini!” serunya.Dia kemudian berlari ke ruang tidur, tetapi,
Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, mengenai wajah Alisha yang masih terlelap. Perlahan, kelopak matanya mulai bergerak, lalu terbuka setengah saat cahaya hangat itu menyapa.“Sudah pagi, rupanya…” gumamnya pelan, suaranya serak sisa tidur.Ia berniat mengubah posisi tidurnya, namun baru menyadari ada sesuatu yang berat melingkari pinggangnya. Alisha terdiam sejenak, matanya berkedip-kedip, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih setengah kabur.Perlahan, ia merasakan kehangatan di punggungnya — tubuh seseorang yang begitu dekat, hingga napasnya terdengar jelas di belakang telinganya, teratur dan dalam. Jantung Alisha seketika berdetak lebih kencang. Ia tak perlu menebak lama untuk menyadari siapa pemilik tangan yang kini memeluknya erat dari belakang.‘Astaga… Zayden?!’ teriaknya dalam hati.Kesadarannya langsung utuh seketika. Alisha berbalik untuk memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi!Dan …!Ya Tuhan!? Wajah Zayden terlihat sanga
Setelah pergi mengantar neneknya menemui seseorang, Zayden memutuskan untuk kembali ke hotel dengan menggunakan taksi. Begitu membuka ponselnya di dalam taksi, matanya langsung membelalak. Puluhan panggilan dari Alisha memenuhi layar. Baru sekarang notifikasi itu muncul, setelah mode Do Not Disturb-nya dinonaktifkan.Dia ingin langsung menghubungi Alisha balik, tetapi panggilan Arsel membuatnya mengurungkan niatnya.“Bagaimana, Arsel?” tanya Zayden saat panggilan itu tersambung.“Tuan, sepertinya informasi yang disampaikan oleh orang itu sedikit berbeda setelah kulakukan validasi.” Arsel melaporkan hasil investigasinya pada Zayden.Hal itu membuat Zayden mengerutkan keningnya cukup dalam. “Apa kamu yakin?”“Yakin, Tuan, aku sudah memastikan sekali lagi, karena itu, aku akan kembali menelusurinya lebih dalam setelah ini.” Arsel berkata dengan suara tenang.Zayden menghela napas dalam.“Ya sudah, kalau begitu, cari dengan teliti.” Zayden lalu mematikan sambungan itu.Pikirannya mulai b
Beberapa jam sebelumnya.Setelah meninggalkan Alisha di tempat itu, Zayden menyusul Helena. Dengan perasaan yang sangat kesal dia menghentikan langkah Helena yang baru saja ingin masuk ke mobil.“Nenek tunggu!” cegatnya sambil setengah berlari.Helena menghentikan gerakannya dan memutar tubuhnya melihat ke arah Zayden.Sudah cukup lama … Zayden tidak memanggilnya seleluasa sekarang.Zayden berjalan mendekat. “Kita harus bicara.” Dia berkata dengan suara tegas, lalu melihat ke arah sopir yang sedang membukakan pintu mobil untuk wanita itu dan juga asisten pribadi Helena yang berada di dekatnya dengan tatapan datar. “Empat mata,” lanjutnya lagi.Mengerti dengan yang dimaksud Zayden, sopir dan asisten pribadi Helena itu menunggu perintah dari Nyonya besar mereka.Helena lalu melihat ke arah keduanya dan memberikan isyarat untuk meninggalkan mereka, tetapi sebelum asistennya meninggalkan Helena dia berkata pelan, “Nyonya jangan lupa, kita masih ada janji jam lima sore ini–”“Aku yang akan
Mendengar pernyataan barusan tentu saja Alisha tidak bisa berkata-kata. Saat ini, bahkan mereka hanya berdua saja, dan pria itu bisa bersikap seperti ini? Apa yang coba dia perbuat? Walaupun targetnya sudah berganti untuk menaklukan pria itu, tentu saja tidak akan sudi dia secara terang-terangan mengakui perasaannya yang mulai tumbuh, kan?Setidaknya Zayden tidak boleh membaca isi hatinya!Untuk menetralkan suasana, Alisha dengan sigap mengalihkan topik pembicaraan mereka dengan keras!“Ih, apaan sih! Lagian di sini tidak ada orang lain, jangan bersikap sok manis!” gumam Alisha dengan nada datar, hanya saja riak di dalam hatinya cukup besar.Zayden hanya tersenyum singkat!‘Astaga! Bahkan pria ini sempat-sempatnya tersenyum?! Apa dunia sudah mau kiamat?! Setidaknya, tidak perlu memberikanku harapan tingga kalau nantinya juga akan dihempas kenyataan!’ Alisha berteriak dalam hatinya.“Sudah, ya! itu jangan diganggu-ganggu, biar obatnya meresap dulu.” Alisha berkata santai lalu memberes