Saat langkah kaki Alisha yang terhenti, sang WO yang menyadari keanehan itu langsung menyelip di antara kerumunan tamu dan memberikan isyarat, “Nona, lanjut berjalan!”Hal itu menyadarkan Alisha dari keterkejutannya dan menatap ke arah sang WO. Namun, dia gelisah dan kembali menatap ke arah Yumi.Terlihat bahwa security telah berhasil memisahkan sahabat Alisha itu dengan para tamu yang menghinanya tadi. Yang luar biasa, para tamu itu diusir keluar dan Yumi melipat kedua tangan penuh kemenangan.Tiba-tiba, tatapan Yumi beralih kepada Alisha, dan pandangan mereka bertemu.Bak tersambar petir, Alisha bisa melihat ekspresi gelap Yumi sekaligus amarahnya yang membara.Pasti … pasti Yumi marah karena Alisha tidak pernah memberitahunya tentang pernikahannya ini!Namun, waktu tidak mendukung Alisha, dan dia harus kembali fokus ke prosesi pernikahan. Alhasil, dia membuang wajah dari Yumi dan lanjut berjalan ke ujung panggung. ‘Aku … aku akan bicara dengan Yumi nanti …’ pikirnya.“Sepertinya, s
“Kok jadi Alvin sih?!” desis Alisha ketus.Zayden terdiam, tapi terus menatap wanita yang telah secara sah menjadi istrinya itu tajam.“Pandanganmu tidak lepas darinya sejak awal. Di sisi lain, Yumi juga terus memperhatikanmu dan bersikap waspada. Bukan berita baru kalau bocah itu menyukai Alvin, dan kalau dia bersikap waspada padamu, bukankah itu berarti dia menganggapmu saingannya?” cerocos pria itu.Alisha terbengong. Patut dia akui Zayden memang jeli dalam melihat situasi dan membaca ekspresi orang-orang di sekelilingnya, tapi … tebakannya kali ini melenceng jauh!Jelas-jelas Alisha memerhatikan Yumi dan bukan Alvin!Karena Alisha tidak kian menjawab, Zayden kembali mendesak. “Jadi, katakan padaku, apa hubunganmu dengan Alvin? Apakah kalian … mantan kekasih?”“Bukan!” Alisha menyemburkan kata itu dengan sedikit keras, membuat sejumlah tamu yang berada di bawah panggung agak terkejut. Bahkan, orang tua Zayden sampai menoleh dan menatap mereka bingung.“He he he ….” Cepat Alisha men
Ditembak pertanyaan seperti itu, Zayden membeku. Dia yang tangannya masih berada di atas rambut Alisha yang lembut hanya bisa terdiam di tempat.Dengan wajah ngeri, Zayden menatap Alisha. “Kamu … bilang apa?”Tak sadar dengan kengerian di wajah Zayden, Alisha menegaskan, “Aku bilang, apa kamu cemburu sama Alvin tadi?” Senyuman iseng terlukis di bibirnya. “Habisnya, kalau bukan cemburu, kenapa kamu sampai mendesakku begitu dan terlihat sangat lega setelah dengar aku ada hubungannya sama Yumi?”Zayden cepat menarik tangannya dari kepala Alisha dan mengalihkan pandangan ke depan. “Konyol. Aku hanya tidak ingin ada skandal di keluarga dan mendapatkan cap sebagai perebut kekasih sepupu.”Sudut bibir Alisha semakin meninggi. “Oh? Seorang Zayden yang tidak takut dibilang menyimpang, sekarang takut disebut perebut kekasih orang? Menarik, menarik.”Pelipis Zayden berkedut. “Alvin sepupu dekatku, aku tidak mau kami bermasalah hanya karena wanita.”“Ohhh, jadi kalau aku mantan kekasih Alvin, kamu
Alisha berusaha dengan cepat untuk berdiri, namun sekali lagi gaunnya yang sebagian masih tertindih badan Zayden membuatnya sedikit kesulitan, wajah Alisha terlihat makin memerah karena malu, gerakan terburu-burunya ini, membuatnya sekali lagi terjatuh dan menimpa Zayden.“AH!”Zayden hanya menghela napas panjang. Dengan satu gerakan lembut, ia memegang kedua bahu Alisha, mencoba menenangkannya. Alisha akhirnya mematung beberapa saat, merasa canggung dengan posisi mereka. Pandangan mata mereka saling bertemu, dan saat itu pula Zayden menyunggingkan senyuman miring. Matanya melirik ke arah dada Alisha, lalu pria itu menggelengkan kepalanya.Alisha langsung merona merah, malu dan marah. Apa maksud pria itu?! Apa dia baru saja mengejek ukuran dadanya?!Dia ukuran C! Itu sudah cukup di atas rata-rata, ya!Mengabaikan tatapan marah Alisha, Zayden pun berdiri selagi membantu Alisha. “Jangan terlalu terburu-buru, santai saja. Kalau tidak, nanti kamu terjatuh lagi.”Alisha bergidik. Suara Zay
Zayden yang baru saja ditampar membeku di tempat. Di sisi lain, Alisha dengan panik kembali menarik bathrobe-nya dan menutup tubuhnya dengan cepat, wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. Merasa bersalah karena jiplakan merah ada di pipi pria itu, Alisa pun berkata, “Ma-maaf … tapi kenapa juga kamu keluar lagi!? Aku pikir kamu sedang mandi!” Zayden mengalihkan pandangan pada Alisa selagi mengusap wajahnya yang masih terasa panas. “Aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal.” “Jangan mendadak dong!” tegur Alisa, masih tidak mau kalah. Zayden menatapnya beberapa detik sebelum mengangkat tangan, menyerah. "Oke, salahku. Lain kali aku ketuk pintu dulu sebelum keluar dari kamar mandi." Ucapan Zayden membuat Alisha makin tersipu, tahu dirinya tidak masuk akal. Akhirnya, wanita itu pun membuang muka, pura-pura sibuk mencari piyamanya. Tapi dalam hati, pikirannya kacau. ‘Dia lihat nggak ya? Astaga… kalau dia lihat… jangan-jangan lingerie itu juga?’ "Sudah kamu ma
Amarah membara sang wanita, ditambah pecahan gelas kaca yang berserakan di lantai, membuat empat wanita muda yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan. Ruangan yang biasanya tenang kini terasa seperti medan perang, penuh ketegangan dan hawa panas dari emosi yang membuncah.“Hanya mengacaukan sebuah pesta pernikahan saja kalian tidak bisa? Apa gunanya aku membayar kalian mahal?!” bentak sang wanita, suaranya menggema tajam di seluruh ruangan.“Maaf, Nyonya...” Salah satu dari mereka memberanikan diri bicara, meski suaranya nyaris tak terdengar, bergetar hebat karena takut.“Nyonya, kami benar-benar sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, tapi... saat itu kondisi di lapangan tidak memungkinkan,” lanjutnya mewakili yang lain, berusaha mempertahankan ketenangan meski tubuhnya mulai gemetar.“Aku sudah membayar mahal untuk pekerjaan semudah ini, tapi hasilnya sangat mengecewakan.” Nada dingin Tania membuat mereka tak berani menatap langsung ke arahnya.“S-sa... saya sudah berusaha
Pagi itu datang perlahan.Sinar matahari menyelinap lembut melalui celah tirai, menari di atas kulit mereka yang masih terlindung kehangatan malam. Di balik selimut yang setengah tersingkap, Alisha masih terjebak dalam batas tipis antara mimpi dan kenyataan. Helaan napasnya tenang, seiring tangannya yang terulur tanpa sadar, merengkuh tubuh hangat di sampingnya.Ia tersenyum dalam setengah sadarnya.Tangan mungilnya menyusuri kontur wajah itu perlahan, seakan ingin menghafal setiap lekuk yang begitu ia rindukan, seolah pria dalam pelukannya adalah wujud nyata dari mimpi-mimpinya yang tak pernah tercapai.Sentuhannya melayang ke dada bidang pria itu. Ia merasakan detak jantung yang kuat, otot-otot yang nyata, dan kehangatan yang tak terbantahkan. Dalam hati, ia bergumam lirih,"Kalau saja ini bukan mimpi… kalau saja Zayden bisa seperti ini—hangat… hadir… dan nyata untukku."Ia membiarkan dirinya terbuai, menolak kenyataan, menggantungkan harap pada mimpi yang terlalu manis untuk dilepas
Perlakuan Zayden barusan—di tempat umum, di hadapan banyak pasang mata—membuat Alisha nyaris kehilangan napas. Dadanya bergemuruh tak karuan, seperti genderang perang yang ditabuh terlalu keras. Dia berdiri kaku, seolah disengat aliran listrik tegangan tinggi. Pria itu baru saja menciptakan badai kecil, dan Alisha berada tepat di tengah pusarannya. Tangan Zayden melingkar santai di pinggangnya, seolah-olah tindakan tadi bukanlah sesuatu yang besar. Lalu dengan tenang, dia membelai rambut Alisha, senyumnya manis tapi berbahaya—senyum yang bisa meruntuhkan pertahanan siapa pun. Beberapa kali Alisha mengerjapkan mata, berusaha menstabilkan degup jantung yang masih kacau. Meskipun mereka pernah lebih dekat dari ini, ciuman yang lebih dalam dan momen yang lebih intim—kenapa kali ini terasa … berbeda? Belum sempat pikirannya mengurai makna dari semua sensasi yang mekar di dadanya, sebuah suara familiar menginterupsi. Ceria dan sedikit mengusik. “Wah … ternyata pengantin baru memang seda
Alisha tidak pernah membayangkan kalau dia akan mendapatkan adegan manis dalam hidupnya seperti saat ini, bahkan bermimpi pun rasanya dia tidak berani. Banyak hal yang rasanya sangat tidak mungkin baginya, tetapi nyatanya dia ada bersama Zayden saat ini.“Ahhhhh … kenapa aku senang sekali?” Alisha berkata dengan senyum lebarnya, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya itu, dengan cara menggerak-gerakkan tubuhnya dan memegangi lengan Zayden yang melingkar di bawah dagunya.“Dasar berlebihan,” ucap Zayden santai, lalu melepaskan tangannya dan memutar tubuh mungil itu hingga menghadap ke arahnya.Mata bulat Alisha berkedip-kedip sesaat sebelum akhirnya benar-benar melihat ke dalam mata Zayden yang cukup tenang.“Ke-na-pa liatnya begitu?” tanya Alisha.Zayden hanya menggeleng pelan lalu mendesah berat. “Apa kamu yakin bisa bertahan untuk tidak meninggalkanku?” Pertanyaan tiba-tiba ini membuat Alisha terkejut.‘Aduh! Kenapa sih dia merusak suasana bagus gini dengan berta
Aldian merasa sangat terpojok saat ini, apalagi pandangan kedua rekannya ini seolah menekannya untuk berkata dengan jujur. Dia menimbang-nimbang sesuatu, apa harus dia berbicara atau tetap diam saja.“Hei, kamu mau ceritain sama kita atau … nggak? Atau kamu sudah tahu hubungan gelap mereka?” Tika kembali menekan Aldi.“Ih, apaan sih kalian, udah lagian mau mereka ada hubungan gelap atau nggak kan gak ada efeknya di kita.” Aldian berkata dengan suara beratnya.“Nggak bisa gitu dong! Alisha itu teman kita, kita tidak boleh membiarkan dia merusak hubungan orang lain, dan jadi wanita simpanan!” sahut Tika lagi.“Lagian sepertinya kamu tahu sesuatu deh, Aldi!” Kali ini Farhan menatap tajam ke arah Aldian.“Udah kayak perempuan aja, kamu Farhan, mau-maunya bergosip.” Aldian berkata santai.“Ah, ternyata memang benar ya!” Tika menarik kesimpulan sendiri dari apa yang dia perhatikan dari Aldian.“Kalau begitu aku harus menghubungi Alisha segera! Dia harus diperingatkan! Dia tidak boleh menjad
Langkah keduanya terdengar pelan di koridor hotel yang sepi. Hanya denting samar pendingin ruangan dan suara langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang lorong. Zayden tetap menggenggam tangan Alisha sejak tadi, tanpa banyak bicara. Genggamannya kokoh, hangat, dan Alisha tidak menolak hal itu.Dia hanya ingin menikmati waktu kebersamaan ini saja.Sesekali, Alisha melirik ke arah pria di sampingnya. Wajah Zayden seperti biasa — datar, nyaris tanpa ekspresi. Tapi justru itu yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.“Melihat terus ke arahku apa kamu mau membuat lubang di wajahku, hehm?” Zayden melirik ke arah Alisha.“Apaan sih!” Alisha berkata dengan senyum malu-malunya, lalu melihat tangannya yang masih dalam genggamam Zayden. Dia menyukai kebersamaan seperti ini. Ini benar-benar pengalaman pertama untuk Alisha!Namun, begitu lift berjalan turun ke lobi, Alisha buru-buru menarik tangannya dari genggaman Zayden.Zayden menoleh, alisnya sedikit berkerut. “Kenapa?”Alisha merapika
Alisha hanya bisa terpaku. Lidahnya kelu, wajahnya memanas, dan degup jantungnya seperti berkejaran tanpa aturan.Sementara Zayden… hanya tertawa kecil dalam hati melihat ekspresi terkejut bercampur panik yang ditunjukkan wanita di hadapannya. Alisha memang sangat tampak menggemaskan.Melihat hal itu, akhirnya Zayden kembali berkata, “Jadi, jangan pernah menyimpulkan sendiri seolah-olah kamu sudah tahu isi hati orang lain. Cenayang dan jin saja tidak tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” Kemudian Tangan Zayden membelai pelan pipi Alisha yang makin merona.“Itu ….” Suara Alisha lolos juga setelah sekian lama tertahan. “Apa kamu tidak sedang mabuk atau mengigau?”Zayden lalu menarik napas dan mencubit pelan kedua pipinya. “Aku ingin mencubitmu keras-keras, tapi mana mungkin aku menyakiti istriku, kan? Menurutmu ini mimpi atau ….” Zayden mendekatkan wajah mereka, hingga Alisha benar-benar menahan napasnya sendiri.Lalu detik berikutnya dia mendorong tubuh Zayden untuk menjauhinya. “K
Alisha hanya bisa menahan napas, menyadari betapa pria itu bisa membuat emosinya naik turun dalam hitungan detik. Tidak bisakan pria ini membuat hubungan mereka jauh lebih jelas?“Bukan begitu, tapi maksudku–”“Aku tidak bisa melarang orang untuk menyukaiku, lagipula bukankah itu menyenangkan kalau disukai oleh istri sendiri?” Zayden hanya menanggapi datar akan hal itu.“Ya kamu memang tidak punya hak untuk larang orang lain, cuma maksudku, kalau kamu tidak menyukaiku, kamu bisa untuk bersikap biasa saja saat orang lain tidak ada di sekitar kita karena hal ini bisa membuatku–”“Makin menyukaiku?” potong Zayden.Alisha diam.“Kamu menyimpulkan dari mana kalau aku tidak menyukaimu?” Kalimat yang dilontarkan Zayden barusan terdengar datar, tenang, dan tanpa emosi.Hanya saja cukup membuat Alisha mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba untuk menerjemahkan maksud dari pria itu.“Maksudmu?” Zayden menghela napas dalam sebelum akhirnya bicara, “Dari pesanmu itu, kamu hanya menyatakan sesu
Setelah mengirimkan pesan itu, Alisha langsung melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Beberapa detik dia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia lakukan.Tapi di detik berikutnya — panik itu datang menyerbu.“Ya Tuhan! Apa yang barusan aku lakuin?!” serunya, buru-buru meraih kembali ponsel yang tadi dia lempar.Jari-jarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan. Dan … terlambat! Pesan itu… sudah dibaca.Tubuhnya langsung lemas. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang hitam. “Astaga… bodoh … bodoh … bodoh!” rutuknya sambil menepuk kening sendiri.Kenapa dia bisa seimpulsif itu? Kenapa tanpa pikir panjang, langsung kirim saja? Padahal, dia tahu, hal-hal seperti ini jelas tidak bisa sembarangan! Tidak bisa hanya mengikuti emosi sesaat saja! Kalau begini bukankah malah bikin runyam dan mempermalukan diri sendiri?!"Ah… gimana kalau dia marah? Atau… aduh, jangan-jangan dia malah–" pikiran Alisha berputar ke mana-mana. Kepalanya terasa
Sementara itu, di tempat lain. “Nyonya sepertinya suasana hati Anda sedang baik sekali hari ini.” Danti, asisten pribadi Helena Wijaya berkata padanya saat Helena menikmati makan siangnya. “Ya, tentu saja. Dari laporan terakhir tentang istrinya Zayden sepertinya dia memang wanita baik-baik, hanya nasibnya saja yang kurang beruntung sebelum ini.” Helena berkata santai. Danti tersenyum ringan. “Betul, Nyonya.” “Jadi, menurut Nyonya apa kita perlu selidiki lebih jauh terkait Nona Alisha ini?” tanya Danti memastikan. “Tetap lanjutkan, karena aku ingin membuktikan kalau pernikahan mereka itu ada sesuatu di dalamnya. Mungkin Alisha terlihat sederhana, hanya saja … sikap sederhananya ini perlu digali lagi. Walaupun aku menyukainya, tetap kita perlu waspada.” Helena berkata dengan nada datar. “Baik, Nyonya.” Danti kembali menjawab dengan hormat. “Kalau begitu, mereka tetap perlu bertugas untuk mengawasi mereka.” “Ya, katakan pada mereka bagaimana perkembangan hari ini. Aku sudah tidak s
Alisha masih berdiri di tempat, membiarkan sunyi yang tersisa di kamar itu membungkusnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja menyelesaikan lari jarak jauh. Tangannya masih menempel di kening, tepat di tempat bibir Zayden tadi menyentuh kulitnya.“Apa … barusan?” gumamnya lagi dengan pelan dan mencoba untuk menerka-nerka.Ia menunduk, mencoba mencari alasan logis. Hanya saja alasan logis untuk saat ini sepertinya tidak ada yang cocok kecuali satu hal …. Hanya saja apa itu mungkin? Alisha memejamkan mata, menggeleng cepat, berusaha mengusir perasaan aneh yang baru saja muncul.“Ah, hari ini aku artinya bebas tugas, kan? Tapi … apa alasan yang akan aku berikan pada mereka kalau aku tidak ikut ke sana?” Alisha baru terpikir akan hal ini. Artinya dia harus menciptakan kebohongan lagi.Dia mengirim pesan pada Zayden:Alisha: “Nanti kalau mereka bertanya aku tidak ikut bagaimana?”Zayden: “Aku akan mengatakan kalau kamu tiba-tiba tidak enak badan.”Alisha: “Jangan! Itu sama saja de
Jelas saja dia panik. klien yang akan ditemui ini adalah klien besar, dan sudah bekerja sama dalam waktu yang lama. Itu yang diketahui Alisha, tetapi secara detail dia tidak terlalu paham, karena klien ini dipegang oleh salah satu rekannya–Farhan. Zayden benar-benar memastikan kunjungannya kali ini bisa bertemu dengan pimpinannya langsung. Kalau kejadiannya begini, bagaimana bisa mereka akan tiba tepat waktu?! “Sudah tenang saja, Kak Zayden pasti bisa menanganinya!” Yumi berkata dengan menenangkan Alisha. “Menangani apanya sih?! Udah, ah! Aku mau mikir dulu apa yang harus aku lakukan! Mudah-mudahan bajuku tidak terlalu bau untuk kupakai dua kali!” Setelah mengatakan hal itu, Alisha memutuskan sambungan telepon mereka. Dia kembali menatap layar ponselnya berharap apa yang dikatakan Yumi hanya sebuah lelucon saja! Akan tetapi, waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 10.40, kurang 20 menit jam 11 siang! “Ya Tuhan! Bisa gawat ini!” serunya. Dia kemudian berlari ke ruang tidur, tet