(2/2) untuk pagi ini. Selamat membaca! Mudah-mudahan semua berjalan lancar! Sayang kalian banyak-banyak!! Terima kasih banget untuk yang terus nungguin dengan sabar! Dan juga masih terus mendukung cerita ini!
Serena menggenggam pisau itu makin erat, telapak tangannya berkeringat. Matanya liar, berpindah dari Anton ke Zayden — lalu ke Alisha yang masih duduk terikat, tubuhnya tampak lemah tapi matanya tetap menantang.“Kau pikir aku takut padamu, Zayden?!” Serena membentak, suaranya sedikit bergetar.Zayden tidak menjawab. Dia hanya menatapnya, penuh ancaman, lalu perlahan melangkah masuk ke kamar mewah itu. Setiap langkahnya seperti dentuman berat di dada Serena, tapi egonya terlalu tinggi untuk mundur.“Serena… letakkan itu. Kau sudah keterlaluan!” Suara Anton nyaris putus asa. Dia terlalu mengenal wanita itu — rapuh di luar, rusak di dalam.Serena menoleh tajam. “Kau diam, Anton! Aku tidak butuh kamu di sini. Jangan sok jadi penyelamat!”“Lepaskan dia!” Kembali suara Zayden terdengar dengan cukup tegas dan sangat dingin.“Lepaskan kamu bilang?! Kamu mendapatkan kebahagiaan sementara ada orang yang menderita karena ulahmu! Apa menurutmu itu adil Zayden? Kamu sudah membunuh adikku Zayden!”
Wanita itu berjalan pelan, senyum tipis di bibirnya. Tubuhnya anggun dibalut gaun putih bersih yang menjuntai indah, selaras dengan warna dominan ruangan. Wajahnya begitu tenang, terlalu tenang untuk orang yang baru saja menculik orang lain. Alisha bisa merasakan aura aneh ini.“Selamat siang, Alisha,” sapanya, suaranya lembut tapi dingin, seolah-olah mereka hanya sedang bertemu di sebuah jamuan teh.Alisha mencoba menguatkan diri. “Apa yang kau mau?” tanyanya pelan, nadanya parau.Serena berjalan ke sisi ruangan, mengambil secangkir teh dari meja kecil, lalu duduk di kursi berlapis beludru putih di hadapan Alisha. Tangannya bergerak anggun, namun tatapan matanya menusuk.“Kau tahu,” ucap Serena santai, mengaduk tehnya, “aku sempat bingung, di mana tempat yang paling cocok untuk menjamu istri seorang Zayden Wicaksana. Tapi aku rasa… kamar ini pantas.”Dia memandang sekitar. “Cantik, bukan? Putih… bersih… terang. Tempat yang sempurna untuk seseorang sepertimu, Alisha.”Alisha menahan d
Tubuhnya masih lemas, namun perlahan kesadarannya mulai terkumpul. Mata Alisha membulat menatap sekeliling. Ruangan itu terlalu mewah untuk situasi seburuk ini. Langit-langit kamar yang tinggi dihiasi lampu gantung kristal, memancarkan cahaya keemasan yang membuat seluruh ruangan tampak terang dan bersih. Dinding-dindingnya dicat warna putih gading, berpadu dengan tirai tebal satin berwarna senada yang menjuntai indah di setiap sisi jendela besar.Di ujung ruangan, ada ranjang megah bertiang empat dengan kain tipis berwarna putih susu yang menjuntai lembut di sekelilingnya. Seprai ranjang itu terlihat begitu rapi, bantal-bantal besar tertata sempurna. Di sampingnya ada meja kecil dengan vas kristal berisi bunga mawar putih yang masih segar. Aroma samar wewangian ruangan bercampur dengan harum bunga itu memenuhi udara, namun justru membuat Alisha semakin merinding.Ini… bukan tempat yang seharusnya. Keindahan itu bertolak belakang dengan perasaannya yang dicekam ketakutan.“Di mana aku
Anton diam sejenak. Sorot matanya serius, rahangnya mengeras sebelum akhirnya berkata pelan namun tegas, “Aku mengerti perasaanmu, Zayden. Kau mencintai istrimu… sama persis seperti aku mencintai Serena. Kau ingin melindunginya, begitu juga aku. Dan meskipun kekuatanku tak sebesar milikmu, jangan lupa — seseorang yang lemah sekalipun, saat terpojok, bisa memberikan perlawanan yang tidak kau duga.”Ucapannya bagai tamparan pelan di udara yang panas itu. Zayden memandang pria di depannya, ekspresi wajahnya sulit terbaca, tapi pikirannya bergerak cepat.“Baiklah,” ucap Zayden singkat. “Katakan apa maumu.”Anton menarik napas dalam, lalu menatap Zayden lurus-lurus. “Aku tidak ingin kau menghancurkan hidup Serena. Jangan libatkan polisi dalam masalah ini. Aku tahu kau bisa melakukan apapun dengan mudah… tapi kumohon, jangan kali ini. Jika kau bisa berjanji untuk itu, aku akan membawamu ke tempatnya. Sekarang juga.”Nada suaranya penuh kesungguhan, tanpa sedikit pun keraguan. Bukan ancaman,
Wajah Arsel tampak pucat. Nafasnya memburu, langkahnya tergesa-gesa memasuki ruang kerja Zayden yang saat itu sedang didatangi Anton, yang merupakan tamu pentingnya pagi ini. Hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Arsel tahu betul batasannya, tahu kapan harus bicara, kapan diam, dan kapan mundur. Tapi kali ini, dia menerobos masuk tanpa aba-aba.“Tuan Zayden … Nyonya ….,” bisiknya cepat di telinga Zayden.Detik itu juga, wajah Zayden berubah. Sorot matanya membelalak, rahangnya mengeras. Seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik. “Apa kamu bilang?!” Kepala Zayden berdenyut hebat.Tidak lama kemudian ponselnya tiba-tiba berdering — nomor tak dikenal. Entah kenapa, perasaannya langsung tak enak.Dengan satu gerakan cepat, dia menerima panggilan itu.“Zayden… apa kamu masih ingat denganku, Sayang?”Serena.Suara itu terdengar serak, rapuh, seperti menyimpan luka lama yang belum sembuh. Tapi justru itulah yang membuat Zayden semakin waspada.“Apa maumu, Serena?” desisnya pelan,
Suasana ruangan mendadak menjadi lebih tegang saat Anton membahas masalah dirinya dengan Sheryl. Awal dari semuanya terjadi. Awal dari mulainya kehancuran dirinya, sesuatu yang membawanya dalam titik terendah dalam hidup yang dia lalui.“Orang yang membuatmu berakhir tidur dengan Sheryl adalah … Austin Thamrin, sepupumu sendiri.”Zayden sudah mencari tahu semua masalah ini, tetapi semuanya menemui jalan buntu saat itu. Bahkan dia juga menyewa orang lain untuk menyelidiki kasus ini, hanya saja tetap semuanya berakhir dengan tidak ada kejelasan.Mata Zayden menyipit mendengar Anton mengatakan hal itu padanya.Ingatan itu kembali berputar 5 sampai 6 tahun ke belakang. Saat dirinya sudah dua tahun menggeluti bisnis keluarga Wicaksana.Austin adalah sepupunya yang sangat ambisius, anak dari Tante Vivian ini selalu menjadikan Zayden saingannya. Dia selalu marah dan kesal kesal kalau tetua Wicaksana mulai membangga-banggakan Zayden. Hingga akhirnya, saat itu proyek yang dikerjakan Austin meng