🥰🥰🥰
Alisha berjalan dengan langkah gontai ke kamar perawatan Nariza, dalam setiap langkah kakinya entah kenapa dia menjadi sedih saat Zayden tidak mampu memenuhi janjinya sendiri. Padahal, pria itu yang benar-benar sangat memaksa sebelumnya.“Ah, gimana cara jelasin sama Nariza, ya?!” rutuknya.Akan tetapi kalau dipikir lagi, jelas Zayden sibuk di urusan pekerjaan, lagipula dia mendengar gosip kabarnya perusahaan mereka ini sedang tidak baik-baik saja dan Zayden mencoba untuk mengobati perusahaan mereka.Kalau memikirkan hal ini, entah kenapa Alisha menjadi bangga dengan pria itu. Dia bersedia ditempatkan di tempat yang bermasalah, padahal dia bisa saja menolak hal ini.Ah, entahlah rasanya kehidupannya benar-benar campur aduk dan terasa seperti naik roller coaster sejak bertemu dengan Zayden. Cukup naik turun, mendebarkan dan tidak disangka-sangka.Dia menggelengkan kepalanya ringan sebelum akhirnya mendorong pintu kamar di mana Nariza berada.Namun, baru saja dia membuka pintu itu, dia t
“Kamu pikir aku nggak bisa menebak, Al? Orang yang punya tekad kuat untuk tidak menikah seumur hidupnya, mendadak menikah dengan pria bernama Zayden Wicaksana?” Yumi menarik napas dalam. “Lelucon macam apa yang sedang kamu tunjukkan padaku?” Alisha menelan ludah. Tangannya menggenggam ujung bajunya dengan erat. “Jadi, jujurlah!” Yumi berkata dengan suara bergetar karena menahan rasa kesal yang melihat Alisha begitu erat menyembunyikan hal itu. “Apa kamu melakukan semua ini demi pengobatan Nariza?” Kalimat itu sontak membuat Alisha mengangkat kepalanya melihat ke arah Yumi. “Jadi benar? Demi Nariza, ya? Jadi, kamu menerima tawaran menikah dengannya karena Kak Zayden juga memiliki peluang bagus untuk menutupi skandal menyimpangnya agar keluarganya tidak lagi bicara macam-macam terhadap hal itu, kan?” Tebakan Yumi sangat tepat dan tidak meleset, bahkan dia juga tahu kalau Zayden itu memiliki perilaku yang menyimpang sebagaimana yang Alisha ketahui sejauh ini. “Kamu tahu tentang Zay
Menyadari suasana yang terasa dingin ini, dengan cepat Yumi membuat langkah antisipasi.“Eh, Kak Zayden sudah datang!” Dia berkata dengan nada cukup ceria.Zayden hanya mengangguk pelan.“Alisha bilang katanya Kak Zayden gak bisa dateng, dicariin banget tuh sama si Iza, dia terlihat sedih kalau memang Kak Zayden gak dateng loh.” Yumi mulai nyerocos, hal itu tentu saja, membuat Alisha mendapat kesempatan untuk sedikit bernapas lega.“Aku sudah janji, tentu saja aku datang.” Zayden menjawab singkat.Mendengar hal itu, baik Alisha maupun Yumi saling pandang. Ucapan pria itu memang sangat hemat. Dia sangat paham dengan kalimat efektif yang tidak perlu basa-basi panjang lebar.“Ya sudah kalau Kak Zayden sudah datang, aku pulang dulu, ya! Alisha, aku akan menghubungimu lagi nanti.” Yumi berkata dengan senyum merekah.“Iya,” jawab Alisha singkat.“Kak Zayden, aku pulang dulu, ya! Jaga sahabat baikku ini jangan sampai terluka sedikit pun!” Yumi berkata dengan penuh penekanan dan tentu saja kal
“Sha, kamu kenapa?” tanya Zayden dengan tersenyum pada Alisha, tetapi detik berikutnya, seolah tersadar dengan apa yang terjadi, apalagi ucapan Zayden barusan terkesan mengejeknya!“Ah, tidak apa-apa,” Alisha menjawab cepat.Mendapati hal itu, dari sudut pandang Alisha Zayden terlihat tersenyum penuh kemenangan. ‘Ah! Pria ini benar-benar sangat licik! Menyebalkan sekali!’ maki Alisha dalam hati.Demi menutupi hal itu, Alisha segera mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah televisi.“Walaupun ini minuman tidak ada rasanya, tapi kalau diberikan oleh Kakakmu rasanya sangat nikmat!” Kembali Zayden memuji Alisha di depan Nariza.Jelas hal ini makin membuat Alisha keki dalam hati.Makin lama rasanya akting Zayden sangat luar biasa!“Kak Al sangat beruntung mendapatkan suami seperti Kak Zayden!” puji Nariza.Sementara Alisha hanya menanggapinya dengan senyuman yang merekah.Obrolan berlanjut santai. Mereka berbincang soal pernikahan yang tidak dihadiri Nariza. Tawa, canda, dan beberapa le
Zayden menarik napas dalam atas tindakan Alisha barusan. “Alisha apa kamu bisa untuk tidak berbuat onar?” Zayden mengambil tisu di atas meja dan mengelap wajahnya. “Kenapa kita harus satu kamar?” Alisha tidak peduli kalau dia baru saja melakukan tindakan buruk terhadap suaminya itu. Menurutnya, masalah tinggal di satu kamar ini jauh lebih luar biasa untuk didiskusikan segera! “Tentu saja karena kamu adalah istriku, apalagi?” Zayden berkata dengan sangat enteng. “Tapi ini tidak mungkin!” Alisha menolak keras ide ini. “Yang tidak mungkin itu tinggal di kamar yang berbeda, apalagi saat Nariza dinyatakan boleh pulang.” Zayden berkata dengan datar lalu, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Alisha terdiam. O-ow... Dia lupa soal Nariza. Kalau mereka terlihat tidur di kamar berbeda, bisa-bisa Nariza tahu bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan dengan kesepatakan. “Kalau kamu mau tinggal di kamar lain sementara Nariza belum pulang, silakan saja. Tinggal pilih saja kamar yang ada
“Se-re-na … wajahmu sepertinya memperlihatkan suasana hatimu yang menjadi tidak baik." Tania berkata dengan nada provokasi yang cukup kental. Serena adalah wanita yang pernah Zayden cintai. Seseorang yang pernah hampir pria itu nikahi. Sampai 'kecelakaan' itu terjadi .... "Kalau kamu kembali muncul, menurutmu bagaimana reaksi Zayden?" lanjut Tania lagi. Serena berusaha menguasai dirinya. Dia kemudian tersenyum dan berusaha tenang menghadapi kalimat provokasi tersebut. “Kalau dia sudah menikah, ya biarkan saja dia menikah. Lagi pula, aku tidak berniat untuk mengganggu hubungan orang lain.” Gaya bicaranya terdengar tenang, tidak seperti sebelumnya, membuat Tania sedikit terkejut, tetapi dia segera menetralkannya. “Oh, ya? Yakin kamu tidak terganggu dengan kebahagiaan yang dia punya?” Tania kembali memancing wanita yang ada di depannya ini. Serena hanya diam. Namun, kepalanya jelas sangat berisik dan suasana hatinya menjadi tidak karuan! Mana mungkin dia rela Zayden bisa hidup bah
Bangun tidur pagi ini, Zayden merasa tubuhnya jauh lebih ringan. Ia meregangkan bahu dan lengan dengan malas, menikmati sejenak ketenangan pagi. Tapi itu hanya sesaat.“Selamat pagi, Tuan. Sarapanmu sudah tersedia di bawah.”Suaranya datar—nyaris sarkastik. Alisha berdiri di ambang pintu, tangan terlipat di depan dada, pandangan lurus menatapnya. Zayden yang tak menyangka kehadirannya langsung terduduk.“Aku ke kantor duluan. Kalau telat, bisa-bisa kena surat peringatan.” Alisha meraih tas, lalu melangkah pergi.Dia sempat berhenti di ambang pintu.“Oh ya, karena di apartemenmu cuma ada bahan seadanya, aku membuat sarapanmu pakai bahan yang ada saja, jangan kebanyakan protes.”Langkahnya menjauh, tapi suaranya kembali terdengar.“Aku pulang agak malam. Mau mampir ke apartemenku, ambil beberapa barang dan sekalian belanja bahan makanan untuk rumah ini!”Setelah Alisha mengatakan hal itu, yang ada hanya hening.Zayden masih terduduk, tercenung.“Wanita itu benar-benar …!” gumamnya, tapi
Seperti yang dikatakan oleh Alisha, pulang dari kantor dia kembali ke apartemennya, di sana dia mengambil barang-barang yang dia perlukan untuk mengerjakan pekerjaan sampingannya sebagai seorang videographer. Tidak banyak yang tahu kalau selama ini Alisha adalah sosok yang sangat kreatif dibalik akun media sosial besar yang dipegangnya, hanya beberapa orang saja yang tahu dia orang yang cukup profesional dalam hal pembuatan video iklan brand-brand ternama untuk produk mereka.Termasuk tempatnya bekerja pernah bekerja sama dengannya untuk membuat video campaign untuk pengenalan brand perusahaan, hanya saja kerjasama itu batal dengan alasan yang terbilang tidak masuk akal. Kalau mengingat hal ini dia cukup kesal dengan CEO yang menjabat sebelum Zayden, beruntunglah kabarnya dia dipecat dan digantikan oleh Zayden.Baru saja keluar dari lobi apartemennya, Alisha terkejut karena sudah ada Zayden yang menunggunya di sana.“Loh, kok kamu di sini?” tanya Alisha heran.Namun, Zayden tidak langs
Alisha terdiam beberapa detik, dia tidak menyangka kalau semua hanya semacam ujian?!Namun, detik berikutnya dia tiba-tiba terpikir tentang masalah perjanjian pernikahan itu. Pagi tadi Zayden membahasnya, kalau sampai perjanjian itu diketahui oleh keluarga yang lain jelas ini akan memicu konflik internal dan juga parahnya kalau sampai berita itu keluar lagi, jelas akan membuat efek domino pada W grup.“Tapi Ma … perjanjian itu bagaimana Mama bisa mendapatkannya? Apa keluarga yang lain tahu tentang masalah ini? Apa ini akan menjadi masalah yang besar?” Alisha bertanya dengan memberondong pertanyaan itu sekaligus, terlihat rasa khawatir di sana.Jelas hal ini membuat Martha makin melebarkan senyumnya. “Ah, ternyata kamu memang istri yang baik, bahkan kamu berpikiran sampai ke sana.”“Itu … tentu saja aku kepikiran, karena Zayden pasti memikirkan hal ini semalaman tadi.” Alisha mendesah berat.Hal itu membuat Martha mengerutkan keningnya karena terkejut. “Zayden memikirkan semalaman? Tapi
Alisha diam, dia tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mengatakan pada Martha kalau hubungan mereka sudah sangat serius dan bahkan sepertinya mereka tidak memerlukan perjanjian gila itu lagi untuk saling mengikat satu sama lain.“Apa kamu benar-benar keberatan untuk berpisah dengan Zayden?” tanya Martha.Alisha menegakkan kepalanya. “Tentu saja. Bahkan saat dunia tidak ada yang membela kami, selagi Zayden yang tidak mengucapkan kalimat pisah, maka aku akan terus berada di sisinya.”Tekad itu terdengar kuat.“Apa kamu yakin dengan Zayden kalau dia benar-benar melakukan hal yang sama? Tidak ingin berpisah darimu?” tanya Martha datar, tatapan wanita itu masih tajam ke arah Alisha.Alisha membalas tatapan Martha padanya, pancaran matanya memperlihatkan kesungguhan dan juga sebuah kekuatan besar di sana. “Ternyata, keluarga Zayden selalu ikut campur dalam urusan pribadinya. Apa kalian tidak kasihan dengannya? Apa kalian tidak pernah memikirkan perasaannya?”Martha masih diam, sementara Alish
Suasana ruang kerja Zayden terasa lebih dingin dari biasanya. Alisha duduk di sofa dengan punggung tegang, sementara Martha berdiri di hadapannya, ponsel masih tergenggam erat di tangan.“Jadi…” suara Martha memecah keheningan. Tatapannya lurus, penuh tuntutan. “kamu tidak membantah tentang perjanjian pernikahan ini, kan?”Alisha menghela napas panjang, menundukkan pandangannya sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya, Ma. Itu memang perjanjian pernikahan kami dan aku menyetujuinya dengan sangat sadar.”Jawaban itu menggantung di udara, menciptakan celah ketegangan yang nyaris bisa diraba. Martha mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Martha tidak menyangka kalau dia akan mendengar kejujuran yang sangat cepat.Sejujurnya Alisha sangat bingung, apa yang harus dia perbuat, karena … sudah banyak kebohongan-kebohongan yang mereka ciptakan, rasanya untuk dijelaskan juga sudah percuma, malah akan memperumit keadaan dan menumpuk masalah baru, apalagi Martha sudah mengetahui perjanjian it
Mendengar hal itu, Nariza cukup terkejut. Kenapa tiba-tiba orang tua Zayden ingin bertanya tentang mereka? Dan wajahnya juga terlihat sangat serius. Apa sebenarnya hubungan mereka ada masalah?“Kak Zayden dan Kak Alisha … memangnya kenapa?” tanya Nariza bingung.Walaupun situasi sedikit tegang, tetap Nariza tidak mengerti arah pertanyaan itu. Awalnya ia sempat berpikir Martha akan menyuruhnya untuk menjaga jarak atau bahkan keluar dari rumah itu. Tapi ternyata, kalimat yang keluar justru di luar dugaan.“Ya, tentang mereka,” Martha berkata dengan sedikit menekan.Nariza mengernyitkan keningnya, masih tidak mengerti dengan pertanyaan Martha, karena menurutnya Alisha dan Zayden tidak ada masalah apa pun.detik berikutnya Martha melontarkan pertanyaan yang membuat Nariza nyaris tersedak udara. “Alisha dan Zayden… mereka tidur satu kamar, kan?”Nariza sontak mengerutkan keningnya, terasa aneh mendengar pertanyaan barusan.“Tentu saja mereka di kamar yang sama, tidak mungkin Kak Nariza tidu
Nariza melihat Alisha yang turun dengan wajah sumringah tersenyum menatap kakaknya ini.“Kakak seneng banget pagi ini,” godanya pada Alisha.“Wuih, kamu sudah masak ternyata!” Alisha mengalihkan pembicaraannya, dia hanya tidak ingin Nariza menyinggung paginya dengan Zayden barusan. Entah kenapa dia menjadi salah tingkah saat Zayden melakukan hal itu padanya, untungnya dia bisa menahan diri dan segera menjauh! Kalau tidak …?!“Iya, aku sudah masak! Nungguin kakak turun kelamaan! Tapi aku gak tau ya, apa Kak Zayden suka dengan sarapannya, kan beda tangan yang ngebuatnya.” Nariza berkata sambil terkekeh ringan.“Eh, Iza, nanti kakak mau pergi sama mamanya Kak Zayden, kamu … tinggal di rumah sendiri tidak apa-apa?” Alisha berkata pada Nariza sambil mengambil kerupuk yang ada di dalam toples di atas meja.“Kakak mau pergi sama mama mertua?” Nariza senyum menanggapi ucapan kakaknya itu.Sambil mengunyah kerupuk itu, Alisha mengangguk.“Ya tidak masalah! Pasti mamanya Kak Zayden ini baik bang
Pilihannya tidak semudah itu, karena ada satu hal yang membuat Zayden masih tetap ragu. Alisha juga masih tahu kalau hubungan dan perasaan mereka ini masih terlalu awal.“Entahlah, bisa dipikirkan saja nanti? Kita harus bekerja hari ini.” Alisha berkata dengan suara seraknya.Sementara Zayden dia hanya tersenyum ringan. “Hari ini ada libur nasional, seharusnya kita masih bisa bersantai di rumah.” “Oh, ya?!” tanya Alisha dengan mata membulat.Zayden mengangguk lalu memperlihatkan kalender yang ada di ponselnya.“Ah! Enaknya, artinya aku masih bisa tidur, dong!” Alisha terkekeh puas.Namun, belum sempat niat itu terlaksana ponsel Alisha berdering di atas nakas, dengan gerakan yang malas-malasan, dia kemudian mengambil benda itu.Mama Martha.“Mama menghubungiku,” ucap Alisha pada Zayden.Zayden hanya mengangguk, memberi isyarat agar Alisha menerimanya. Segera, Alisha menggeser tombol hijau di layar.“Halo, Ma,” sapa Alisha saat panggilan tersebut tersambung.“Sayang, apa hari ini kamu s
Zayden terdiam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tapi matanya seketika redup. Jawaban Alisha sepertinya adalah sebuah jawaban yang dia pikir tidak akan pernah dia dengar. Ada jeda. Hening menyergap di antara mereka. Zayden menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Saat kembali membuka matanya, senyum samar terlukis di sudut bibirnya — senyum getir. “Aku mengerti,” ucapnya akhirnya, lirih. “Apa yang kamu mengerti?” tanya Alisha dengan suaranya yang terdengar stabil. “Aku mengerti, jawabanmu memang sangat normal, kupikir hanya aku yang sedikit naif untuk mendengarkan alasan tidak logis.” Zayden berkata datar. Alisha menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu melipat tangannya di depan dada. “Aku ada di sini saat ini, jelas karena kamu adalah Zayden Wicaksana. Tahu kenapa?” Alisha berkata datar menatap tajam ke arah suaminya itu. “Karena saat itu…” Alisha membuka suara, nadanya terdengar santai, tapi ada getaran halus yang samar. “Kamu berhasil membuatku menyetujui se
Suasana di ruangan itu masih membeku. Zayden tetap diam di tempatnya, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Tatapan matanya tidak sedikit pun bergeser dari wajah Helena. Helena menarik napas perlahan, menyandarkan punggung ke kursi antik yang didudukinya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan banyak makna. “Tak peduli kau suka atau tidak, Zayden. Posisi itu akan tetap jatuh ke tanganmu. Dan sebagai pemilik masa depan keluarga Wicaksana, kau tak boleh membuat keputusan yang sembrono, apalagi menyangkut urusan pribadi.” Zayden mendengkus pelan. “Jadi ini semua tentang kuasa?” “Bukan hanya kuasa,” jawab Helena pelan, tapi suaranya cukup untuk memotong udara. “Ini tentang garis warisan, reputasi, dan harga diri keluarga. Kau harus tahu, setiap langkah yang kau ambil akan selalu memiliki dampak. Bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk semua orang yang membawa nama Wicaksana di belakangnya.” Zayden mengepalkan tangannya lebih erat, meredam
Zayden langsung mendatangi kediaman kakek dan neneknya. Dia tahu ini sudah waktunya untuk mereka beristirahat, hanya saja, Zayden tidak suka dengan cara neneknya yang menekan orang-orangnya. Setidaknya dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin! Bukankah dia juga mengatakan pada Arsel untuk segera menemuinya setelah dia sampai?Kali ini Zayden sudah di tahap tidak peduli dengan jam kunjungan tamu! Dia sungguh tidak bisa mentolerir tindakan neneknya lagi kali ini.“Tuan Zayden, Tuan dan Nyonya Besar baru saja istirahat.” Kepala pelayan di rumah ini berkata sopan pada Zayden.“Katakan pada Nyonya Helena, aku datang, kalau dia tidak menemuiku sekarang aku yang akan datang langsung ke kamarnya!” Zayden berkata dengan tegas. Ucapannya seolah-olah tak terbantahkan.“Tapi, Tuan … Nyonya pasti sangat lelah, pagi tadi beliau baru sampai dari luar kota dan juga langsung mengurus Tuan Besar ke untuk berobat dan —”“Katakan saja padanya aku sudah disini. Apa kamu tidak mengerti dengan bah