Kira-kira bakalan gimana, Ya..... heheheh
“Apa kamu bilang?!”Zayden mengembuskan napas dalam sambil menggeleng pelan, seolah menertawakan sesuatu yang hanya bisa ia mengerti. Senyumnya mengembang tipis, nyaris mengejek, namun tak sepenuhnya dingin. Ia menatap Alisha dengan ekspresi geli. Lagipula, apa yang dalam pikiran Zayden tentu saja berbeda dengan Alisha.“Alisha, sudah kukatakan ini tidak sesederhana itu,” ujarnya tenang, matanya menelusuri wajah polos Alisha yang masih penuh rasa penasaran.‘Tentu saja tidak sederhana… karena kamu tidak suka wanita!’ seru Alisha dalam hati. Tapi dia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Ia tidak ingin menyakiti Zayden atau membuatnya merasa tersudut dengan ‘kelainannya’.“Aku hanya mengatakan hal yang paling mungkin saja, lagi pula alasan nenekmu tidak suka denganku sangat logis, karena aku ini bukan siapa-siapa. Seharusnya yang menjadi pendampingmu setidaknya orang yang satu level dan satu lingkungan dengan keluargamu.” Alisha mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya kepada Zayde
Di dalam kendaraan yang membawanya pulang kembali ke kantor Zayden mengirimkan pesan singkat itu pada Alisha, dan tidak berselang lama, wanita itu membalasnya.[“Baiklah! Sore nanti pulang kantor aku akan pergi ke rumah sakit dulu untuk menjenguk Nariza.”]Hanya saja Zayden membacanya dengan wajah datar dan tanpa ekspresi berarti.“Tuan, untuk pengerjaan interior apartemen Anda bisa diselesaikan seluruhnya dalam waktu dua hari lagi dan paling lama bisa tiga hari lagi.” Ucapan Arsel barusan membuat Zayden mengalihkan perhatiannya dari ponsel itu dan segera memasukkan benda pipih itu ke dalam sakunya.“Tidak masalah, yang jelas kamar untuk Nariza selesaikan lebih cepat, karena dokter yang merawatnya mengatakan padaku kalau anak itu sudah bisa pulang besok.” Zayden berkata dengan tenang.“Untuk kamar, sudah saya katakan pada pemborong untuk mempercepatnya, kemungkinan hari ini semuanya sudah rampung.” Arsel langsung memberikan keterangannya.Zayden mengangguk singkat. “Alisha … apa dia a
Setelah pulang bekerja, seperti yang dikatakan Alisha pada Zayden, kalau dia akan mengunjungi Nariza sore ini.Taksi yang membawanya ke rumah sakit sudah sampai.Dengan langkah cepat dia segera ke kamar perawatan Nariza, benar saja seperti perkiraannya, Dokter Hari yang merawat Nariza baru saja keluar dari kamar perawatan Nariza.“Alisha, apa kabar?” tanya dokter Hari berbasa-basi.“Sangat baik, Dok.” Alisha tersenyum lebar. “Nariza, bagaimana, Dok?” Tentu Alisha cukup bersemangat sekarang ini.“Tinggal menjalankan satu kali lagi pemeriksaan besok, kalau hasilnya bagus bisa langsung pulang.” Dokter Hari berkata dengan senyum lebar di wajahnya.“Beneran, Dok?” Alisha berkata dengan nada takjub.“Ya bener dong masa bohongan. Saya yakin hasilnya jauh lebih baik. Saya berharap Mudah-mudahan dia bisa terus mempertahankan keadaannya minimal seperti saat ini.” Dokter Hari berkata tenang, tetapi jelas memberikan kesan sangat bermakna dalam kalimatnya itu.“Aku percaya Nariza pasti bisa lebih b
Sudah untuk yang keberapa kali, Alisha mondar-mandir di dalam kamar. Gelisah. Matanya melirik ke arah jam dinding. Sudah lewat pukul sepuluh malam.Bayangan video itu kembali melintas di benaknya, memutar ulang tanpa izin. Zayden yang tertawa pelan, senyumnya begitu lebar saat memotong makanan di piringnya lalu menukarnya dengan piring wanita lain di seberangnya. Gerakan yang lembut, penuh perhatian. Persis seperti adegan romansa di drama seri maupun cerita novel yang dia saksikan.“Lagi pula, apa peduliku?” gumamnya sambil mengerucutkan bibir, lebih untuk meyakinkan diri daripada menjawab pikirannya sendiri.Dengan cepat ia meraih ponselnya dari atas meja, mengecek layar yang masih sepi. Tidak ada notifikasi apa pun.“Dia ke mana, sih?” gumamnya pelan.Jarinya sempat melayang di atas layar, ragu-ragu mengetik pesan. Tapi akhirnya diurungkan.“Kalau aku hubungin sekarang... ganggu gak, ya?” tanyanya pada diri sendiri. Lalu buru-buru menggeleng. “Nggak, nggak. Nggak usah. Jangan berlebi
Terdengar dengkuran halus tak lama setelah Alisha melontarkan kalimat manja itu. Tapi Zayden bukanlah pria yang bisa dibodohi semudah itu. Sebelah sudut bibirnya terangkat. Tangannya yang semula menahan tubuh agar tak sepenuhnya menindih Alisha, perlahan dilepaskannya, membuat tubuhnya kini benar-benar menghimpit wanita itu.Lalu, dengan suara rendah dan napas hangat yang menyapu helai rambut Alisha, ia berbisik pelan di telinganya, “Berhenti bermain dan bangunlah.”Tak ada respons. Kelopak mata Alisha tetap terpejam, napasnya tetap teratur seolah ia benar-benar masih tertidur.Zayden menarik napas panjang, berusaha menahan diri. Namun jemarinya mulai bergerak. Perlahan menyusuri garis wajah Alisha, turun ke dagu, mengarah ke leher, dan sempat bermain sejenak di sekitar tulang selangka. Sentuhannya tak menekan, tapi cukup membuat detak jantung siapa pun tak akan tenang.“Bangunlah, atau aku akan umumkan siapa sebenarnya istriku pada semua orang,” ucapnya dingin, namun dengan tekanan ya
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zayden barusan, jelas membuat tubuh Alisha membeku. CEMBURU?! MANA MUNGKIN!“Cemburu, kamu bilang?! Aduh yang bener aja!” Alisha mendengkus.“Lagian kamu bilang mau bertemu dengan ketua audit, terus kenapa kamu tiba-tiba bertemu dengan mama di sana?” lanjut Alisha lagi.Zayden membuka kelopak matanya lagi dan melihat tajam ke arah Alisha yang saat ini sedang bersungut dengan suara samar. Pria itu lalu menghela napas dalam. Dia kembali duduk hingga membuat posisi keduanya saling berhadapan saat ini.“Alisha, katakan padaku, apa mencampuri urusan masing-masing itu ada dalam poin perjanjian kita?” Pertanyaan dari Zayden tentu membuat Alisha terdiam.“Ingat, poin itu juga kamu yang menambahkannya.” Zayden kembali melanjutkan.Tiba-tiba tubuh Alisha mendadak beku. Benar, dia yang menambahkan poinnya, saat itu, isi perjanjian pernikahan dari Zayden sangat sederhana, hanya saja semua poin itu tampak abu-abu dan kurang jelas untuk Alisha, jadi dia mena
Tama Halim, CEO sebelumnya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Tanpa ada penunjukan pejabat sementara, posisi tertinggi di perusahaan langsung diserahkan kepada Zayden—lewat proses cepat dan tidak biasanya.Dengan mengesampingkan alasan penunjukan yang dikaitkan dengan Alisha, kenyataannya, papa Zayden seolah melihat kesempatan emas. Seperti mendapatkan jackpot, pria itu mendapatkan alasan kuat lain untuk menempatkan Zayden di perusahaan yang saat itu sudah berada di ambang kehancuran.“Tama Halim,” ulang Zayden datar. “Kenapa kamu bisa mengatakan demikian?” tanya Zayden lagi dengan tatapan menyelidik.“Dia memanggilku secara khusus ke ruangannya, dia tahu kalau aku punya pekerjaan lain sebagai pembuat video iklan. Dia menyuruhku untuk membuat video iklan perusahaan dengan tawaran yang menarik, dan sialnya setelah semuanya selesai dia membatalkannya secara sepihak!” Alisha berkata dengan memperlihatkan wajah kesalnya.Zayden mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali. “Tapi … bukannya
“Kenapa menatapku begitu?” tanya Zayden.Alisha masih terpaku, pandangannya menjadi sangat rumit saat melihat Zayden. Kepalanya sangat berisik tentang banyak hal yang mungkin akan terjadi nanti.Ucapan Zayden sebelumnya memang membuatnya lega kalau Zayden akan ada di pihaknya, namun di sisi lain, keteledorannya itu bisa membawanya ke pusaran permasalahan yang pasti melibatkan reputasi Zayden.Ya, tentu saja itu pasti berpengaruh pada reputasi Zayden. Apalagi kalau hal ini sampai diketahui oleh keluarga besar Zayden yang notabe-nya adalah orang-orang terpandang dan memiliki kekuatan besar. Hanya karena dirinya, sudah barang tentu Zayden akan mendapatkan penghinaan.“Apalagi yang kamu khawatirkan saat ini?” tanya Zayden lagi, karena Alisha terlihat memikirkan sesuatu.“Nanti … apa … masalahku ini akan membuat reputasimu buruk?” tanya Alisha ragu.Zayden menanggapinya dengan datar. “Reputasiku tidak tergantung dengan apa yang kamu lakukan. Kamu tenang saja! Lagipula, kamu tidak mau kalau
Alisha hanya bisa menahan napas, menyadari betapa pria itu bisa membuat emosinya naik turun dalam hitungan detik. Tidak bisakan pria ini membuat hubungan mereka jauh lebih jelas?“Bukan begitu, tapi maksudku–”“Aku tidak bisa melarang orang untuk menyukaiku, lagipula bukankah itu menyenangkan kalau disukai oleh istri sendiri?” Zayden hanya menanggapi datar akan hal itu.“Ya kamu memang tidak punya hak untuk larang orang lain, cuma maksudku, kalau kamu tidak menyukaiku, kamu bisa untuk bersikap biasa saja saat orang lain tidak ada di sekitar kita karena hal ini bisa membuatku–”“Makin menyukaiku?” potong Zayden.Alisha diam.“Kamu menyimpulkan dari mana kalau aku tidak menyukaimu?” Kalimat yang dilontarkan Zayden barusan terdengar datar, tenang, dan tanpa emosi.Hanya saja cukup membuat Alisha mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba untuk menerjemahkan maksud dari pria itu.“Maksudmu?” Zayden menghela napas dalam sebelum akhirnya bicara, “Dari pesanmu itu, kamu hanya menyatakan ses
Setelah mengirimkan pesan itu, Alisha langsung melempar ponselnya ke sembarang tempat. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Beberapa detik dia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia lakukan.Tapi di detik berikutnya — panik itu datang menyerbu.“Ya Tuhan! Apa yang barusan aku lakuin?!” serunya, buru-buru meraih kembali ponsel yang tadi dia lempar.Jari-jarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan. Dan … terlambat! Pesan itu… sudah dibaca.Tubuhnya langsung lemas. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang hitam. “Astaga… bodoh … bodoh … bodoh!” rutuknya sambil menepuk kening sendiri.Kenapa dia bisa seimpulsif itu? Kenapa tanpa pikir panjang, langsung kirim saja? Padahal, dia tahu, hal-hal seperti ini jelas tidak bisa sembarangan! Tidak bisa hanya mengikuti emosi sesaat saja! Kalau begini bukankah malah bikin runyam dan mempermalukan diri sendiri?!"Ah… gimana kalau dia marah? Atau… aduh, jangan-jangan dia malah–" pikiran Alisha berputar ke mana-mana. Kepalanya terasa
Sementara itu, di tempat lain.“Nyonya sepertinya suasana hati Anda sedang baik sekali hari ini.” Danti, asisten pribadi Helena Wijaya berkata padanya saat Helena menikmati makan siangnya.“Ya, tentu saja. Dari laporan terakhir tentang istrinya Zayden sepertinya dia memang wanita baik-baik, hanya nasibnya saja yang kurang beruntung sebelum ini.” Helena berkata santai.Danti tersenyum ringan. “Betul, Nyonya.”“Jadi, menurut Nyonya apa kita perlu selidiki lebih jauh terkait Nona Alisha ini?” tanya Danti memastikan.“Tetap lanjutkan, karena aku ingin membuktikan kalau pernikahan mereka itu ada sesuatu di dalamnya. Mungkin Alisha terlihat sederhana, hanya saja … sikap sederhananya ini perlu digali lagi. Walaupun aku menyukainya, tetap kita perlu waspada.” Helena berkata dengan nada datar.“Baik, Nyonya.” Danti kembali menjawab dengan hormat. “Kalau begitu, mereka tetap perlu bertugas untuk mengawasi mereka.”“Ya, katakan pada mereka bagaimana perkembangan hari ini. Aku sudah tidak sabar i
Alisha masih berdiri di tempat, membiarkan sunyi yang tersisa di kamar itu membungkusnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja menyelesaikan lari jarak jauh. Tangannya masih menempel di kening, tepat di tempat bibir Zayden tadi menyentuh kulitnya.“Apa … barusan?” gumamnya lagi dengan pelan dan mencoba untuk menerka-nerka.Ia menunduk, mencoba mencari alasan logis. Hanya saja alasan logis untuk saat ini sepertinya tidak ada yang cocok kecuali satu hal …. Hanya saja apa itu mungkin? Alisha memejamkan mata, menggeleng cepat, berusaha mengusir perasaan aneh yang baru saja muncul.“Ah, hari ini aku artinya bebas tugas, kan? Tapi … apa alasan yang akan aku berikan pada mereka kalau aku tidak ikut ke sana?” Alisha baru terpikir akan hal ini. Artinya dia harus menciptakan kebohongan lagi.Dia mengirim pesan pada Zayden:Alisha: “Nanti kalau mereka bertanya aku tidak ikut bagaimana?”Zayden: “Aku akan mengatakan kalau kamu tiba-tiba tidak enak badan.”Alisha: “Jangan! Itu sama saja d
Jelas saja dia panik. klien yang akan ditemui ini adalah klien besar, dan sudah bekerja sama dalam waktu yang lama. Itu yang diketahui Alisha, tetapi secara detail dia tidak terlalu paham, karena klien ini dipegang oleh salah satu rekannya–Farhan. Zayden benar-benar memastikan kunjungannya kali ini bisa bertemu dengan pimpinannya langsung.Kalau kejadiannya begini, bagaimana bisa mereka akan tiba tepat waktu?!“Sudah tenang saja, Kak Zayden pasti bisa menanganinya!” Yumi berkata dengan menenangkan Alisha.“Menangani apanya sih?! Udah, ah! Aku mau mikir dulu apa yang harus aku lakukan! Mudah-mudahan bajuku tidak terlalu bau untuk kupakai dua kali!” Setelah mengatakan hal itu, Alisha memutuskan sambungan telepon mereka.Dia kembali menatap layar ponselnya berharap apa yang dikatakan Yumi hanya sebuah lelucon saja! Akan tetapi, waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 10.40, kurang 20 menit jam 11 siang!“Ya Tuhan! Bisa gawat ini!” serunya.Dia kemudian berlari ke ruang tidur, tetapi,
Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, mengenai wajah Alisha yang masih terlelap. Perlahan, kelopak matanya mulai bergerak, lalu terbuka setengah saat cahaya hangat itu menyapa.“Sudah pagi, rupanya…” gumamnya pelan, suaranya serak sisa tidur.Ia berniat mengubah posisi tidurnya, namun baru menyadari ada sesuatu yang berat melingkari pinggangnya. Alisha terdiam sejenak, matanya berkedip-kedip, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih setengah kabur.Perlahan, ia merasakan kehangatan di punggungnya — tubuh seseorang yang begitu dekat, hingga napasnya terdengar jelas di belakang telinganya, teratur dan dalam. Jantung Alisha seketika berdetak lebih kencang. Ia tak perlu menebak lama untuk menyadari siapa pemilik tangan yang kini memeluknya erat dari belakang.‘Astaga… Zayden?!’ teriaknya dalam hati.Kesadarannya langsung utuh seketika. Alisha berbalik untuk memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi!Dan …!Ya Tuhan!? Wajah Zayden terlihat sanga
Setelah pergi mengantar neneknya menemui seseorang, Zayden memutuskan untuk kembali ke hotel dengan menggunakan taksi. Begitu membuka ponselnya di dalam taksi, matanya langsung membelalak. Puluhan panggilan dari Alisha memenuhi layar. Baru sekarang notifikasi itu muncul, setelah mode Do Not Disturb-nya dinonaktifkan.Dia ingin langsung menghubungi Alisha balik, tetapi panggilan Arsel membuatnya mengurungkan niatnya.“Bagaimana, Arsel?” tanya Zayden saat panggilan itu tersambung.“Tuan, sepertinya informasi yang disampaikan oleh orang itu sedikit berbeda setelah kulakukan validasi.” Arsel melaporkan hasil investigasinya pada Zayden.Hal itu membuat Zayden mengerutkan keningnya cukup dalam. “Apa kamu yakin?”“Yakin, Tuan, aku sudah memastikan sekali lagi, karena itu, aku akan kembali menelusurinya lebih dalam setelah ini.” Arsel berkata dengan suara tenang.Zayden menghela napas dalam.“Ya sudah, kalau begitu, cari dengan teliti.” Zayden lalu mematikan sambungan itu.Pikirannya mulai b
Beberapa jam sebelumnya.Setelah meninggalkan Alisha di tempat itu, Zayden menyusul Helena. Dengan perasaan yang sangat kesal dia menghentikan langkah Helena yang baru saja ingin masuk ke mobil.“Nenek tunggu!” cegatnya sambil setengah berlari.Helena menghentikan gerakannya dan memutar tubuhnya melihat ke arah Zayden.Sudah cukup lama … Zayden tidak memanggilnya seleluasa sekarang.Zayden berjalan mendekat. “Kita harus bicara.” Dia berkata dengan suara tegas, lalu melihat ke arah sopir yang sedang membukakan pintu mobil untuk wanita itu dan juga asisten pribadi Helena yang berada di dekatnya dengan tatapan datar. “Empat mata,” lanjutnya lagi.Mengerti dengan yang dimaksud Zayden, sopir dan asisten pribadi Helena itu menunggu perintah dari Nyonya besar mereka.Helena lalu melihat ke arah keduanya dan memberikan isyarat untuk meninggalkan mereka, tetapi sebelum asistennya meninggalkan Helena dia berkata pelan, “Nyonya jangan lupa, kita masih ada janji jam lima sore ini–”“Aku yang akan
Mendengar pernyataan barusan tentu saja Alisha tidak bisa berkata-kata. Saat ini, bahkan mereka hanya berdua saja, dan pria itu bisa bersikap seperti ini? Apa yang coba dia perbuat? Walaupun targetnya sudah berganti untuk menaklukan pria itu, tentu saja tidak akan sudi dia secara terang-terangan mengakui perasaannya yang mulai tumbuh, kan?Setidaknya Zayden tidak boleh membaca isi hatinya!Untuk menetralkan suasana, Alisha dengan sigap mengalihkan topik pembicaraan mereka dengan keras!“Ih, apaan sih! Lagian di sini tidak ada orang lain, jangan bersikap sok manis!” gumam Alisha dengan nada datar, hanya saja riak di dalam hatinya cukup besar.Zayden hanya tersenyum singkat!‘Astaga! Bahkan pria ini sempat-sempatnya tersenyum?! Apa dunia sudah mau kiamat?! Setidaknya, tidak perlu memberikanku harapan tingga kalau nantinya juga akan dihempas kenyataan!’ Alisha berteriak dalam hatinya.“Sudah, ya! itu jangan diganggu-ganggu, biar obatnya meresap dulu.” Alisha berkata santai lalu memberes