Hi semuanya, (★ω★)/ ! Ini bab awal hari untuk menemani kalian sarapan ya! hehehe! Terima kasih sudah selalu menantikan kelanjutan ceritanya! Yuk tinggalkan kesan-kesan kalian tentang tokohnya, hehehe... Sayang kalian banyak-banyak! (♡ >ω< ♡)
Alisha terdiam mendengar penjelasan yang disampaikan oleh Zayden barusan. Pandangan mata Zayden terlalu dalam untuk diselami. Lalu pria itu segera mengalihkan pandangannya, menarik napas dalam seolah-olah memikirkan beban yang tidak mungkin dijangkau oleh Alisha.“Akhir pekan kalau tidak ada urusan mendesak kita temui nenek seperti yang kukatakan padamu kemarin dan kalau dia bertanya bagaimana kita bisa bertemu, katakan saja seperti apa yang kamu ceritakan pada Nariza.” Zayden mengalihkan topik pembicaraan mereka.Alisha berpikir sejenak. “Eh, tapi … tidak mungkin karena cerita itu melibatkan mama.”“Ya sudah disesuaikan saja tanpa ada mama di dalamnya.” Zayden menanggapi dengan cepat.Alisha menggigit bibirnya ragu. Hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Dan sebelum sempat dia menahan diri, mulutnya sudah bertanya, “Sebenarnya... kenapa kamu terlihat seperti membenci nenekmu?”Zayden menatap kosong ke jendela. Untuk beberapa detik, hanya suara napas mereka yang terdengar.“Aku tidak membe
Pagi itu, Alisha terbangun lebih dulu.Kelopak matanya membuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya samar yang masuk dari sela-sela tirai. Tubuhnya terasa berat, bukan karena kelelahan, tapi karena sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang yang masih memeluknya.Ia menundukkan pandangannya, menemukan tangan kanan Zayden yang masih terselip di bawah tubuhnya, seolah enggan melepaskan. Sementara tangan kiri pria itu, tanpa sadar menggenggam erat tangan kanan Alisha.Deg!Alisha mematung beberapa detik, hatinya berdegup campur aduk. Ada kehangatan, ada rasa tidak percaya, ada geli... tapi juga ada ketakutan kecil yang tidak bisa ia jelaskan.Melihat wajah Zayden yang tertidur dengan tenang membuat hatinya terasa penuh. Garis tegas di rahangnya, alis yang sedikit berkerut seperti orang yang tetap serius bahkan saat tidur ... semuanya terasa terlalu manusiawi. Terlalu nyata. Dan terlalu berbahaya untuk hatinya.‘Aku harus keluar sebelum aku benar-benar jatuh makin dalam,’ pikir Alisha pani
Alisha masih berdiri di tempat yang sama, wajahnya merona merah dan suhu tubuhnya meningkat.Nariza meledak tertawa. “Astaga, Kakak! Mukamu merah banget!”Alisha menutup wajahnya dengan kedua tangan. Jantungnya seperti habis diledakkan kembang api raksasa.‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun! Barusan... barusan dia cium aku?! Di depan Nariza?!’Pipinya terasa panas seperti habis dibakar.Tangannya meraba bibirnya yang barusan disentuh Zayden.Rasanya... nyata.Rasanya... terlalu manis untuk dicerna begitu saja.Perasaannya bergejolak liar, campur aduk antara malu, bahagia, gugup, dan rasa ingin menjerit karena terlalu senang.“Kayaknya Kak Zayden itu... beneran suka sama Kakak, deh,” komentar Nariza iseng sambil mengayunkan kakinya di kursi.Alisha membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi, tidak tahu harus berkata apa.Yang ia tahu, hatinya sekarang benar-benar meledak-ledak seperti petasan Tahun Baru.“Zayden ini malu-maluin banget deh!” teriak Alisha.“Sudah gak masalah kok! Lagian cuma di d
Alisha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba melonjak liar. Dia lalu mengangguk pelan dan kembali sibuk membereskan dokumen di mejanya.Mata Zayden belum berpaling darinya. Dengan langkah santai tapi penuh tekanan, pria itu berjalan mendekat lalu mengambil file yang tadi diletakkan Alisha.“Dirga tadi datang?” tanyanya tenang, tapi ada ketegasan tersirat di balik suaranya.Alisha menegakkan bahu, kemudian mengangguk. “Iya. Dia menyerahkan file itu untuk kamu,” jawabnya sambil menunjuk map di tangan Zayden. “Dia mengatakan apa sampai kamu kelihatan kesal begitu?” tanya Zayden.Alisha diam sejenak, ragu untuk mengatakannya, namun tatapan Zayden memaksanya untuk menceritakan apa yang terjadi! Entahlah, memang Alisha tidak pernah bisa menghindar dari perintah mematikan dari pria ini. Akhirnya Alisha mengatakan yang sebenarnya pada Zayden, walau dalam pikirannya saat ini dia terkesan seperti anak kecil yang mengadukan hal remeh pada orang tuanya,
Alisha merenggangkan tubuhnya setelah sekian lama berkutat dengan beberapa file lama yang dibongkarnya. “Aahh leganya!” Dia lalu melihat jam di pergelangan tangannya. “Ya ampun, ternyata hampir jam 7 malam?!” Matanya terbelalak melihat jam di tangannya itu. Dia lalu melihat ke arah ruangan Zayden tidak ada yang keluar masuk lagi setelah Arsel keluar terakhir kali dari ruangan Zayden.“Sepertinya dia sangat sibuk, pasti hari ini dia pulang malam lagi.” Alisha bergumam pada dirinya sendiri.Lalu, dengan cepat dia mengorder makanan di aplikasi makanan untuk mereka berdua, lalu dia segera membereskan file-file itu dan menyusunnya dengan rapi, kemudian mengirim pesan pada Nariza kalau dia tidak makan malam di rumah.Setelah semuanya beres, makanan yang dipesannya sudah sampai.“Tujuh lewat dua puluh lima menit,” gumam Alisha sebelum akhirnya di mengetuk pelan pintu ruangan Zayden."Masuk," sahut suara berat dari dalam.Pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok Alisha yang masuk dengan memb
Langkah kaki Alisha terdengar pelan di lorong kantor yang mulai sepi. Sesekali dia menatap layar ponselnya, mengecek pesan, tapi tak ada hal baru. Hanya pantulan dirinya sendiri yang tampak di layar hitam.Sambil berjalan keluar gedung, pikirannya dipenuhi suara-suara kecil yang mengusik."Kamu akan jatuh cinta beneran pada Kak Zayden."Kata-kata Yumi berputar lagi di kepalanya. Dia menghela napas panjang, berusaha mengabaikannya, tapi tetap saja dadanya terasa berat."Aku ini bodoh atau apa, sih..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar. "Sudah jelas dia tidak menganggapku lebih, kenapa aku masih saja merasa begini?"Langkahnya makin lambat, membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. Di sepanjang trotoar menuju halte, Alisha menunduk, memeluk tubuhnya sendiri. Bukan karena dingin. Tapi karena resah yang makin sulit ia kendalikan.Dia tahu... dia mulai goyah. Pertahanannya yang selama ini ia bangun dengan kokoh, perlahan runtuh tiap kali Zayden menunjukkan perhatian kecil — bah
Malam itu, suasana kantor sudah lengang. Hanya suara detik jam dinding yang menemani Zayden yang masih duduk di belakang mejanya, menatap kosong ke arah layar laptop yang sebenarnya sudah lama ia abaikan.Pintu ruangannya diketuk perlahan, sebelum kemudian Arsel masuk dengan membawa beberapa berkas."Tuan," sapa Arsel, menundukkan kepala sedikit sambil menyerahkan map berisi laporan-laporan tambahan yang sudah ia lengkapi tadi.Zayden mengangguk singkat, menerima map itu tanpa banyak bicara.Namun, Arsel tak langsung pergi. Ada kerutan samar di dahinya. Ia melirik sekilas ke arah jendela gelap yang memperlihatkan bayangan lampu kota, sebelum memberanikan diri bertanya, "Kenapa Tuan belum pulang ke rumah?"Pertanyaan itu dibiarkan menggantung di udara.Zayden hanya menghela napas panjang sebagai jawaban, pandangannya tak beralih dari map di tangannya. Tak ada niat sedikit pun untuk membuka percakapan lebih jauh.Arsel tentu saja tahu batasannya. Jika tuannya sudah bersikap seperti itu,
Zayden membuka matanya perlahan, merasakan sesuatu yang berat di dadanya.Ia menunduk dan menemukan kepala Alisha masih bertumpu di sana, dengan tangan istrinya yang berada di atas perutnya, seolah enggan melepaskan dirinya.Senyum kecil melintas di sudut bibirnya — refleks yang bahkan tidak sempat ia tahan.Ia menatap jam di nakas. Dia cukup terkejut karena sudah nyaris pukul setengah delapan. Mengingat penerbangan mereka di jam 8.30, tentu hal ini tidak memungkinkan lagi mengejar penerbangan itu. Sekali lagi, Zayden bahkan tidur dengan sangat nyenyak!Kalau biasanya ia langsung bangkit dan bersiap, kali ini Zayden memilih tetap diam.Membiarkan waktu berhenti sejenak di antara mereka.Ia mengangkat satu tangannya perlahan, mengusap punggung Alisha dengan gerakan kecil yang penuh kehati-hatian, seolah takut membangunkan istrinya itu."Tidur saja sedikit lagi," bisiknya nyaris tanpa suara, walau ia tahu Alisha mungkin tak mendengarnya.Untuk sesaat, dunia di luar sana — pekerjaan, tang
Mendengar hal itu, Nariza cukup terkejut. Kenapa tiba-tiba orang tua Zayden ingin bertanya tentang mereka? Dan wajahnya juga terlihat sangat serius. Apa sebenarnya hubungan mereka ada masalah?“Kak Zayden dan Kak Alisha … memangnya kenapa?” tanya Nariza bingung.Walaupun situasi sedikit tegang, tetap Nariza tidak mengerti arah pertanyaan itu. Awalnya ia sempat berpikir Martha akan menyuruhnya untuk menjaga jarak atau bahkan keluar dari rumah itu. Tapi ternyata, kalimat yang keluar justru di luar dugaan.“Ya, tentang mereka,” Martha berkata dengan sedikit menekan.Nariza mengernyitkan keningnya, masih tidak mengerti dengan pertanyaan Martha, karena menurutnya Alisha dan Zayden tidak ada masalah apa pun.detik berikutnya Martha melontarkan pertanyaan yang membuat Nariza nyaris tersedak udara. “Alisha dan Zayden… mereka tidur satu kamar, kan?”Nariza sontak mengerutkan keningnya, terasa aneh mendengar pertanyaan barusan.“Tentu saja mereka di kamar yang sama, tidak mungkin Kak Nariza tid
Nariza melihat Alisha yang turun dengan wajah sumringah tersenyum menatap kakaknya ini.“Kakak seneng banget pagi ini,” godanya pada Alisha.“Wuih, kamu sudah masak ternyata!” Alisha mengalihkan pembicaraannya, dia hanya tidak ingin Nariza menyinggung paginya dengan Zayden barusan. Entah kenapa dia menjadi salah tingkah saat Zayden melakukan hal itu padanya, untungnya dia bisa menahan diri dan segera menjauh! Kalau tidak …?!“Iya, aku sudah masak! Nungguin kakak turun kelamaan! Tapi aku gak tau ya, apa Kak Zayden suka dengan sarapannya, kan beda tangan yang ngebuatnya.” Nariza berkata sambil terkekeh ringan.“Eh, Iza, nanti kakak mau pergi sama mamanya Kak Zayden, kamu … tinggal di rumah sendiri tidak apa-apa?” Alisha berkata pada Nariza sambil mengambil kerupuk yang ada di dalam toples di atas meja.“Kakak mau pergi sama mama mertua?” Nariza senyum menanggapi ucapan kakaknya itu.Sambil mengunyah kerupuk itu, Alisha mengangguk.“Ya tidak masalah! Pasti mamanya Kak Zayden ini baik bang
Pilihannya tidak semudah itu, karena ada satu hal yang membuat Zayden masih tetap ragu. Alisha juga masih tahu kalau hubungan dan perasaan mereka ini masih terlalu awal.“Entahlah, bisa dipikirkan saja nanti? Kita harus bekerja hari ini.” Alisha berkata dengan suara seraknya.Sementara Zayden dia hanya tersenyum ringan. “Hari ini ada libur nasional, seharusnya kita masih bisa bersantai di rumah.” “Oh, ya?!” tanya Alisha dengan mata membulat.Zayden mengangguk lalu memperlihatkan kalender yang ada di ponselnya.“Ah! Enaknya, artinya aku masih bisa tidur, dong!” Alisha terkekeh puas.Namun, belum sempat niat itu terlaksana ponsel Alisha berdering di atas nakas, dengan gerakan yang malas-malasan, dia kemudian mengambil benda itu.Mama Martha.“Mama menghubungiku,” ucap Alisha pada Zayden.Zayden hanya mengangguk, memberi isyarat agar Alisha menerimanya. Segera, Alisha menggeser tombol hijau di layar.“Halo, Ma,” sapa Alisha saat panggilan tersebut tersambung.“Sayang, apa hari ini kamu s
Zayden terdiam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tapi matanya seketika redup. Jawaban Alisha sepertinya adalah sebuah jawaban yang dia pikir tidak akan pernah dia dengar. Ada jeda. Hening menyergap di antara mereka. Zayden menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Saat kembali membuka matanya, senyum samar terlukis di sudut bibirnya — senyum getir. “Aku mengerti,” ucapnya akhirnya, lirih. “Apa yang kamu mengerti?” tanya Alisha dengan suaranya yang terdengar stabil. “Aku mengerti, jawabanmu memang sangat normal, kupikir hanya aku yang sedikit naif untuk mendengarkan alasan tidak logis.” Zayden berkata datar. Alisha menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu melipat tangannya di depan dada. “Aku ada di sini saat ini, jelas karena kamu adalah Zayden Wicaksana. Tahu kenapa?” Alisha berkata datar menatap tajam ke arah suaminya itu. “Karena saat itu…” Alisha membuka suara, nadanya terdengar santai, tapi ada getaran halus yang samar. “Kamu berhasil membuatku menyetujui se
Suasana di ruangan itu masih membeku. Zayden tetap diam di tempatnya, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Tatapan matanya tidak sedikit pun bergeser dari wajah Helena. Helena menarik napas perlahan, menyandarkan punggung ke kursi antik yang didudukinya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan banyak makna. “Tak peduli kau suka atau tidak, Zayden. Posisi itu akan tetap jatuh ke tanganmu. Dan sebagai pemilik masa depan keluarga Wicaksana, kau tak boleh membuat keputusan yang sembrono, apalagi menyangkut urusan pribadi.” Zayden mendengkus pelan. “Jadi ini semua tentang kuasa?” “Bukan hanya kuasa,” jawab Helena pelan, tapi suaranya cukup untuk memotong udara. “Ini tentang garis warisan, reputasi, dan harga diri keluarga. Kau harus tahu, setiap langkah yang kau ambil akan selalu memiliki dampak. Bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk semua orang yang membawa nama Wicaksana di belakangnya.” Zayden mengepalkan tangannya lebih erat, meredam
Zayden langsung mendatangi kediaman kakek dan neneknya. Dia tahu ini sudah waktunya untuk mereka beristirahat, hanya saja, Zayden tidak suka dengan cara neneknya yang menekan orang-orangnya. Setidaknya dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin! Bukankah dia juga mengatakan pada Arsel untuk segera menemuinya setelah dia sampai?Kali ini Zayden sudah di tahap tidak peduli dengan jam kunjungan tamu! Dia sungguh tidak bisa mentolerir tindakan neneknya lagi kali ini.“Tuan Zayden, Tuan dan Nyonya Besar baru saja istirahat.” Kepala pelayan di rumah ini berkata sopan pada Zayden.“Katakan pada Nyonya Helena, aku datang, kalau dia tidak menemuiku sekarang aku yang akan datang langsung ke kamarnya!” Zayden berkata dengan tegas. Ucapannya seolah-olah tak terbantahkan.“Tapi, Tuan … Nyonya pasti sangat lelah, pagi tadi beliau baru sampai dari luar kota dan juga langsung mengurus Tuan Besar ke untuk berobat dan —”“Katakan saja padanya aku sudah disini. Apa kamu tidak mengerti dengan bah
Beberapa jam sebelumnya.Saat Arsel memasuki kediaman Keluarga Wicaksana, selalu saja ada hal yang perlu dia waspadai, jelas ini akan berkaitan dengan Zayden. Hanya saja, kali ini dia masih belum bisa menebaknya secara jelas.Arsel mengiringi langkah Danti yang membawanya ke ruang kerja Helena.“Masuklah Pak Arsel, Nyonya sudah menunggu di dalam.” Danti menghentikan langkahnya tepat di depan pintu besar itu.“Terima kasih,” ucap Arsel lalu mendorong pintu itu.Baru saja menutup pintu, aura dominan ruangan ini sangat menekannya. Bahkan walau dia sudah terbiasa dengan Zayden yang memang tampak dingin itu, Helena jauh lebih dari itu.“Duduklah,” ucap Helena dengan suara datar, menyuruh Arsel untuk duduk di sofa tamu.Arsel mengangguk sopan, dalam hati jelas sudah tenang. Apalagi tatapan Helena sangat tajam dan menusuk.Kemudian Helena membawa beberapa file dan meletakkannya di atas meja yang ada di depan Arsel.“Ini … apa Nyonya?” tanya Arsel pelan, di depannya sudah ada amplop coklat bes
Di tempat lain, jauh dari hiruk pikuk hotel tempat Zayden dan Alisha berada, suasana di sebuah ruangan megah dengan interior klasik-modern itu terasa tenang, hanya diisi suara detik jam dinding antik yang menggema pelan.Helena Wicaksana duduk anggun di balik meja kerjanya. Di hadapannya, secangkir teh melati masih mengepulkan uap harum. Wanita paruh baya itu tampak tenang, membaca sebuah laporan yang baru saja diberikan asistennya, Danti.Senyum tipis mengembang di wajah Helena saat beberapa lembar foto terpampang jelas — Zayden dan Alisha, tertangkap kamera sedang berjalan berdua, duduk berdekatan, bahkan sebuah foto samar ketika Zayden tanpa ragu memegang tangan Alisha di pinggir pantai.Bahkan laporan video tentang keduanya juga terlihat jelas saat ini, hal ini membuat Helena mengangguk pelan, walau dalam hatinya masih tersirat sedikit kecurigaan terhadap hubungan keduanya saat melihat foto dan video ini rasanya semuanya memudar begitu saja.Helena menegakkan duduknya. “Sepertinya
Usai mandi, Alisha tampak jauh lebih segar. Rambutnya yang masih sedikit basah di bagian ujung dibiarkan tergerai alami, menyentuh bahu dengan manis. Wajahnya bersih tanpa riasan berlebih, hanya sedikit sapuan lip balm dan bedak tipis yang membuat kulitnya terlihat cerah alami. Mengenakan blouse merah muda sederhana dipadukan celana kain lembut, penampilannya tampak rapi sekaligus nyaman.Baru saja ia selesai merapikan rambut di depan cermin, suara bel kamar terdengar pelan namun jelas.TING TONG!Alisha refleks menoleh saat suara bel terdengar, lalu berjalan santai ke arah sekat kamar. Begitu membuka pintu, aroma segar dari tubuhnya masih samar tercium, menyisakan suasana nyaman di ruang itu.Dari ruang tengah, terdengar suara ringan Farhan yang sempat ingin berdiri. Namun sebelum sempat melangkah, Alisha sudah bersuara. “Eh, kalian lanjutkan saja. Pasti itu dari hotel, bawain sarapan,” ucapnya santai dengan senyum kecil.Ketiganya langsung menoleh, dan Zayden yang tengah duduk di sof