“Pergilah menemani istrimu,” ucap Bella tanpa menoleh. “Aku baik-baik saja dan sudah melakukan tugasku. Alfie sudah kuberi susu dan sudah lelap. Aku bahkan membacakan buku cerita untuknya... walau hatiku remuk.”
“Bella, mengapa?” suara Deon rendah, menahan sesuatu yang hampir meledak.
Bella menatap tangannya yang masih dipegang, lalu menariknya perlahan. “Aku lelah, Tuan Deon. Jangan pernah berjanji padaku lagi, yang ada nanti hanya rasa sakit,” ucapnya, datar namun mengandung luka yang dalam.
“Bella, mohon dengarkan aku dulu. Aku… bukan maksudku untuk membuatmu merasa ditinggalkan, aku hanya—”
“Tuan Deon,” Bella memotong. Tatapannya kini lurus, mata itu nyaris berkaca-kaca. “Kamu tahu kenapa aku mengorbankan diriku untuk menyelamatkan Alfie? Bukan karena aku pengasuhnya. Bukan karena itu tugasku.”
Ia mengatupkan bibirnya sesaat, lalu berkata dengan pel
“Pergilah menemani istrimu,” ucap Bella tanpa menoleh. “Aku baik-baik saja dan sudah melakukan tugasku. Alfie sudah kuberi susu dan sudah lelap. Aku bahkan membacakan buku cerita untuknya... walau hatiku remuk.”“Bella, mengapa?” suara Deon rendah, menahan sesuatu yang hampir meledak.Bella menatap tangannya yang masih dipegang, lalu menariknya perlahan. “Aku lelah, Tuan Deon. Jangan pernah berjanji padaku lagi, yang ada nanti hanya rasa sakit,” ucapnya, datar namun mengandung luka yang dalam.“Bella, mohon dengarkan aku dulu. Aku… bukan maksudku untuk membuatmu merasa ditinggalkan, aku hanya—”“Tuan Deon,” Bella memotong. Tatapannya kini lurus, mata itu nyaris berkaca-kaca. “Kamu tahu kenapa aku mengorbankan diriku untuk menyelamatkan Alfie? Bukan karena aku pengasuhnya. Bukan karena itu tugasku.”Ia mengatupkan bibirnya sesaat, lalu berkata dengan pel
Pernyataan itu menghantam tepat di dada Deon. Ia tahu betul anaknya bukan tipe yang mudah berkata seperti itu, kecuali dipicu oleh sesuatu. Atau... seseorang.Dengan napas berat, Deon menjawab, “Baik. Papa ke sana setelah mengantar Mommy ke rumah Nenek.”Klik!Deon memutuskan panggilan tanpa menunggu sahutan dari putranya.Begitu sambungan terputus, Deon memukul stir pelan. Pandangannya suram. Entah lebih marah pada Bella... atau pada dirinya sendiri karena membiarkan semua ini terjadi. Sebuah ketidakberdayaan.Deon menoleh ke arah Jannah. Wajah yang pucat namun terlelap dengan tenang. Ia mengulurkan sebelah tangannya, mengelus lembut rambut kecil di kening Jannah seolah takut membangunkan sang istri yang tertidur dengan tubuh sedikit miring ke jendela mobil.Beberapa menit kemudian, mobil Deon baru saja memasuki halaman rumah ibunya. Lampu-lampu teras menyala lembut menyambut mereka.Tiba-tiba ponsel Deon berdering kembal
Baru saja Deon hendak menginjak pedal gas, suara ponselnya memotong kesunyian. Ia melirik layar. Panggilan dari Ibundanya.Deon menghela napas pelan sebelum menekan tombol hijau.“Iya, Ma?”Suara ibunya terdengar tenang tapi tegas dari seberang sana. “Bawa Jannah ke mari. Ada yang Mama mau bicarakan dengannya.”Deon menoleh sekilas ke arah Jannah yang masih diam membisu di kursi penumpang. Matanya sayu, tapi jelas menahan banyak perasaan yang belum sempat terucap.“Apakah kalian sudah baikkan?” tanya ibunya lagi.“Tentu, Ma,” jawab Deon cepat. “Aku akan mengantarnya ke sana.”Hening sesaat, lalu suara ibunya terdengar lagi, kali ini lebih menekan, “Deon... apakah kalian sudah benar-benar sudah baikkan?”Deon tersenyum tipis, matanya melirik Jannah yang wajahnya masih merah. “Ya, Ma. Aku baru saja menciumnya.”Ada jeda hening yang ganjil d
Seketika ruangan terasa lebih dingin, seolah hawa di sekitarnya berubah. Mata Deon langsung menangkap momen itu.Afgan berdiri sangat dekat dengan Jannah, dan yang membuat dadanya seperti terbakar adalah tisu di tangan pria itu yang baru saja menyentuh wajah istrinya.“Apa yang kau lakukan?*” suara Deon dalam dan penuh tekanan.Afgan menoleh cepat, tak sempat menjauh. “Aku hanya membantu. Dia lelah dan keringat setelah latihan. Tidak ada maksud apa pun.”Langkah Deon perlahan mendekat. Tatapannya menusuk ke arah Afgan, lalu beralih ke Jannah. “Jadi sekarang kau nyaman dibantu seperti itu? Bahkan sampai keringatmu pun dia yang urus?”Jannah mengangkat wajahnya, napasnya masih berat, meletakkan beban barbelnya ke samping dan membalas tatapan Deon dengan penuh kekesalan. “Tidak seperti yang kamu lihat, Deon.”“Dan kau juga tidak melarang dia menyeka keringatmu,” balas Deon dingin.
Bella segera menyodorkan tangannya yang tersiram bubur, "perih dan melepuh!" geramnya. Deon memahami gerakan yang ditunjukkan dan menoleh tajam ke arah Jannah karena kenyataan yang sudah terpampang di depan matanya membuatnya merasa kesal kepada Jannah.Bella segera mencubit lengannya sendiri dengan genggaman kelima jarinya yang kuat saat mereka sedang berbicara sehingga lengannya tampak memerah."Lihat, lengan aku sampai merah seperti ini, masih juga bilang tidak panas! Rasanya... kayak terbakar," ucap Bella sambil meneteskan air matanya."Mommy jahat! Alfie melihat sendiri, Ibu Bella cuma mau mengambil rantang agar nanti baru Alfie makan, karena Alfie masih kenyang. Mommy yang jahat!" seru Alfie dari atas ranjang.Perkataan dan pembuktian dari Alfie, membuat hati Jannah bagaikan tertusuk pisau belati yang tajam. Jannah hanya bisa menunduk dan membiarkan air matanya menetes membasahi lantai yang menjadi saksi biksu bahwa dia tidak melakukan kesalahan. Na
Deon mendongak, matanya memerah. Membalas tatapan Naila dengan penuh kemarahan.“Bukan saat dia pergi,” ujar Naila pelan, “tapi saat dia datang kembali... setelah semuanya terlambat.”Lalu Naila melangkah kembali menuju ke mobilnya, menekan laju gas kuat-kuat meninggalkan Deon yang masih terpaku di sana.Deon segera menekan laju gas kuat-kuat untuk mengejar mobil yang dikendarai Afgan. Dadanya terasa sesak dan nafasnya berat. Amarah serta cemburu menguasai dirinya bercampur dengan perasaan bersalah karena tidak pernah memberikan perhatian terhadap kondisi kesehatan Jannah sebelumnya.Mobil Afgan duluan sampai di depan halaman Rumah Sakit Mahendra, Afgan dan Jannah turun dari mobil tanpa menyadari keberadaan mobil Deon yang menyusul mereka. Kedua mata Deon membulat saat menyaksikan bagaimana Afgan membuka pintu mobil bagi Jannah dan melindungi kepalanya supaya tidak terantuk kap mobil saat keluar dari pintu mobil.Jannah membawa sebuah rantang kecil di tangannya."Aku ingin mengunjungi