Teriakan putus asa terdengar dari Jannah yang menyaksikan semuanya.Dan kabar duka datang tak lama setelahnya.Namun sebelum itu, sebelum nasib buruk menjemput, sang ibu sempat berbisik pada sahabatnya saat mereka masih di dalam kereta gantung:"Kalau aku tidak selamat... jagalah Jannah... tolong carikan suami yang baik untuknya. Pria kaya yang bisa menafkahinya dengan layak. Jangan biarkan anakku hidup menderita setelah aku tiada... Dia tidak memiliki tubuh yang sehat. Tolong."Dan sejak hari itu, benih pernikahan mereka ditanam bukan karena cinta, tapi karena amanat yang ditanggung oleh Ibunda Deon.Karena rasa bersalah. Karena rasa terima kasih yang terlalu dalam. Seandainya Ibu Jannah memilih egois dan menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu, maka Deon tidak akan pernah melihat ibunya lagi sama sekali.Walau saat ini, penglihatan sang ibu sangat terbatas dan kedua kakinya tidak dapat dipulihkan, Deon masih bisa melihat ibunya dan berusaha
Deon duduk diam di balik kemudi. Lampu jalan menyorot kaca depan mobilnya dengan bias samar, namun pikirannya jauh lebih gelap dari malam di luar sana. Kata-kata Bella masih menggema dalam benaknya:"Jannah sebenarnya tidak pernah mencintaimu..."Ia menatap kosong ke depan, tanpa benar-benar melihat. Dadanya sesak. Ia ingin menepis semuanya, tapi benaknya terlanjur penuh.Ponselnya tiba-tiba berdering. Nada sambung itu terdengar nyaring dalam keheningan.Deon melirik layar. "Ibu."Dengan enggan, ia menekan tombol hijau."Deon, kamu di mana, Nak? Hari sudah malam. Kami sudah makan malam, tapi kamu belum juga muncul..."Suara ibunya terdengar lembut, tapi jelas ada nada khawatir di sana.Deon menutup mata sejenak, lalu bertanya pelan, "Di mana Jannah?""Dia sudah kembali di kamarnya. Wajahnya lelah sekali tadi. Sepertinya dia menunggu kamu, tapi tak sanggup menahan kantuk... mungkin juga dia sudah tidur."
Kedua mata Deon membelalak. Tiga detik berlalu dengan cepat."Lepaskan."Lelaki itu segera mendorong tubuh Bella pelan, menjaga jarak seolah ada dinding tak kasat mata yang tak boleh dilanggar.Suara Deon terdengar datar, tanpa intonasi marah, tapi cukup untuk membuat Bella membeku.Dengan gerakan canggung, Deon menghapus sisa saliva Bella yang tertinggal di bibirnya. Ia tampak tak nyaman, juga canggung. Sebagian karena rasa bersalah, sebagian lagi karena penyesalan yang belum selesai di dalam dirinya."Bella.""Aku memang berjanji akan menemanimu," lanjutnya lirih, "tetapi bukan begini caranya. Kamu tahu... aku masih memiliki istri. Dan aku..."Kalimat itu terhenti saat tatapannya ke arah Bella terpaku. Kedua mata Bella langsung berkaca-kaca. Napasnya tercekat. Tubuhnya kaku.Kata-kata itu seperti cambuk."Ya, kah?" bisiknya getir, senyuman getir terbentuk di wajahnya yang masih basah oleh air mata."Setelah dia memilih pergi nonton di bioskop bersama dokter tampan itu?"Suara Bella
“Pergilah menemani istrimu,” ucap Bella tanpa menoleh. “Aku baik-baik saja dan sudah melakukan tugasku. Alfie sudah kuberi susu dan sudah lelap. Aku bahkan membacakan buku cerita untuknya... walau hatiku remuk.”“Bella, mengapa?” suara Deon rendah, menahan sesuatu yang hampir meledak.Bella menatap tangannya yang masih dipegang, lalu menariknya perlahan. “Aku lelah, Tuan Deon. Jangan pernah berjanji padaku lagi, yang ada nanti hanya rasa sakit,” ucapnya, datar namun mengandung luka yang dalam.“Bella, mohon dengarkan aku dulu. Aku… bukan maksudku untuk membuatmu merasa ditinggalkan, aku hanya—”“Tuan Deon,” Bella memotong. Tatapannya kini lurus, mata itu nyaris berkaca-kaca. “Kamu tahu kenapa aku mengorbankan diriku untuk menyelamatkan Alfie? Bukan karena aku pengasuhnya. Bukan karena itu tugasku.”Ia mengatupkan bibirnya sesaat, lalu berkata dengan pel
Pernyataan itu menghantam tepat di dada Deon. Ia tahu betul anaknya bukan tipe yang mudah berkata seperti itu, kecuali dipicu oleh sesuatu. Atau... seseorang.Dengan napas berat, Deon menjawab, “Baik. Papa ke sana setelah mengantar Mommy ke rumah Nenek.”Klik!Deon memutuskan panggilan tanpa menunggu sahutan dari putranya.Begitu sambungan terputus, Deon memukul stir pelan. Pandangannya suram. Entah lebih marah pada Bella... atau pada dirinya sendiri karena membiarkan semua ini terjadi. Sebuah ketidakberdayaan.Deon menoleh ke arah Jannah. Wajah yang pucat namun terlelap dengan tenang. Ia mengulurkan sebelah tangannya, mengelus lembut rambut kecil di kening Jannah seolah takut membangunkan sang istri yang tertidur dengan tubuh sedikit miring ke jendela mobil.Beberapa menit kemudian, mobil Deon baru saja memasuki halaman rumah ibunya. Lampu-lampu teras menyala lembut menyambut mereka.Tiba-tiba ponsel Deon berdering kembal
Baru saja Deon hendak menginjak pedal gas, suara ponselnya memotong kesunyian. Ia melirik layar. Panggilan dari Ibundanya.Deon menghela napas pelan sebelum menekan tombol hijau.“Iya, Ma?”Suara ibunya terdengar tenang tapi tegas dari seberang sana. “Bawa Jannah ke mari. Ada yang Mama mau bicarakan dengannya.”Deon menoleh sekilas ke arah Jannah yang masih diam membisu di kursi penumpang. Matanya sayu, tapi jelas menahan banyak perasaan yang belum sempat terucap.“Apakah kalian sudah baikkan?” tanya ibunya lagi.“Tentu, Ma,” jawab Deon cepat. “Aku akan mengantarnya ke sana.”Hening sesaat, lalu suara ibunya terdengar lagi, kali ini lebih menekan, “Deon... apakah kalian sudah benar-benar sudah baikkan?”Deon tersenyum tipis, matanya melirik Jannah yang wajahnya masih merah. “Ya, Ma. Aku baru saja menciumnya.”Ada jeda hening yang ganjil d