LOGINTak lama, Kakek Robert muncul, langkahnya mantap dengan ketukan tongkatnya yang teratur di lantai marmer nan mewah di rumah itu, meski usianya sudah lanjut. Sorot matanya tajam, memindai keadaan sekitar sebelum akhirnya berhenti pada Bella.
“Selamat siang, Kakek Robert,” sapa Bella sopan, menundukkan kepala. “Kenapa repot-repot ke sini? Seharusnya saya yang menjenguk…”
Kakek Robert tidak menjawab langsung. Tatapannya justru jatuh pada Alfie yang tertidur, lalu kembali pada Bella.
“Aku datang karena aku mendengar banyak hal,” ucapnya akhirnya, suara berat dan berwibawa. “Aku ingin memastikan dengan mata kepalaku sendiri.”
Bella pura-pura bingung, memainkan perannya dengan hati-hati. Ia menghela napas panjang, lalu menunduk, membiarkan suaranya terdengar bergetar.
"B-baik, saya akan pergi dari kehidupan Deon, Kek," ucap Bella, merasa lemah dan tidak berdaya.
"Eh, apa katamu?"
Kaca gedung tinggi itu memantulkan wajah Bella dengan sempurna, rapi, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Langit Irlandia kelabu, awan-awan juga menggantung rendah, seolah dunia pun tahu bahwa di balik ketenangan ini ada sesuatu yang tidak pernah benar-benar selesai.Bella menyilangkan tangan di dada.Senyumnya muncul perlahan. Bukan senyum bahagia. Lebih mirip lengkungan tipis yang lahir dari rasa meremehkan.“Jadi Afgan gagal?” gumamnya lirih.Ia menghela napas kecil, lalu tertawa pelan, tawa tanpa suara yang bahkan tidak menggetarkan dadanya.“Bodoh,” lanjutnya, masih menatap pantulan dirinya sendiri.“Sama seperti sejak pertama kali aku mengenalnya.”Di benaknya, potongan-potongan berita itu kembali berputar: Afgan tertangkap. Cacat. Vonis seumur hidup. Seluruh rencana berantakan, jatuh satu per satu seperti kartu domino yang disusun terlalu tinggi oleh tangan ceroboh.Perempuan itu tertawa l
Bukan ciuman penuh tuntutan.Bukan juga ciuman yang ingin mengikat.Hanya sentuhan singkat, pengakuan diam-diam bahwa cinta itu belum sepenuhnya mati.Dan Jannah tidak menolak.Matanya terpejam. Napasnya bergetar. Ada bagian dari dirinya yang masih mengenal kehangatan itu, yang masih mencintai pria yang berdiri di hadapannya, pria yang menjadi ayah dari Alfie dan Amara, pria yang pernah menjadi seluruh dunianya sebelum segalanya runtuh.Namun ketika Deon sedikit menjauh, Jannah membuka mata.Tatapannya basah, namun jernih.“Dirimu mungkin menutup celah untukku, tapi tubuhmu sangat jujur. Aku tahu kamu mencintaiku, Jannah. Maukah kamu memberiku kesempatan lagi?” tanya Deon pelan.Kalimat itu tidak diucapkan dengan nada memaksa. Tidak juga dengan putus asa. Hanya harapan yang jujur, harapan seorang pria yang akhirnya berani mengakui bahwa ia takut kehilangan.Di luar dugaan Deon, Jannah menggeleng.Bukan
"Kalimat malam pertama itu, aku sungguh takut, Deon. Itu tergiang di dalam kepalaku dan tawanya itu...""Jannah..."Deon perlahan mendekat, lalu dengan lembut memeluk tubuh Jannah yang gemetaran."Kita tidur kembali? Aku akan memelukmu sampai kamu merasa nyaman, lalu aku akan kembali ke kamarku, bagaimana?"Setelah berpikir cukup lama, Jannah mengangguk, lalu membiarkan Deon menggendongnya ala bridal style, kemudian membaringkannya dengan lembut ke ranjangnya.Suatu malam, Jannah menangis tanpa suara. Namun, Deon yang tidak bisa tidur kebetulan sedang berenang malam di kolam renang belakang rumah mereka.Saat hendak ke dapur, Deon terkejut karena Jannah meringkuk dekat kulkas."Jannah? Kamu baik-baik saja?""Deon... A-aku, mimpi buruk lagi."Deon buru-buru mendekatinya lalu memeluk Jannah dengan lembut seperti biasa."Jannah, jangan takut, bagaimana kita kembali ke kamarmu? Aku akan menggendongmu, ya?"&ldq
Ia menangkap sesuatu di mata Deon, bukan harap yang memaksa, melainkan kehati-hatian. Ia mengangguk kecil. “Ke rumah saja,” jawabnya. “Maya mungkin sedang menunggu untuk bertemu denganku.”Nama itu membuat Deon menelan ludah. Ibunya sudah memberikan semua kekayaan dan aset yang ia miliki sehingga dia bisa bangkit kembali dan menjemput istri serta anak-anaknya.Deon menegaskan dirinya untuk mencari cara agar mereka tidak perlu melanjutkan proses perceraian.Setelah beberapa jam perjalanan yang melelakan, mereka akhirnya tiba.Rumah besar itu masih tampak sama.Cat dinding krem, taman kecil di depan yang selalu Deon rawat sendiri, dan jendela ruang keluarga yang dulu sering menyala hingga larut malam, saat mereka masih percaya cinta bisa menyelesaikan segalanya.Alfie berlari keluar begitu mobil berhenti, memeluk Nenek dengan antusias, lalu memeluk Kakek Robert dengan canggung namun tulus."Kalian pasti sud
Ia hanya menatap lurus ke depan, matanya basah namun wajahnya dingin. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar mengerti sesuatu—cinta yang melukai, bukan cinta. Itu hanyalah keinginan untuk memiliki."Perempuan ini, dia berlari kepadaku dengan menawarkan semua kelembutan yang ingin aku miliki sebagai pria dewasa. Lihatlah dirinya yang begitu cantik. Dengan status sebagai istri orang, dia merayuku. Membuatku percaya bahwa ia ingin meninggalkan dan bercerai dengan suaminya yang gila kerjaan dan sibuk berselingkuh dengan asistennya, Bella.""Tidak, kau omong kosong." Deon berdiri dan memekik dengan marah.Hakim mengetukkan palu.“Diam. Pengunjung yang menganggu area persidangan akan diusir keluar secara tidak hormat!"Hening. Deon duduk kembali dengan telinga yang masih terasa panas."Pengadilan akan mempertimbangkan semua pernyataan.”Vonis dijatuhkan dua minggu kemudian.Ruang sidang kembali penuh.Media me
Deon menarik napas lalu menggendong Jannah sehingga ia kembali dibaringkan ke atas ranjang. Deon duduk di atas ranjang lalu mulai bercerita."Cahyo patah kakinya, Naila mengalami persalinan dini tapi ibu dan anak sehat, sementara Vincent, paling parah dari semuanya. Ia sempat melawan anjing-anjing ganas itu sendirian. Dia baru selesai menjalani operasi bedah karena divonis geger otak ringan.""Vincent, menyelamatkanku dan Afgan memukul kepalanya sampai dia pingsan sebelum diseret ke kandang anjing," sahut Jannah dengan suara serak."Hmm, aku pasti tidak akan melupakan jasa Vincent dalam menyelamatkanmu, tapi saat ini, aku punya urusan penting bersamamu," ucap Deon lalu bergerak mendekati Jannah."K-kau, mau apa?""Menciummu, istriku. Aku sudah merindukanmu terlalu lama..."Sebuah ciuman yang lama dan hangat membuat kedua insan itu seolah sedang terbang ke dunia lain yang indah.Jannah melingkarkan tangannya di leher Deon dan menerima







