Ucapan itu membuat Deon terdiam seketika. Sorot matanya sempat goyah, tapi ia mencoba mempertahankan ekspresi dinginnya.
“Semua yang kamu miliki sekarang,” lanjut Kakek Robert perlahan, menekankan setiap katanya, “rumahmu, perusahaan ini, saham, fasilitas, bahkan pengaruhmu di kalangan pebisnis… semuanya masih atas nama keluargaku. Tanpa aku, kamu bukan siapa-siapa.”
Deon mengepalkan tangannya makin keras. “Aku tidak peduli soal harta. Aku bisa hidup tanpa itu semua.”
“Benarkah?” Kakek Robert mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap cucunya lekat-lekat. “Lalu… dengan apa kamu akan mengobati Jannah?”
Mata Deon membesar, napasnya tercekat. "Pikirkan baik-baik, Deon. Atau kamu akan mempercepat kematian istrimu yang tidak berguna itu!"
Kakek Robert berdiri perlahan, langkahnya mantap lalu dinaikkan tongkatnya mendekati sampai ujung tongkat itu menekan pundak sebelah kiri milik Deo
Bab 201"Kita sama-sama suka, bukan?"Bella menoleh ke arah lain dengan mata yang sudah terisi penuh air mata. Dia tidak boleh menangis di hadapan pria itu."Aku menunggumu jam lima sore, mandilah supaya wangi ya?"Usai mengatakan itu, Tomy membuka pintu dan melambaikan tangan.Di dalam kamar, Bella berlutut di lantai lalu menangis sepuas-puasnya. Menjerit dan mulai membanting semua barang yang mudah pecah.Para pelayan merasa aneh dan bingung mendengar keributan yang ada di dalam kamar majikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang berani mendekat karena mereka tidak ingin menjadi sasaran empuk kemarahan perempuan itu.***Jam lima sore, tepat ketika Bella turun dari taksi, ia berdiri di depan pintu rumah Tomy dan menelusuri rumah yang sederhana lalu merasa jijik."Kau tidak kaya, walau tampan dan kemampuanmu di atas ranjang cukup baik, itu tidak akan membuatku menjadi milikmu," gumamnya setengah berbisik."Aku mau
Bab 200Bella menunduk, memainkan ujung selimut di pangkuannya dengan canggung. “Aku hanya… banyak pikiran.”Tommy mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tentang Deon?”Bella mengangkat wajahnya pelan, matanya berkaca-kaca. “Tomy, jangan mulai… Hubungan kita, maksudku, semalam adalah... kesalahan.”“Kesalahan?” tanyanya cepat. “Aku bisa melihatnya dari caramu menahan napas setiap kali menciumku dan tubuhmu bergetar hebat saat aku menyentuhmu, apakah itu kesalahan yang disengaja?"Hening.Suara detik jam dinding terdengar begitu jelas di tengah udara yang menegang itu.Bella memejamkan mata. “Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak tahu lagi harus menjelaskan kepadamu. Hubungan ini tidak seharusnya terjadi. Aku punya keluarga dan..."Tomy menatapnya lebih lekat lalu meraih dagunya sehingga tatapan mereka menyatu. “Kamu merasa bersalah... Mungkin karena ka
Deon memang pendiam, namun dia sering melirik istrinya dalam hening. Atau saat Jannah tidur, dia ingin menyentuhnya, menciumnya, namun dia harus membatasi diri karena dia sadar rapuhnya tubuh sang istri. Ia sudah lama menahan banyak hal, terlalu banyak hal yang tak bisa ia ucapkan.Saat ini, semua hampir hancur. Alfie yang mendadak menjadi pendiam dan Bella yang gila-gilaan belanja serta tidak pulang semalam sehingga menjadi sakit hari ini.Bella duduk di sofa dengan tubuh terbungkus selimut, berusaha tersenyum walau wajahnya tampak pucat. Tubuhnya terasa remuk bukan karena penyakit, tetapi karena pria semalam menyiksanya berulang kali di atas ranjang yang hanya diketahui oleh mereka berdua.“Deon, kamu tidak usah terlalu khawatir. Alfie anak kuat, dia akan cepat sembuh.”Deon menoleh, menatap Bella sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kamu sendiri bagaimana? Sudah baikan? Aku lihat kamu agak lesu dan masih pucat.”Bella buru-buru menunduk, menutupi kec
“Baik,” katanya perlahan tapi mantap, “kalau itu maumu, aku akan membawanya pulang sekarang juga.”Bella membeku di tempat. Ia tak menyangka kalimat itu benar-benar keluar dari bibir pria itu.“Deon…”Namun Deon sudah mengambil kunci mobil dan melangkah tanpa menoleh. Tatapan matanya menusuk, dan setiap langkah yang menjauh dari rumah itu terdengar seperti cambuk yang memukul dada Bella.Pintu tertutup keras.Bella terdiam beberapa detik, menatap ruang makan yang kini kosong, hanya menyisakan suara detak jam yang lambat tapi menusuk.Tangan Bella gemetar. Bukan karena marah, tapi karena sadar, ia baru saja menyalakan api yang mungkin akan membakar dirinya sendiri.Ia mencoba menenangkan napasnya, tapi dada itu terasa sesak. Tatapan Deon sebelum pergi, dingin dan pasti, membuatnya takut, takut bahwa kali ini pria itu sungguh akan melakukan apa yang ia katakan.Dan kalau De
Bella berjalan cepat ke tepi jalan, menghentikan taksi pertama yang lewat. Begitu duduk di kursi belakang, ia menarik napas panjang, tapi udara terasa menyesakkan. Dunia di luar jendela berputar cepat, gedung-gedung, pepohonan, dan langit biru bercampur jadi satu dalam pandangan kabur.Dalam keheningan kabin, pikirannya berlari ke arah yang tidak ingin ia tempuh. Setiap kalimat Tommy semalam bergema kembali, tentang cinta yang salah, tentang kesetiaan, tentang kehilangan diri sendiri demi seseorang.Ciuman yang dasyat dan aroma maskulin yang dia sukai dalam setiap sentuhan Tomy.Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela taksi. Wajahnya tampak asing, wanita itu tampak rapuh, kusut, tapi juga keras kepala. “Kamu udah jauh, Bella,” bisiknya sendiri. “Terlalu jauh. Sungguh memalukan.”"Kau menghancurkan apa yang sudah kau capai sendiri sampai hari ini!" geramnya sendiri dengan mata mulai berkaca-kaca.Tiba-tiba ponselnya berge
Sebuah ciuman yang dalam diberikan dan entah kenapa, Bella sama sekali tidak menolak. Bella menutup mata dan meresapi ciuman serta kehangatan dari bibir Tomy.Waktu seperti berhenti seketika, Bella mengecap manisnya bibir pria tampan itu dan membiarkannya membawa dalam gendongan, menuju ke kamar kecil berukuran 3x3 meter itu.Lampu redup dan cuaca dingin membuat Bella tidak mampu mengeluh, apalagi di saat Tomy mulai melancarkan aksinya yang penuh dengan hasrat.Ciuman yang membara dan pelukan nan hangat sudah lama dia dambakan dari Deon, namun tidak pernah ditanggapi pria itu."J-jangan, Tomy. Ini salah, aku akan... Deon," ucap Bella dengan lirih saat pria itu mulai membuka pakaiannya sambil dengan lembut menelusuri jenjang lehernya dengan bibir yang hangat miliknya."Kamu menginginkanku juga, Bella. Kamu tahu itu, tatapanmu juga memberitahukanku. Gerakan tubuhmu juga tidak bisa menolak sama sekali. Kamu ingin menikmatinya juga, bukan? Jangan bohon