Share

Bab 8

Emil tidak memedulikan perasaan Wina dan langsung menanggalkan piamanya.

Ketika tangan dingin dan menjijikan itu menyentuh punggung bawahnya, Wina sangat ketakutan hingga berteriak.

"Emil!"

Suara pekikan itu sangat mengganggu. Namun, tangan Emil hanya berhenti sejenak, dia lanjut menarik celana dalam Wina.

Wina serasa ingin membunuhnya pun mengancam, "Emil, kalau hari ini kamu berani menodaiku, besok aku akan pergi ke pengadilan untuk menuntutmu!"

Tangan Emil berhenti lagi. Dia seperti mendengar sebuah lelucon sampai tidak bisa menahan diri untuk mencibir, "Aku nggak takut polisi, apa akan mungkin takut kamu menuntutku?"

Wina mengepalkan tangannya dan menggertakkan gigi, lalu berkata, "Aku tahu Keluarga Rinos punya latar belakang yang kuat, tapi sekarang zaman media. Kalau menggunakan kekuatanmu untuk menyelesaikan masalah, aku akan langsung melapor perbuatanmu ke media massa!"

Emil hanya mengangkat alisnya dan terlihat tidak peduli, lalu berkata, "Oke, kamu bisa mengekspos perbuatanku di media. Lagi pula, sudah lama nggak ada berita heboh mengenai diriku."

Perkataan Emil memperjelas bahwa dirinya tidak takut. Hal ini membuat Wina merasakan ketidakberdayaan yang mendalam. Pria di depannya ini bukan pria mesum biasa, tetapi seorang anak kaya dan memiliki kekuatan. Emil pasti bisa melenyapkan berita itu dengan cepat. Tidak ada gunanya Wina bersikeras melawan langsung Emil.

Kerasionalan Wina berangsur-angsur kembali. Dia mulai berpikir ketika berhadapan dengan orang seperti Emil, dia tidak boleh melawan secara paksa. Dia tidak memiliki kekuatan dan juga latar belakang yang kuat. Oleh sebab itu, jika ingin menyelamatkan diri, dia harus belajar untuk pura-pura berdamai dengan Emil.

Setelah berpikir seperti itu, Wina langsung berkata dengan lembut, "Pak Emil, aku nggak ada maksud menuntut ataupun mengancammu. Aku hanya nggak bisa melakukan hubungan fisik dengan orang yang nggak kucintai."

Mendengar itu, ekspresi Emil sedikit melembut. Namun, tidak berarti dia akan melepaskan mangsa yang sudah di depan matanya.

Emil menundukkan kepala, mencium tulang selangka Wina dengan kuat. "Tapi, aku tetap ingin menikmatimu, gimana dong?"

Wina merasa sangat mual, tetapi harus menahan diri. "Kalau begitu, beri aku waktu untuk beradaptasi dulu. Saat aku jatuh cinta padamu, semua akan terjadi secara alami. Kalau kamu melakukannya sekarang, hanya akan membuatku jijik."

Emil terlihat tidak peduli dan berkata, "Aku nggak peduli hal itu, yang penting aku merasa nikmat saja."

Sikap Emil yang tidak tahu malu itu membuat ekspresi Wina sedikit membeku.

Wina menahan dirinya yang ingin menampar wajah Emil. Dia lanjut membujuk Emil, "Pak Emil, aku dengar kalau dua orang yang sedang jatuh cinta melakukan hal itu, pengalaman yang dirasakan akan lebih baik daripada saat dipaksa. Apa kamu nggak ingin mencobanya?"

Emil bukanlah orang bodoh, tentu saja dia tahu bahwa Wina berbicara lembut seperti itu hanya untuk melarikan diri.

Emil mengira Wina adalah tipe wanita berbadan seksi, tetapi tidak punya otak. Dia tidak menyangka Wina cukup pintar. Emil merasa tertarik ketika melihat Wina langsung mengubah strategi begitu mengetahui ancaman tidak berguna.

Emil memiringkan kepala sambil menatap Wina sejenak. Dia tidak membongkar niat Wina dan berkata, "Melakukan secara paksa atau nggak, rasanya kurang lebih sama saja."

Perkataan yang memalukan itu tidak sepantasnya diucapkan secara terang-terangan. Emil tidak tahu malu, tetapi Wina masih tahu malu. Wina tetap sabar dan masih mencoba membujuk Emil, "Jauh berbeda. Hanya dua orang yang saling mencintai yang bisa merasakan perasaan itu."

Emil menunduk, mendekati wajah Wina dan berkata, "Apa kamu pernah mengalaminya?"

Ekspresi Wina sedikit membeku. Gambaran Jihan menggendongnya terlintas di benaknya dan membuat hatinya tiba-tiba terasa sakit.

'Apa reaksi Jihan kalau tahu aku ditindas oleh pria mesum ini?'

'Apa dia akan marah, cemburu atau ....'

Wina berkhayal tentang ribuan reaksi Jihan, tetapi ada sebuah suara di benaknya yang mengatakan Jihan tidak akan mungkin seperti itu.

Melihat Wina terdiam, Emil pun mencibir, "Kamu ingin aku tunggu sampai kamu jatuh cinta padaku baru bercinta denganmu? Kamu hanya bisa berkhayal saja."

Emil selalu menangkap mangsa untuk memuaskan hasratnya. Dia tidak punya waktu bermain cinta-cintaan dengan wanita-wanita yang membosankan dan merepotkan.

Wina sedikit frustrasi, tetapi melihat nafsu di mata Emil tidak sekuat sebelumnya, Wina mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan bujukan lembutnya, "Pak Emil, beri aku waktu tiga bulan. Saat aku jatuh cinta padamu, aku akan rela tidur denganmu. Oke?"

"Nggak," tolak Emil tanpa ragu-ragu. "Tiga bulan terlalu lama, aku nggak bisa tunggu selama itu," ujarnya.

Meskipun Emil menolak, perkataannya menunjukkan masih bisa bernegosiasi. Wina dengan cepat bertanya, "Kalau dua bulan?"

Melihat mata Wina yang tiba-tiba berbinar itu, Emil tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit wajah Wina. "Aku bisa tunggu kamu selama tiga hari," ujar Emil.

Emil ingin langsung melakukannya, tetapi apa yang dikatakan Wina benar. Jika bercinta secara paksa, pengalaman yang dirasakan memang tidak terlalu bagus. Paling-paling hanya terasa menegangkan. Selain itu, butuh banyak usaha jika ingin menikmati lebih lama.

Oleh karena itu, Emil membiarkan Wina terbiasa terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia hanya perlu menunggu beberapa hari dan bisa memanfaatkan waktu ini untuk menyiapkan lebih banyak alat.

Selain itu, Emil merasa wanita pintar dan cantik seperti Wina sebaiknya diikat di ranjang dan dimainkan perlahan-lahan, agar lebih terasa sensual dan menggairahkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status