Davina tersenyum tipis. Senyuman yang menggoda Edwin untuk melumat bibirnya. Namun ia menunggu gadis itu untuk mengatakan apapun yang ada di pikirannya saat itu. Hadiah apa yang dipikirkan oleh Davina untuk Edwin? Dan begitu tiba-tiba?"Hadiah apa?" Tanya Edwin penasaran.Davina lalu bergerak turun dari pangkuan Edwin. Ia lalu berlutut di antara kedua kaki Edwin dan mendongak ke arah Edwin yang duduk di kursinya. Dalam sekejap saja, Edwin sudah mengerti apa yang akan dilakukan Davina selanjutnya. Namun entah kenapa, Edwin ingin bibir Davina mengatakannya sendiri apa yang akan ia lakukan."Apa yang akan kamu lakukan, Sayang?" Ucap Edwin menggoda. Ia memegang dagu Davina dengan ibu jari dan telunjuknya serta mengangkat wajah gadis itu.Davina tersenyum sensual. Ia menjilati bibirnya dengan perlahan seolah sengaja ingin menggoda Edwin."Aku akan membuatmu merasakan kenikmatan yang kamu suka, Sayang." Bisik Davina lembut.Edwin mengangguk mantap. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat ka
"Davina, Clay, apakah semuanya sudah siap?"Edwin berseru dari ruang tengah memanggil Davina yang sejak tadi masih menyiapkan barang-barang Clay. Sementara Clay yang sejak tadi heboh membantu Davina bersiap, menjadi sebal karena ayahnya yang terus menerus memanggil mereka.Dengan bibir mengerucut, Clay berjalan dengan sebal dan mengintip dari pangkal tangga ke arah ayahnya."Papa, sabar sebentar dong! Aku dan Miss Davina kan harus bersiap-siap dulu!" Seru Clay dengan wajah cemberut.Clay berdecak sembari menggelengkan kepalanya."Papa ini memang tidak sabaran sekali!" Gerutunya lagi lalu pergi kembali ke kamarnya.Melihat tingkah anaknya itu tentu saja membuat Edwin tergelak dalam tawa. Kenapa sekarang anaknya itu semakin cerewet dan suka sekali mengomelinya? Edwin tidak habis pikir dengan anaknya yang semakin banyak bicara itu. Dengan geli ia menggelengkan kepalanya sembari berdecak pelan."Clay, Clay."Setengah jam berlalu, akhirnya semua yang akan ikut berlibur ke Bali dan Lombok s
Davina merasa bingung. Sejak di bandara hingga sekarang, raut wajah Edwin tampak begitu gelisah seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Rasanya Davina sangat ingin menanyakan hal tersebut. Ia khawatir kepada kekasihnya itu.Namun menanyakan hal seperti itu di depan Clay bukanlah hal yang baik. Mempertimbangkan itu, Davina menunggu sepanjang hari agar bisa mendapatkan waktu berdua bersama Edwin. Ia takut sesuatu yang buruk sedang terjadi dan Davina malah tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi dua orang kesayangannya itu.Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh malam namun Clay sudah terlalu pulas tidur. Bocah itu terlalu asyik bermain di pantai hingga kelelahan. Dan sekarang suasana kamar yang mereka tempati bertiga seketika menjadi sunyi. Edwin tampak duduk di balkon dengan tatapan yang menerawang ke arah depan. Davina menghampirinya dan memeluk Edwin dengan hangat dari belakang."Hmmm, Sayang." Sapa Davina manja sembari melingkarkan lengannya di leher Edwin.Edwin tersadar
"Apakah Clay sudah tidur?"Edwin bertanya dengan suara yang begitu pelan. Cenderung berhati-hati karena takut membangunkan puteranya. Sungguh, sangat sulit bagi Edwin dan Davina untuk mencari privasi saat liburan mereka berlangsung. Bagaimana tidak? Clay terus menerus membuntuti mereka kemanapun. Bahkan Clay saja enggan untuk tidur di kamar yang berbeda meskipun Edwin sudah menyewa president suite di hotel tersebut.Dan alhasil, Edwin harus terus menahan keinginannya untuk berduaan dengan Davina. Terkadang Davina merasa kasihan dengan kekasihnya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Davina lebih tidak tega jika ia harus mengabaikan Clay yang sangat manja kepadanya."Iya, Clay sudah tidur sejak tadi." Jawab Davina pelan.Gadis itu berjalan dengan hati-hati untuk meninggalkan Clay di kamar kedua yang ada di president suite itu. Davina melangkah tanpa suara dan segera menghampiri Edwin yang sudah menunggunya dengan tidak sabar di kamar utama yang ukurannya lebih besar.Dengan langkah yang ringan
Edwin memangku Davina dengan posisi punggung Davina menempel di dadanya. Kedua kakinya terlipat dan mengurung tubuh Davina di setiap sisinya. Di hadapan keduanya, sebuah cermin besar yang ada di kamar tersebut menampakkan refleksi dua insan tersebut."Lihat ke cermin, Sayang." Bisik Edwin.Davina mematuhinya tanpa bertanya keduan kali. Di hadapannya kini, pantulan keduanya tampak begitu jelas. Baik Davina dan Edwin tidak mengenakan pakaian apapun dan hanya keringat yang melapisi tubuh mereka. Wajah Davina tampak kemerahan karena orgasme sebelumnya. Dan sungguh, melihat bayangan mereka di cermin membuat Davina merasa bergairah lagi. Entah apa yang terjadi, tapi ia dapat merasakan bagian bawahnya kembali menghangat.Edwin tertawa pelan. Ia dapat merasakan tubuh Davina yang menegang karena pemandangan itu. Terkadang Edwin takjub bagaimana mungkin seorang perawan yang bahkan belum pernah bercinta sama sekali bisa menjadi begitu liar jika bersamanya? Mungkin hal ini yang membuat keduanya s
Destinasi liburan lain yang tidak kalah indah dari Bali adalah Lombok. Dan tentu saja, sebagai seorang introvert Davina lebih menyukai suasana Lombok yang tenang dan tidak seramai Bali.Sejak pagi, Clay sudah sangat heboh ingin bermain di pantai lagi. Seolah bocah itu tidak mengenal kata bosan jika berkaitan dengan liburan dan aktivitas menyenangkan lainnya. Clay menarik-narik tangan Davina untuk bergegas mengikutinya membangun istana pasir. Davina dengan riang melangkah cepat mengiringi Clay yang berlari di depannya."Miss pasti tidak akan bisa menangkapku!" Seru Clay bersemangat.Keduanya berkejaran dengan riang. Gelak tawa Davina dan Clay terdengar nyaring di udara. Dan Edwin memperhatikan keduanya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Senyuman hangat tersungging di bibirnya karena rasa bahagia yang memenuhi sekujur tubuhnya sekarang.Clay tampak heboh. Seolah ada sesuatu yang sangat ingin dia lakukan dan tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya."Mau apa, Clay Sayang?" Tanya
Terkadang memang takdir bisa menjadi begitu menyeramkan. Siapa yang mengira pertemuan Edwin dengan Clarissa di bandara ternyata adalah pertanda untuk semua kekacauan ini? Dan sekarang, Edwin tengah menunggu Clarissa sendirian di depan rumah sakit tempat Clay dirawat. Pikirannya begitu kalut dan sulit bagi Edwin untuk tetap tenang sementara puteranya berjuang di antara kehidupan dan kematian. Sudah setengah jam Edwin berdiri disini, menunggu Clarissa untuk datang dan menemuinya.Tak lama berselang, sosok wanita yang paling ia benci itu muncul di hadapannya. Clarissa, tanpa rasa takut atau khawatir sedikitpun, berjalan melenggang ke arah Edwin. Ia melambaikan tangannya dan tersenyum lebar seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah Clarissa tidak peduli bahwa anak yang ia lahirkan kini tengah terbaring kritis di ruang operasi."Hai, Suamiku. Sangat mengejutkan mendengarmu meneleponku." Ucap Clarissa sembari tersenyum simpul.Edwin menghela nafas. Sekali. Dua kali. Dan tiga kali. Ia berusaha m
Apa yang baru saja Davina dengar? Berkali-kali ia mengedipkan matanya dan berusahan memproses perkataan Edwin.Clarissa? Mantan isteri kekasihnya? Kini ingin kembali tinggal di rumah itu? Astaga, bagaimana situasi bisa menjadi begitu rumit seperti ini?Namun Davina tidak bisa melakukan apapun selain menyunggingkan senyum palsu. Berusaha terlihat baik-baik saja walaupun hatinya kacau setengah mati. Ia tidak bisa menolak kehadiran wanita itu. Davina tidak memiliki hak apapun atas rumah itu maupun Edwin dan Clay. Ia hanyalah gadis biasa yang baru dikencani Edwin selama enam bulan. Tidak ada hak khusus yang dimiliki Davina untuk mengatur kehidupan Edwin dan Clay."Kamu tidak apa-apa kan, Sayang?"Davina mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Edwin yang tampak sangat khawatir. Tentu saja. Keutuhan hubungan mereka terancam. Bohong jika Davina tidak khawatir dengan kedatangan Clarissa di rumah itu.Namun lagi-lagi Davina berbohong. Menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan karena takut
Mobil Edwin melesat bagaikan peluru. Membelah jalanan Jakarta yang lengang di pukul satu malam. Erangan Davina yang tergolek lemah di jok belakang membuat Edwin tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada jalan di hadapannya. Sesekali ia menengok ke belakang melalui kaca mobil dan mendapati wajah Davina yang tampak sangat menderita. Ia merintih kesakitan sementara tangannya memegangi perutnya yang sudah membulat. Mata Edwin pun tak bisa lepas dari cairan merah kental yang membasahi kaki istrinya sejak tadi.Perkataan Mbak Murni yang tiba-tiba menyambar Edwin bak petir di siang bolong.“Pak, Nyonya Davina pendarahan!”Dan secepat itu pula, tanpa berpikir dua kali Edwin memacu mobilnya. Membawa Davina ke rumah sakit dengan harapan besar untuk menyelamatkan keduanya. Istri yang paling ia cintai dan calon bayi yang sangat ia tunggu kehadirannya.“Kumohon bertahanlah, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Edwin bagaikan mantra seolah berusaha meredakan sakit yang dialami Davina.Wani
“Clarissa?”Edwin tanpa sadar mencetuskan si empunya mobil saat sedan mewah itu berhenti tepat di depannya. Davina juga tahu benar siapa pemilik mobil itu karena bukan sekali atau dua kali Clarissa datang ke rumahnya. Dan wanita itu selalu datang dengan mobil yang sama, Mercedes Benz S-Class kebangaannya.Davina melepaskan genggaman tangan Edwin yang melingkar di pergelangan tangannya. Tanpa berpikir dua kali, Davina berlari menghampiri mobil itu. Menemui wanita yang duduk di balik kursi pengemudi.“Mbak Rissa!” seru Davina seraya menghampiri Clarissa yang melangkah keluar dari mobil.Wanita itu berdiri dengan begitu angkuh. Matanya menatap Davina dengan tatapan yang begitu meremehkan. Tatapan yang seolah mengatakan bahwa Davina tidak becus mengurus anaknya sendiri. “Aku kesini untuk mengantarkan Clay pulang.” Jawabnya datar.Ucapan Clarissa sudah cukup membuat Davina menghembuskan nafas lega. Bagaikan batu besar yang sejak tadi mengganjal hatinya telah terangkat, dan beban yang ia r
Entah kenapa, sejak tadi Davina merasa hatinya terus dipenuhi rasa gelisah. Jantungnya berdegup kencang seolah sebuah hal buruk akan terjadi. Davina merasakan sebuah firasat yang aneh dalam hatinya namun ia tidak bisa menebak itu apa.“Kamu sudah makan, Vin?” tanya Edwin saat ia pulang kerja dan menghampiri Davina yang tengah duduk dengan gelisah di ruang tamu.Suaminya itu menghampiri Davina dan mengecup bibir Davina lembut. Rutinitas yang selalu dilakukan Edwin sebelum dan sepulang kerja.Davina menggeleng. Rasa gelisah yang sejak siang tadi melandanya membuat Davina tidak bisa menelan bahkan sesuap nasi pun. Pikirannya terlalu sibuk berkutat dalam rasa khawatir tak berujung.“Kenapa belum? Aku suapi, ya?” Wanita itu kembali menggeleng, “Clay belum pulang, Mas. Kamu tidak menjemput Clay di sekolah, Mas?”Edwin menggeleng, “Bukannya Pak Teguh yang harusnya menjemput Clay hari ini? Aku sudah bilang kalau ada rapat sampai sore, kan?”Jantung Davina mencelos. Rasanya bak disambar petir
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa lima bulan telah berlalu dan usia kandungan Davina hampir mencapai tujuh bulan. Perutnya semakin membesar dan gejala mualnya sudah tidak separah di masa awal kehamilannya. Tapi tetap saja, tubuh Davina masih saja lemah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.Selama hamil, Davina menghabiskan hampir seluruh waktunya di dalam rumah. Enam puluh persen berada di kamar dan empat puluh persen berada di area rumah lainnya. Rasanya bosan bukan kepalang terkungkung di rumah dengan tidak memiliki pekerjaan apapun. Ingin sekali Davina ikut mengunjungi sekolah Clay atau bahkan bermain dengannya. Namun membawa dirinya untuk berdiri lebih dari setengah jam pun Davina tidak mampu. Bagaimana mungkin ia bisa bermain dengan Clay?Edwin pun benar-benar menjaganya mati-matian. Sepulang kerja, suaminya akan terus bersamanya. Mengurusnya mulai dari hal terkecil seperti pergi ke kamar mandi, menyuapi Davina makan, hingga ke urusan paling be
Dokter Santi berkali-kali meyakinkan Davina bahwa operasi yang akan ia lalui hanyalah operasi kecil. Bedah dengan anastesi lokal yang paling lama hanya memakan waktu satu setengah jam. Namun Davina tidak merasa gentar sama sekali. Tidak terbersit sedikitpun ketakutan di kepalanya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan janinnya. Satu kali insiden sudah cukup menjadi alarm baginya. Dan Davina tidak yakin apakah ia akan seberuntung itu di kesempatan lainnya.Di lain sisi, Edwin lah yang merasa begitu khawatir. Ia sangat takut sesuatu terjadi pada istrinya. Bagaimanapun juga, Davina akan menjalani operasi. Tidak peduli sekecil apapun itu, rasa sakitnya pasti akan tetap ada. Membayangkan wanita kesayangannya harus melalui semua itu membuat Edwin benar-benar tidak sanggup. Hatinya memang selalu lemah jika itu bersangkutan dengan seseorang yang ia cintai. Edwin selalu mencintai seorang waniita dengan sepenuh hatinya. Memberikan semuanya tanpa terkecuali.Karena i
Brankar yang ditempati Davina didorong dengan begitu cepat oleh beberapa perawat. Dalam sekejap, lima orang itu melesat masuk ke dalam Instalasi Gawat Darurat. Edwin ikut di belakangnya sembari menggandeng Clay, namun langkahnya dihentikan oleh perawat yang bertugas untuk menjaga ruangan itu.“Bapak tunggu disini saja. Biarkan dokter memeriksa ibu Davina terlebih dahulu. Dan anak kecil tidak diperkenankan masuk ke dalam IGD, Pak.” Jelas gadis muda itu dengan sopan.Edwin mengangguk. Ia terkulai lemas di kursi tunggu sementara tangis puteranya juga tak kunjung reda. Kepalanya terasa mau pecah dengan semua hal yang terjadi berbarengan. Ia meraih ponselnya dan menghubungi supir pribadinya.“Tolong jemput Clay di rumah sakit Pondok Gede, Pak.” Titahnya singkat.Tak perlu waktu lama bagi orang kepercayaan Edwin untuk tiba disana. Dua puluh menit berselang, supir pribadinya tiba dan berlari begitu cepat menghampiri Edwin.“Ada apa, Pak? Dimana Ibu?” tanyanya bingung saat mendapati hanya ada
Sejak dua jam yang lalu, Clay masih saja terus asyik berlarian kesana kemari. Mengejar setiap perosotan seolah benda itu akan kabur ketika ia berkedip sedetik saja. Dan Davina mau tidak mau harus terus membersamai bocah itu. Mengikutinya kesana kemari. Mengekor ke setiap arena permainan tak peduli tubuhnya sudah terasa begitu letih.Mau bagaimana lagi? Davina khawatir. Davina begitu takut Clay mungkin terjatuh saat ia tidak bersamanya walau hanya sedetik. Atau mungkin Clay tersandung dan terguling dari atas papan loncat. Dan segala ketakutan irasional lainnya yang terkadang membuat Edwin merasa jengkel.Davina memang selalu egois. Tapi bukan untuk kepentingannya sendiri. Melainkan untuk Clay.Wanita itu bahkan tega mengesampingkan perasaannya. Mengubur lelahnya. Membuang jauh-jauh sakitnya. Hanya demi menemani Clay. Bermain bersama Clay yang sepertinya tidak pernah mengenal lelah.Awalnya Edwin terharu, bahkan merasa begitu berterimakasih pada Davina karenanya Clay tidak pernah merasa
“A-apa, Mas? Istirahat total?”Davina tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin ia bisa beristirahat total selama sembilan bulan? Ia kan harus mengurus Clay! Bocah itu pasti akan protes kalau Davina tidak mau bermain dengannya lagi. Dan Davina paling tidak sanggup jika harus melihat wajah masam Clay bahkan kalau itu hanya sedetik saja.“Benar. Kata Dokter, kondisi tubuhmu sangat lemah dan dokter belum tahu komplikasi apa yang kamu alami, Sayang. Jadi kalau kamu memang ingin tetap mempertahankan bayi kita, kamu harus menuruti permintaanku untuk beristirahat total.”“T-tapi bagaimana dengan Clay, Mas? Aku tidak bisa beristirahat total. Aku harus mengurus Clay! Aku ibunya, Mas.” Protes Davina langsung.“Ada Mbak Murni, Sayang. Mbak Murni yang akan mengurus Clay selama kamu hamil.”“Clay tidak akan mau, Mas. Dia hanya akan mau bermain dan diurus olehku.”Edwin menghela nafas. Ia menghampiri Davina dan mencium lembut puncak kepala isterinya. Dan mendaratkan ciuma
Rasa panik bergumul di hati Edwin. Menelannya bulat-bulat hingga yang Edwin rasakan hanyalah takut. Ia begitu takut sesuatu yang buruk terjadi pada Davina. Dan Edwin tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika hal buruk itu memang terjadi.Mata Edwin menangkap sosok paruh baya berjas putih yang berjalan mendekat ke arahnya. Tak perlu pengetahuan khusus untuk mengenali bahwa wanita itu adalah seorang dokter. Senyumnya ramah ke arah Edwin, padahal hati Edwin sendiri sudah terasa kacau sekali.“Selamat pagi, Pak.” Sapa dokter dengan ramah.Edwin mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis, “Pagi, Dok.”Wanita itu memasang stetoskop di telinganya dan mulai memeriksa Davina. Mendengar detak jantungnya, memeriksa laju nafasnya, dan menghitung denyut nadinya. Semuanya dilakukan dengan saksama dan teliti.Edwin begitu gugup melihat sang dokter memeriksa dan memperhatikan ekspresi wanita itu tanpa melewatkannya sedikit pun. Edwin berusaha mengenali jikalau dokter itu menunjukkan ekspresi ane