"Sudah ayo tidur. Sudah malam, Mbok ngantuk," ucap Mbok Ratih sembari membaringkan tubuhnya. "Iya, Mbok. Sebentar lagi aku tidur." Entah kenapa. Rasanya malam ini mata enggan sekali terpejam. Banyak hal yang melintas di pikiran ini. Apalagi, ini sudah hampir satu bulan Mas Arya pergi bekerja. Bagaimanakah kabarnya di sana akupun tidak tahu. Semoga kamu baik-baik saja di sana Mas. Aku kangen kamu. Selain itu. Malam ini juga kurasakan gerah yang amat sangat. Rasanya, ingin diri ini pergi ke luar sana dan terbang ke setiap pohon besar yang berjajar di sepanjang jalan. Ya, aku harus pergi. Tapi bagaimana? Aku tidak tahu caranya. Mbok Ratih? Tapi dia baru saja tertidur. Lagi pula, tidak mungkin bagiku untuk membangunkannya. Lalu jika timbul pertanyaan nantinya, tidak mungkin bisa terjawab apa alasannya aku ingin berubah. ************ Entah mengapa, terlintas dari pikiran ini untuk melakukannya sendiri. Ya, jika hanya melempar tubuh dengan kembang. Aku juga pasti bisa. Perlahan, ta
Beberapa menit. Aku hanya diam sambil tersenyum menatap Pria yang sudah cukup berumur ini. Tangan ini pun membelai lembut dari dada hingga perut buncit nya. Belaian lembut layaknya sepasang kekasih, tapi kini berbeda. Kekasih yang memiliki tampang menakutkan sepertiku. "Nde... nde... Ndemiiiiiittttt!" Lari. Pakai Darno lari sekencang nya ke arah depan rumah, kemudian mengetuk keras sambil berteriak meminta tolong. Percuma, sekeras apapun ia meminta tolong tidak akan ada yang mampu mendengar. Karena memang, kali ini aku menutup semua kuping penghuni rumah. Sambil terus berteriak. Pak Darno terus menatap ke belakangnya. Melihatku, yang kini sedang duduk sambil berayun manja di taman depan rumah. "Kang Maaasss... ke sini doong. Main ayunaaan. Maaaasss ...." Terus. Aku terus menggoda pria yang telapak kakinya kini basah, karena air yang mengalir di lantai. Air kencingnya sendiri. Ada alasan dari semua ini. Pak Darno, adalah orang yang berada dibalik perselingkuhan Ibu Mertuaku.
"Maksudnya, Mbok? Tolong jangan bercanda." "Iya, Non. Jika telah dimakan, maka konsekuensinya Non tidak akan bisa menjadi manusia kembali, hanya menyerupai." Serasa petir menggelegar di kepala ini. Tidak. Aku tidak mungkin menjadi hantu gentayangan lagi! Ini tidak mungkin! "Mbok. Tolong lakukan apapun biar aku bisa kembali lagi. Bagaimana? Bagaimana kalau Mas Arya kembali?! Aku sangat menyayanginya, Mboookk. Tolong!"Diam. Mbok Ratih hanya duduk terdiam tanpa mampu berkata apapun. "Mbok. Jawab, Mbok!" "Maaf, Non. Itu adalah kembang Serupan. Gabungan dari beberapa jenis kembang keramat. Mbok tidak mungkin bisa mengembalikanmu lagi! Maaf, Non...." ***** Menyesal. Aku sangat menyesal telah melakukan semua ini. Tapi, apa memang tidak ada cara lain? "Mbok. Apakah aku masih bisa bertemu dengan Mas Arya nanti?" "Bisa, Non. Kamu masih bisa bertemu dengannya. Tetapi .... " "Tapi apa, Mbok? Katakan!" "Non tidak akan bisa punya anak dari Den Arya. Non masih bisa menyamar menjadi ma
Seketika aku datang dan langsung menatap matanya dengan lebih dekat. Tanpa berjalan seperti biasa. Aku melayang di atas lantai. Kini, wajah kami berdua hanya berjarak tidak lebih dari satu jengkal. "Kamu ingin mati sepertiku?" tanyaku dengan suara lembut seperti berbisik. Ya. Jangankan menjawab, untuk berkedip saja kini sudah tidak mampu. "Jangan pernah lagi bertindak tidak sopan padaku. Jika masih ingin menghirup udara esok. Ingat itu!" ************* Beberapa saat terdiam. Akhirnya ia berteriak sambil minta tolong kepada seluruh penghuni rumah. "Tolooong ... Ada setan! Mamah tolooong!" Sementara di teras Ibu mertuaku masih sibuk mendengarkan penjelasan Pak Darno yang ditemukan pingsan pagi tadi, dan baru tersadar. Di sana, juga ada Mbok Ratih sedang mengantarkan teh buat mereka. Sesampainya di ruang tamu. Anak paling muda di rumah ini pun suda pucat ketakutan sambil menangis. Jelas, aku mendengar semuanya dari arah dapur. Mungkin, karena kini wujudku bukan lagi manusia. Ke
Bahagia.Itu yang dinginkan siapapun dalam rumah tangganya. Hidup berkecukupan adalah salah satu hal yang paling utama dari kebahagiaan itu. Begitu juga bagiku, seorang wanita biasa yang pernah mengalami hal pahit dalam masa lalunya. Karena peliknya kehidupan, aku harus dijual kepada lelaki hidung belang di tempat maksiat itu. Masih ingat benar.Bagaimana lelaki tidak berhati yang pernah jadi suamiku, tega menipu dengan mengantarkan ke tempat yang bahkan tidak pernah satu kalipun menginjakkan kaki di sana. Semua itu ia lakukan hanya demi memiliki uang untuk kesenangan belaka. Mabuk-mabukan dan hal maksiat lainya. Pedih, rasanya sangat pedih bagiku saat mengingat masa-masa itu. Aku dijual ke beberapa orang pria, dengan nilai uang yang sesungguhnya tidak pantas bagi seorang manusia. Aku ditinggalkan olehnya dengan lelaki beberapa lelaki hidung belang yang telah siap memangsaku, bagai binatang yang kelaparan. Bahkan yang paling pedih, Suamiku tidak tahu bahwa saat itu diri sedang menga
"Kenapa kamu tertawa, Non? Apa yang lucu?" tanya Mbok Ratih, yang keheranan melihat ku tertawa mendekatinya membersihkan halaman."Ahh ... tidak, Mbok. Aku hanya teringat hal lucu dulu. Semasa masih gadis.""Oalah ... ya sudah. Mbok juga senang lihat kamu tertawa begitu. Karena selama Den Arya tidak di sini, Non jarang sekali terlihat tertawa sebahagia ini." "Sudahlah, Mbok. Jangan bahas soal itu terus, aku bahagia kok. Kan masih ada Mbok Ratih.""Oalah cah ayu ... pinter banget ngerayu. Pantas saja Den Arya tergila-gila sama Non. Sudah cantik, baik hati, pinter ngerayu lagi.""Husss! Sudah jangan buat aku malu, Mbok. Ayo kita lanjutin beresin kebun, entar nyonya besar marah.""Yuk, Non."Entahlah.Bagiku Mbok Ratih sudah seperti Ibu kandung sendiri. Dia yang selalu bisa menghiburku dikala tekanan batin tidak hentinya mendera. Sesungguhnya hati keci ini selalu bergejolak agar segera meninggalkan semuanya. Tetapi apalah daya, cintaku terhadap Mas Arya terlalu besar. Sulit bagi diri in
Beberapa detik.Aku hanya terdiam dan tidak mampu berkata sepatah katapun. Sementara, Mbok Ratih terus berusaha mencari tahu benda apa yang tertancap di sana. "Ii ... iii ... itu adalah ....""Bentuknya seperti bagian atas paku. Tapi seperti terbuat dari emas. Boleh aku periksa, Non?"Tak menjawab.Aku langsung bangkit dan berdiri dari tempat duduk. Aku tahu, jika terus berada di sini pasti rahasia yang sudah tersimpan dengan rapi hingga kini akan terbongkar."Aku mau istrahat dulu, Mbok. Badan ini terasa pegal semua. Duluan ya ...," ucapku sambil pergi ke dalam kamar, meninggalkan Mbok Ratih yang masih terdiam keheranan di depan pintu.23:15.Baru saja diri ini terbuai mimpi.Aku mendengar teriakan nyonya besar sekaligus Ibu mertuaku. Ia berteriak memanggil Mbok Ratih. Dari teriakannya, terdengar seperti ia menyuruh untuk membelikan Martabak di simpang ujung jalan. "Mbok ... bangun. Dipanggil nyonya besar. Mbok ...," ucapku membangunkannya yang terlihat sudah tidur sangat nyenyak.
Tidak.Aku tidak mungkin kembali saat ini. Yang ada, nantinya aku akan dimarahi dan dicaci maki oleh Ibu. Tidak, aku harus tetap membeli Martabak. Apalagi, aku harus pergi ke Toko Obat yang letaknya lebih jauh.Dengan terus berusaha memberanikan diri, aku terus melangkah melewati tempat terjadinya perampokan. Tepat di sebelah kanan kini ada bekas ruko kosong yang sudah tidak memiliki lampu. Sementara, di sisi lainnya hanya ada tembok tinggi pagar rumah warga. Kaki ini mencoba terus melangkah, walaupun terus gemetar karena ketakutan. Sampai akhirnya terlihat olehku ada seseorang yang sedang duduk di kegelapan itu. Dari sini hanya terlihat dua buah bola mata berwarna putih, yang terlihat karena sedikit pembiasan cahaya dari lampu jalan. Mata itu terlihat terus mendekati. Tidak, jangan ganggu aku!"Siapa di sana?! Berhenti! Jangan ganggu aku!"Seolah tak memerdulikan.Sosok itu terus datang dan mendekati. Hingga akhirnya ia berdiri tepat di depanku, kemudian berkata "Ada uang serebuan, N