"Maksudnya, Mbok? Tolong jangan bercanda." "Iya, Non. Jika telah dimakan, maka konsekuensinya Non tidak akan bisa menjadi manusia kembali, hanya menyerupai." Serasa petir menggelegar di kepala ini. Tidak. Aku tidak mungkin menjadi hantu gentayangan lagi! Ini tidak mungkin! "Mbok. Tolong lakukan apapun biar aku bisa kembali lagi. Bagaimana? Bagaimana kalau Mas Arya kembali?! Aku sangat menyayanginya, Mboookk. Tolong!"Diam. Mbok Ratih hanya duduk terdiam tanpa mampu berkata apapun. "Mbok. Jawab, Mbok!" "Maaf, Non. Itu adalah kembang Serupan. Gabungan dari beberapa jenis kembang keramat. Mbok tidak mungkin bisa mengembalikanmu lagi! Maaf, Non...." ***** Menyesal. Aku sangat menyesal telah melakukan semua ini. Tapi, apa memang tidak ada cara lain? "Mbok. Apakah aku masih bisa bertemu dengan Mas Arya nanti?" "Bisa, Non. Kamu masih bisa bertemu dengannya. Tetapi .... " "Tapi apa, Mbok? Katakan!" "Non tidak akan bisa punya anak dari Den Arya. Non masih bisa menyamar menjadi ma
Seketika aku datang dan langsung menatap matanya dengan lebih dekat. Tanpa berjalan seperti biasa. Aku melayang di atas lantai. Kini, wajah kami berdua hanya berjarak tidak lebih dari satu jengkal. "Kamu ingin mati sepertiku?" tanyaku dengan suara lembut seperti berbisik. Ya. Jangankan menjawab, untuk berkedip saja kini sudah tidak mampu. "Jangan pernah lagi bertindak tidak sopan padaku. Jika masih ingin menghirup udara esok. Ingat itu!" ************* Beberapa saat terdiam. Akhirnya ia berteriak sambil minta tolong kepada seluruh penghuni rumah. "Tolooong ... Ada setan! Mamah tolooong!" Sementara di teras Ibu mertuaku masih sibuk mendengarkan penjelasan Pak Darno yang ditemukan pingsan pagi tadi, dan baru tersadar. Di sana, juga ada Mbok Ratih sedang mengantarkan teh buat mereka. Sesampainya di ruang tamu. Anak paling muda di rumah ini pun suda pucat ketakutan sambil menangis. Jelas, aku mendengar semuanya dari arah dapur. Mungkin, karena kini wujudku bukan lagi manusia. Ke
Bahagia.Itu yang dinginkan siapapun dalam rumah tangganya. Hidup berkecukupan adalah salah satu hal yang paling utama dari kebahagiaan itu. Begitu juga bagiku, seorang wanita biasa yang pernah mengalami hal pahit dalam masa lalunya. Karena peliknya kehidupan, aku harus dijual kepada lelaki hidung belang di tempat maksiat itu. Masih ingat benar.Bagaimana lelaki tidak berhati yang pernah jadi suamiku, tega menipu dengan mengantarkan ke tempat yang bahkan tidak pernah satu kalipun menginjakkan kaki di sana. Semua itu ia lakukan hanya demi memiliki uang untuk kesenangan belaka. Mabuk-mabukan dan hal maksiat lainya. Pedih, rasanya sangat pedih bagiku saat mengingat masa-masa itu. Aku dijual ke beberapa orang pria, dengan nilai uang yang sesungguhnya tidak pantas bagi seorang manusia. Aku ditinggalkan olehnya dengan lelaki beberapa lelaki hidung belang yang telah siap memangsaku, bagai binatang yang kelaparan. Bahkan yang paling pedih, Suamiku tidak tahu bahwa saat itu diri sedang menga
"Kenapa kamu tertawa, Non? Apa yang lucu?" tanya Mbok Ratih, yang keheranan melihat ku tertawa mendekatinya membersihkan halaman."Ahh ... tidak, Mbok. Aku hanya teringat hal lucu dulu. Semasa masih gadis.""Oalah ... ya sudah. Mbok juga senang lihat kamu tertawa begitu. Karena selama Den Arya tidak di sini, Non jarang sekali terlihat tertawa sebahagia ini." "Sudahlah, Mbok. Jangan bahas soal itu terus, aku bahagia kok. Kan masih ada Mbok Ratih.""Oalah cah ayu ... pinter banget ngerayu. Pantas saja Den Arya tergila-gila sama Non. Sudah cantik, baik hati, pinter ngerayu lagi.""Husss! Sudah jangan buat aku malu, Mbok. Ayo kita lanjutin beresin kebun, entar nyonya besar marah.""Yuk, Non."Entahlah.Bagiku Mbok Ratih sudah seperti Ibu kandung sendiri. Dia yang selalu bisa menghiburku dikala tekanan batin tidak hentinya mendera. Sesungguhnya hati keci ini selalu bergejolak agar segera meninggalkan semuanya. Tetapi apalah daya, cintaku terhadap Mas Arya terlalu besar. Sulit bagi diri in
Beberapa detik.Aku hanya terdiam dan tidak mampu berkata sepatah katapun. Sementara, Mbok Ratih terus berusaha mencari tahu benda apa yang tertancap di sana. "Ii ... iii ... itu adalah ....""Bentuknya seperti bagian atas paku. Tapi seperti terbuat dari emas. Boleh aku periksa, Non?"Tak menjawab.Aku langsung bangkit dan berdiri dari tempat duduk. Aku tahu, jika terus berada di sini pasti rahasia yang sudah tersimpan dengan rapi hingga kini akan terbongkar."Aku mau istrahat dulu, Mbok. Badan ini terasa pegal semua. Duluan ya ...," ucapku sambil pergi ke dalam kamar, meninggalkan Mbok Ratih yang masih terdiam keheranan di depan pintu.23:15.Baru saja diri ini terbuai mimpi.Aku mendengar teriakan nyonya besar sekaligus Ibu mertuaku. Ia berteriak memanggil Mbok Ratih. Dari teriakannya, terdengar seperti ia menyuruh untuk membelikan Martabak di simpang ujung jalan. "Mbok ... bangun. Dipanggil nyonya besar. Mbok ...," ucapku membangunkannya yang terlihat sudah tidur sangat nyenyak.
Tidak.Aku tidak mungkin kembali saat ini. Yang ada, nantinya aku akan dimarahi dan dicaci maki oleh Ibu. Tidak, aku harus tetap membeli Martabak. Apalagi, aku harus pergi ke Toko Obat yang letaknya lebih jauh.Dengan terus berusaha memberanikan diri, aku terus melangkah melewati tempat terjadinya perampokan. Tepat di sebelah kanan kini ada bekas ruko kosong yang sudah tidak memiliki lampu. Sementara, di sisi lainnya hanya ada tembok tinggi pagar rumah warga. Kaki ini mencoba terus melangkah, walaupun terus gemetar karena ketakutan. Sampai akhirnya terlihat olehku ada seseorang yang sedang duduk di kegelapan itu. Dari sini hanya terlihat dua buah bola mata berwarna putih, yang terlihat karena sedikit pembiasan cahaya dari lampu jalan. Mata itu terlihat terus mendekati. Tidak, jangan ganggu aku!"Siapa di sana?! Berhenti! Jangan ganggu aku!"Seolah tak memerdulikan.Sosok itu terus datang dan mendekati. Hingga akhirnya ia berdiri tepat di depanku, kemudian berkata "Ada uang serebuan, N
Perlahan.Aku berjalan memasuki ruko kosong yang gelap dan penuh dengan sampah berserakan. Bahkan, kaki ini sempat beberapa kali menginjak pecahan kaca bekas botol minuman ber-alkohol. Sial, tempat ini ternyata mereka gunakan sebagai tempat melakukan dosa.Selain sampah dan banyaknya botol bekas minuman. Di tempat ini banyak tercium bau yang sungguh tidak mengenakkan. Jika tidak menutup hidung, mungkin tidak lama lagi aku akan muntah karenanya. Sampai pada sebuah titik yang cukup gelap pada ruangan itu, aku langsung mencari belahan rambut yang tertancap paku berlapis emas. Ya, aku mendapatkannya. Tetapi memang, rasanya amat sulit. Bukan karena tertancap cukup keras, tetapi rasa sakitnya memang benar-benar membuatku tidak tahan menahan sakitnya."Ayolah! Cepat!"Terus.Aku terus berusaha mencabut paku ini dengan sekuat tenaga. Bahkan air mata pun ikut menetes karenanya. Berulang kali gagal, sampai akhirnya aku merasakan ada seseorang yang membantu menariknya dari belakang. Krak!Rasan
𝑀𝑒𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑚𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑘𝑢𝑡𝑎, 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑗𝑎𝑟 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛. 𝐽𝑢𝑠𝑡𝑒𝑟𝑢 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑎𝑤𝑎 𝑠𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑛𝑦𝑎. 𝑀𝑒𝑛𝑒𝑟𝑡𝑎𝑤𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑎𝑑𝑎𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑚𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑘𝑢𝑡𝑎𝑛. 𝐵𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑗𝑎𝑟 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑡𝑢.𝑀𝑒𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖.𝐴𝑘𝑢𝑝𝑢𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑘𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑟𝑎𝑠𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑘𝑢𝑡𝑎𝑛, 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑠𝑎𝑗𝑎 𝑑𝑖𝑟𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑚𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑏𝑎𝑟𝑢𝑠𝑎𝑛."𝐻𝑖𝑖𝑖 ... ℎ𝑖𝑖 ... ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 ....."𝐴𝑘𝑢 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑎𝑤𝑎 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛.𝐾𝑒𝑚𝑢𝑑𝑖𝑎𝑛, 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑚𝑢𝑙𝑎𝑖 𝑏𝑖𝑛𝑔𝑢𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑟𝑖 𝑎𝑠𝑎𝑙 𝑡𝑎𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑠𝑎𝑗𝑎 𝑘𝑢𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛."𝐾𝑎𝑚𝑢 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑟 𝑖𝑡𝑢, 𝐵𝑟𝑜?" 𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑃𝑟𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑛𝑗𝑎𝑡𝑎 𝑡𝑎𝑗𝑎𝑚, 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎 ?