"Bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian dalam hati.
Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kamu mendengarkanku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kamu hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu melengking. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kamu tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak bisa terus hidup dengan perasaan hampa ini, Luke. Apa kamu memang seorang pria pecundang?!" teriak Berlian, emosinya meledak. Luke terdiam sejenak, merasa terpukul oleh ledakan emosi Berlian. Tatapan Luke yang kosong perlahan berubah menjadi rasa bersalah yang dalam. Namun, ia tetap berusaha mempertahankan sikap dinginnya. "Berlian, tolong jangan buat keputusan ini sekarang. Kita bisa membicarakan ini dengan kepala dingin," kata Luke pelan. "Kepala dingin? Apakah selama dua tahun ini aku tidak cukup sabar, Luke?" Berlian balas menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan kesedihan. "Aku sudah menunggu, berharap kau akan berubah. Tapi yang kudapatkan hanya kebisuan dan ketidakpedulian? Apakah hatimu terlalu beku hingga tidak melihat semua usaha yang aku lakukan? Ya... Karena kau tidak pernah menganggapku berarti. Kau tidak mencintaiku. Pernikahan ini hanya karena sebuah batu loncatan. Aku sangat mengerti itu!" sanggah Berlian. "Ini bukan tentang tidak peduli, dan bukan tentang batu loncatan. Apa yang kau pikirkan ...." Luke menghela napas panjang. "Ini hanya tentang tanggung jawab yang harus kupikul. Bisnis keluargamu, tekanan yang harus kutanggung..." "Tanggung jawab dan tekanan!" potong Berlian dengan nada sinis. "Kau selalu menggunakan alasan itu. Tapi bagaimana dengan tanggung jawabmu sebagai suami? Bagaimana dengan aku, yang terus menunggu tanpa kepastian? Apa kau pikir aku ini patung prasasti yang hanya akan diam? Aku bukan batu, Luke! Aku hidup dan punya jiwa!" sentak Berlian. Luke hanya menatap Berlian dengan mata yang penuh kebingungan. Berlian menggelengkan kepala, merasakan keputusasaan yang semakin tak terkendali. "Aku tidak bisa terus seperti ini, Luke. Aku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Seperti bayangan yang tidak pernah kau lihat." "Jangan bicara seperti itu, Berlian," suara Luke meredup, hampir memohon. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Dan aku tidak akan pernah menceraikanmu." Berlian tertawa getir, suara tawanya terdengar pahit dan penuh luka. "Tidak ingin kehilangan? Kau bahkan tidak pernah mencoba untuk benar-benar menghargaiku, Luke. Semua ini hanyalah permainan bagimu, bukan?" Luke berusaha mencari kata-kata yang tepat. Namun setiap kalimat yang muncul di pikiran Luke terasa hampa, seolah-olah semua argumen yang Luke miliki telah habis. "Berlian, kumohon, beri aku waktu untuk menjelaskan. Tapi, bukan sekarang," kata Luke akhirnya. "Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, Luke," kata Berlian dengan tegas. "Aku sudah melihat cukup banyak. Dua tahun dalam pernikahan ini, aku telah menunggu dengan harapan kau akan menunjukkan bahwa pernikahan ini lebih dari sekadar formalitas. Tapi setiap harapan itu selalu kandas." Berlian berbalik, matanya menyapu sekeliling ruangan yang penuh dengan kenangan pahit. "Aku merasa seperti tahanan di rumahku sendiri, Luke. Setiap langkahku, setiap napasku, selalu dipenuhi dengan bayangan ketidakpedulianmu." Luke mencoba mendekati Berlian, tetapi berlian mengambil langkah mundur, menjaga jarak. "Jangan mendekat, Luke. Aku sudah cukup menderita karena kebisuanmu." Luke menghentikan langkahnya, menatap Berlian dengan mata yang penuh kepedihan. "Berlian, aku tahu aku bukan suami yang baik. Tapi ini bukan karena aku tidak peduli. Ada hal-hal yang sulit untuk diungkapkan." "Hal-hal yang sulit diungkapkan?" Berlian menyilangkan tangannya di dada, wajahnya penuh dengan keraguan. "Seperti apa, Luke? Seperti rahasia yang kau sembunyikan tentang keluargamu? Tentang masa lalu yang tidak pernah kau ceritakan padaku?" Luke tertohok, rasa sakit tampak jelas di wajah pria itu. "Berlian, aku tidak pernah berniat menyakitimu. Tapi ada hal-hal dalam hidupku yang begitu rumit dan berbahaya. Aku hanya tidak ingin kamu terlibat. Dan aku tidak bisa mengatakannya." Kedua tangan Luke terkepal. Sulit untuk menjelaskan pada Berlian apa yang tengah ia hadapi. "Tapi kamu tahu sesuatu, bukan? Sesuatu yang kau sembunyikan dariku selama ini," desak Berlian, mata wanita itu penuh dengan tuntutan. "Tidak, tidak ada. Aku hanya ingin membangun keluarga ini. Karena Kakekmu telah memberikan kepercayaan dan beban besar padaku, dan aku mencoba menjalankan tugas ini sebaik mungkin," jawab Luke. Mendengar jawaban dari Luke, membuat amarah Berlian semakin memuncak. "Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan, Luke. Mungkin ini akhir dari kita. Aku tahu sikap dinginmu karena apa. Tapi, pernikahan ini, sejatinya untuk menyatukan kita agar kita lebih saling terbuka. Tetapi...." Berlian mengusap air matanya dengan punggung tangan, suara isaknya masih terdengar di antara desahan napas yang berat. "Tetapi kamu malah menambahkan tembok di antara kita," lanjut Berlian dengan suara serak, "Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan seperti ini, dalam bayangan ketidakpastian, kebohongan dan kebisuan. Sudahlah, lebih baik kita bercerai saja." Luke diam, hanya menatap Berlian dengan ekspresi yang sulit diterka. Dalam hati pria itu, ada rasa sakit yang tak terucapkan, namun bibir Luke kini terkunci. "Aku tidak akan menceraikanmu—" "Tidak. Aku lelah. Aku yang akan mengurus proses perceraian ini," kata Berlian, memutuskan untuk mengakhiri percakapan yang menyakitkan ini. "Kita akan bicarakan detailnya besok." Berlian melangkah melewati tubuh Luke. "Tunggu...." Luke mencekal pergelangan tangan Berlian, namun Berlian menepis tangan genggam itu dengan kasar. "Lepaskan!" sentak Berlian kasar. "Kau mau kemana?" tanya Luke tanpa enggan menatap wajah istrinya. Berlian menghentikan langkahnya sejenak, tetapi tidak menoleh. "Ke tempat di mana aku bisa bernapas," jawab Berlian dingin sebelum melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela