"Tidak, itu tidak benar, 'kan? Keluargaku sudah memberikan tempat yang nyaman untukmu, Paman. Aku harap, kau tidak seperti itu. Kamu menerima perjodohan ini karena kamu sudah mengenalku sejak kecil. Tentu Paman juga merasakan hal yang sama 'kan? Mungkin kita masih canggung karena ada ikatan saudara. Meski hanya saudara angkat." Berlian bergumam tanpa bisa ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Selama dua tahun menikah, Luke tidak pernah menyentuh Berlian. Alasannya, tidak pernah jelas. Luke selalu mengatakan bahwa dia sibuk atau terlalu lelah, dan Berlian selalu menerima alasan itu, meskipun hatinya terus bertanya-tanya. Dengan langkah berat, Berlian menuju balkon. Ia membuka pintu kaca dengan hati-hati, membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya yang kini berubah kelabu. "Aku sudah mencoba segala cara untuk mendekatimu, Luke. Tapi kamu selalu menjauh, seakan ada tembok yang tidak bisa kupecahkan," lirih Berlian, merasa semakin terpuruk. "Kenapa kau tidak pernah melihat usahaku? Kenapa kau tidak pernah menghargainya? Apa? Kenapa? Tolong berikan aku jawaban." Saat itulah, dari sudut mata wanita itu, Berlian melihat lampu mobil yang mendekat. Mobil Luke. Berlian tidak bergerak, ia sama sekali tidak ada gairah maupun dorongan untuk menyambut kedatangan suaminya. Berlian hanya berdiri mematung, menyaksikan mobil suaminya itu memasuki area mansion. Sementara di depan mansion, Luke turun dari mobil didampingi oleh seorang asisten yang bernama Julius. Saat melangkah turun dari mobil, wajah Luke tanpa ekspresi seperti biasa berjalan memasuki mansion dengan langkah tegap. "Selamat datang, Tuan!" beberapa pelayan yang berjajar di sana menyambut kedatangan Luke. Dan ada beberapa pelayan segera menghampiri pria itu, membuka jas blazer yang Luke kenakan dengan gerakan cepat dan terlatih. "Tuan, ada agenda yang harus Anda hadiri besok pagi," Julius mengingatkan sambil menyerahkan agenda harian kepada Luke. Luke mengangguk singkat tanpa berkata-kata. Wajah Luke tetap dingin dan acuh. Pelayan setia mereka, Ana, mendekati Luke dengan langkah hati-hati. "Tuan, nyonya sedari tadi menunggu Anda untuk makan malam bersama. Nyonya terlihat sangat sedih dan meminta kami untuk membuang semua makanan yang sudah nyonya masak untuk Anda, Tuan," lapor Ana dengan nada hormat, berharap mendapatkan sedikit perhatian dari majikannya. Luke berhenti sejenak, mata tajam itu menatap kosong ke depan sebelum melangkah lagi. "Aku sudah makan di luar," jawab Luke. singkat, tanpa emosi. Ana Hanya bisa membuang napas berat mendengar jawaban Luke sambil memperhatikan punggung Luke melangkah melewati tubuhnya. "Tuan, bisakah Anda sedikit peduli kepada Nyonya? Kenapa Anda begitu dingin kepada istri Anda sendiri?" gumam Ana kecewa dengan sikap Luke. Luke Bergegas menaiki tangga ke lantai atas, pria itu melangkah dengan cepat tanpa menoleh ke belakang. Sementara itu, di balkon, Berlian masih berdiri memandangi langit malam yang penuh bintang. Suara langkah kaki Luke yang mendekat semakin jelas terdengar, namun Berlian tidak berbalik. Ia terlalu sibuk menikmati udara malam yang dingin seakan menyatu dengan perasaan Berlian yang kini telah beku. Krek! Pintu balkon terbuka, dan Luke muncul di ambang pintu. Dia berdiri sejenak, menatap punggung Berlian yang tak bergerak menyambut kedatangannya. Tidak seperti biasa, istri itu akan bertanya banyak dan bercerita banyak hal tentang apa yang ia lakukan selama Luke tidak ada bersamanya. "Kau masih di sini? Kenapa belum tidur?" suara Luke terdengar datar, tanpa nada hangat. "Aku menunggumu," jawab Berlian, suara wanita itu nyaris berbisik. Luke menghela napas, melangkah mendekati Berlian. "Aku sudah bilang, jangan menungguku. Banyak urusan dan juga pekerjaan yang harus aku selesaikan." Berlian berbalik perlahan, menatap suaminya dengan pelupuk mata yang kini telah tergenang oleh air yang nyaris tumpah. "Apakah urusanmu lebih penting daripada aku? Daripada pernikahan kita?" tanya Berlian, mencoba mencari jawaban di mata coklat suaminya. Luke terdiam sejenak, tidak menjawab langsung. Wajah itu masih tetap dingin dan tanpa ekspresi. "Kau tahu betapa pentingnya pekerjaanku, Berlian. Kita hidup dalam dunia yang penuh tekanan dan tanggung jawab. Kau harus mengerti itu." Berlian menggelengkan kepala pelan, rasa frustasi mulai menguasai dirinya. "Aku mengerti, Luke. Tapi apakah itu alasan untuk selalu mengabaikanku? Apakah itu alasan untuk tidak pernah menyentuhku selama dua tahun ini?" suara Berlian bergetar, menahan emosi yang meluap. Luke menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Ini bukan tentang tidak menyentuhmu, Berlian. Ini tentang tanggung jawab dan prioritas. Kita semua punya peran masing-masing. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan? Dan aku di sini untuk bekerja mengurus bisnis keluargamu, Lian." "Tanggung jawab dan prioritas?" Berlian menatap Luke dengan tatapan tak percaya. "Apakah aku tidak termasuk dalam prioritasmu, Paman? Apakah aku hanya bagian dari tanggung jawab yang kau bebankan di punggungmu? Atau aku hanya sekedar simbol jika kamu memiliki istri? Tapi kenyataannya, kita tidak saling mengenal!" Luke tidak menjawab, hanya menatap Berlian dengan tatapan kosong. Berlian merasakan hatinya semakin hancur melihat sikap suaminya yang tidak peduli. "Aku sudah berusaha, Luke. Ya, awalnya aku keberatan. Karena kamu sudah seperti orang tuaku yang menjagaku. Tapi asal kamu tahu, aku mengalah untuk bisa memberikan arti dari pernikahan ini. Tapi apa? Apa yang aku terima? Sikapmu yang acuh tak acuh dan mengabaikan semua usahaku. Aku lantas bertanya-tanya. Apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu rahasiakan dariku, Luke Kendrick?!" teriak Berlian. Luke tertegun sejenak, kembali ia memasang wajah yang datar. "Tidak ada yang kusembunyikan darimu, Berlian. Aku hanya... sibuk." "Sibuk," Berlian mengulang kata itu dengan nada pahit. "Apakah itu saja alasanmu? Atau ada hal lain yang tidak bisa aku ketahui? Kamu punya wanita lain? Atau... Sebuah rahasia yang sedang kamu tutupi dariku?" Luke menghindari tatapan Berlian. "Aku tidak punya jawaban untukmu sekarang. Aku lelah. Aku ingin tidur." Luke memutar tubuhnya, hendak berlalu. Kerena ia tidak ingin berdebat. Air mata yang ia tahan-tahan akhirnya tumpah juga, mengalir di pipi putih Berlian seperti air sungai di musim banjir. Sakit? Jelas, dua tahun dalam keadaan rumah tangga mereka yang seperti ini. Saling diam dan tertutup. Meski barada di dalam satu atap yang sama, mereka seperti dua orang asing yang tidak bisa terbuka satu sama lain. "Luke!" Berlian menarik tangan Luke, memaksa pria itu menatapnya. Mata Berlian memancarkan keputusasaan yang mendalam, memaksa Luke untuk menghadapi kebenaran yang pria itu ingin hindari. "Jangan pergi begitu saja, Luke. Aku butuh kepastian dalam pernikahan ini," suara Berlian terdengar serak, penuh dengan rasa sakit yang telah lama terpendam. "Kepastian?" Luke menatap Berlian dengan mata yang dingin. "Kepastian seperti apa yang kau inginkan?" Berlian menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan tangis yang semakin membanjiri pipi mulusnya. "Aku ingin tahu, apakah kamu benar-benar peduli padaku, Luke. Aku ingin tahu, apakah pernikahan kita ini lebih dari sekadar tanggung jawab? Atau hanya sekedar pencapaianmu dalam mengambil alih ladang opium dan bisnis keluargaku?" tanya Berlian tajam. Luke terdiam, sorot mata Luke kosong dengan wajah datar yang Berlian terima dari reaksi suaminya. Berlian merasa hatinya semakin luluh lantah mendapati sikap suaminya yang seakan mengabaikan usaha yang ia lakukan untuk memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Berlian menarik napas yang terasa sesak, seakan ia juga menghirup ribuan jarum setiap kali ia menarik napas. "Oke. Aku mengerti sekarang. Aku benar-benar tidak sanggup menjalani pernikahan seperti ini. Mari kita bercerai, Paman. Karena Paman tidak tahu bagaimana cara mencintaiku dengan semua usaha yang telah aku lakukan," kata Berlian tercekat oleh rasa sesak.Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela