MasukSebastian sudah siap dengan kemejanya.
Hari ini dirinya harus berangkat pagi-pagi sekali. Bukan untuk rapat, karena dirinya akan sangat sibuk mengurus segala sesuatu yang sempat tertunda. Tepat di depan kamarnya, adalah milik sang Kakak yang saat ini telah ditempati oleh Alisha dan Leon. Namun, ada sesuatu yang berisik di kamar itu. Sepertinya Alisha sedang memanggil putranya dengan nada sedikit kesal. Ada apa dengan mereka? Penasaran, Sebastian keluar sembari membawa tas. Saat matanya menatap lurus sosok mungil kecil tanpa sehelai benang pun berlarian kesana kemari. Leon nampak bahagia dengan handuk yang tergantung bebas di Kedua pundaknya. Rambut bocah itu basah, pasti dia habis mandi. Sebastian melangkah sedikit, berniat mencuri pandang ke dalam kamar tersebut. Dari balik pintu dapat Sebastian lihat kalau Alisha sedang kesusahan menghadapi Leon. Bocah nakal itu naik ke atas kasur lalu melompat kegirangan. Sebastian terkekeh, gemas. Melihat interaksi keduanya … apakah mungkin Reygan setiap hari melihat pemandangan seperti ini? Betapa bahagianya mereka. “Leoooon, berhenti sayang … pakai bajunya dulu. Nanti masuk angin. Masa habis mandi gak pakai baju?” “Leon gak mau pake baju, ah!” “Kok gitu? Gak boleh sayang … nanti badannya di gigit nyamuk mau? Nanti bentol-bentol loh, ihhhh.” Bukannya menurut, Leon malah kembali berulah. Kali ini dia berani mengambil bantal lalu melemparkannya ke arah Alisha. Perempuan itu terkejut, namun siapa sangka bantal itu bukanya terjatuh ke lantai, malah terlempar dan hampir saja mengenai seseorang di belakangnya. Sebastian memungut bantal itu. Alisha mematung di tempat. Lalu sadar ia buru-buru menarik tubuh kecil putranya dan memakaikannya pakaian. “Leon, kalo Leon nakal lagi, Bunda gak akan beliin Leon es krim sama permen. Ngerti?” Wajah Leon langsung tertunduk lesu. Dia turun dari ranjang tanpa senyuman manis di wajahnya. Sebastian mengamati keponakannya itu. Kenakalannya sang Kakak memang menurun pada diri Leon. “Leon, jangan berbuat kayak gitu lagi. Jangan juga ngerepotin Bunda, ya?” Bocah itu sedikit terkejut karena Sebastian baru pertama kali menegurnya dengan wajah seram seperti itu. Namun Leon mengangguk dan minta maaf kepada Alisha. “Leon mau jadi anak baik kan?” Leon bergumam kecil. “Berarti harus nurut omongan Bunda. Jangan lari-larian kayak tadi, bahaya.” “Iya Om Bas, Leon ngerti.” Seketika semuanya mendadak hening. Kecanggungan melingkupi keduanya. Tapi tidak dengan Leon. Bocah itu mengamati penampilan Sebastian dari atas sampai bawah. Seolah ada seribu pertanyaan yang siap dia ungkapkan saat ini juga. “Om Bastian mau kemana?” Tanya Leon layaknya anak kecil yang penasaran akan sesuatu. Alisha merasa tidak enak. Ingin sekali menegur putranya tapi jawaban Sebastian malah di luar ekspektasinya. “Mau kerja. Ikut?” “Eh, jangan-“ “Ikut! Leon mau ikut bareng Om!” Alisha menganga di tempat. Bocah nakal itu langsung melompat di gendongan Sebastian. Pria itu sedikit tersenyum. Namun lain halnya dengan Alisha. Alisha takut jika Leon berbuat onar. “Bunda, Leon mau ikut Om Bastian, boleh?” “Y-ya …” Sebatian yakin dari gerak-gerik Alisha yang nampak tidak setuju akan hal ini. Namun Sebastian punya seribu cara supaya Leon mau ikut dengannya, entahlah. Sebastian tertawa dalam hati. Merutuki segala kebodohannya karena masih berharap kepada perempuan itu. “Leon, biar bareng aku aja. Takut nanti bikin rusuh.” Alisha berusaha menggapai lengan putranya, namun Leon menariknya. “Leon, jangan ganggu Om Tian dong? Sama Bunda aja ya? Kan bentar lagi pergi ke rumahnya Oma Dalia.” “Mau kemana?” Sebastian penasaran. Apakah telinganya tidak salah dengar? “Aku mau ke rumah Ibu dulu. Nanti sore pulang. Aku sama Leon udah lama gak pernah nengok Ibu. Aku juga udah minta izin ke Mama sama Papa.” Setelah mengatakannya, pria itu terdiam sejenak, lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Alisha mengikutinya dari belakang. “Tian, kasi Leon ke aku. Kamu gak perlu bawa Leon ke tempat kerja kamu. Bawa kesini Leonnya.” Alisha di buat kesal. Bahkan setelah sampai ujung tangga bawah pun, Sebastian tidak menurunkan putranya sama sekali. Apa sih maunya pria itu? Kenapa tiba-tiba bersikap demikian? Melihat Alisha mengejar Sebastian, Ivana yang sudah dulu menunggu di bawah penasaran. “Itu Leon mau kamu bawa kemana, Bas?” “Nenek. Leon mau ikut Om ke tempat kerja.” “Hah?” “Leon, kan Bunda bilang gak usah, jangan ya, Nak? Nanti ngerepotin Omnya loh.” Bocah itu malah melengos, membuang muka. Alisha terpaku. Bagaimana ini? Dirinya terus saja berlari mengejar mereka berdua. Sebastian membuka pintu mobil lalu menaruh hati-hati tubuh Leon di kursi depan. Di belakangnya Alisha mengerut tidak suka. “Tian-“ “Kamu masuk.” “Y-ya? Masuk?” Pria itu mengangguk tanpa menjawab. “Kamu masuk. Aku anterin kamu ke rumah Ibu kamu.” Ia tak percaya. Alisha bahkan masih berdiri dengan tubuh kaku. Tapi … saat melihat wajah yang nampak serius itu, mungkin kebaikan Sebastian harus di hargai. Jadi ia terpaksa masuk dan membawa Leon ke atas pangkuannya. “Om, nanti aku ikut Om aja. Bunda biar pulang ke rumah Oma!” “Jangan dong Leoooon.” “Tian, nanti Leon biar sama aku aja. Aku tidak mau kalau dia ngerepotin kamu nantinya. Leon itu anaknya sedikit bandel, susah di omonginnya.” “Leon gak bandel Bundaa,” Sebastian menyipitkan matanya, melihat interaksi mereka berdua. Bisa tidak ya hidupnya seperti ini saja? ************* “Alisha, kenapa kamu bolehin Sebastian bawa Leon? Emangnya di bolehin bawa anak kecil ke Kantor?” Dalia—Ibu Alisha yang tengah memotong sayuran, pun ikut heran karena Sebastian mau membawa Leon ke tempat kerjanya. Dulu … jika Leon merengek ingin ikut bersama Reygan, suaminya itu menolak bukan karena tidak diperbolehkan, hanya saja takutnya nanti Leon berbuat ulah dan membuat kekacauan seisi kantor. Tapi Sebastian ini … sedikit berbeda kan? Ada yang aneh dengan pria itu. Alisha mengangguk sesekali mencicipi masakannya kali ini. “Boleh, katanya. Ya udah lah gak papa, kalau Tian emang bilangnya gak masalah, aku jadi sedikit tenang. Aku juga percaya sama dia.” “Bastian itu meskipun cuek, dia sebenarnya lebih hangat dan ramah dibanding almarhum suami kamu.” “Kok gitu?” Alisha merasa tidak terima. Meskipun mereka berdua kakak beradik, tapi jika Reygan dibandingkan seperti itu, ia tidak rela. “Kenapa? Gak suka ya karena Ibu bandingkan suami kamu sama adiknya. Meskipun kamu gak terima pun, kamu harus tahu kebenarannya, Alisha. Jangan pernah melihat sifat orang lain dari luarnya saja. Karena bagaimana pun Bastian itu selalu ada di saat kamu butuh. Sering malah.” Alisha curiga. Kenapa Ibunya ini begitu bahagia membicarakan kebaikan yang Sebastian lakukan? Tapi … kapan pria itu melakukannya? “Ibu, Ibu tahu sesuatu ya?” Dalia menoleh, kali ini mimik wajahnya berbeda. Seolah mengatakan kenapa dirinya bertanya seperti itu? “Loh, memangnya kamu gak tahu? Apa Reygan dulu gak pernah cerita ke kamu?” tukasnya terhenti. “Bukan masalah penting sih, cuma … Ibu ngerasa kalo kamu memang harus tahu satu hal,” Dalia mulai memasukan potongan sayur ke dalam panci. Mengambil bumbu-bumbu lalu menuangkannya sesuai selera. “Dulu, Ibu pernah lihat Bastian dateng kesini waktu kamu masih pacaran sama Reygan dulu.” “Masa sih, Bu? Kok aku gak pernah tahu ya?” Mereka mulai membicarakan masa lalu. Kali ini kedatangannya di rumah sang Ibu mungkin sedikit memiliki sebuah rahasia. “Jelas lah kamu gak pernah tahu, dianya aja gak pernah masuk ke rumah. Nak Bastian itu sering kesini, cuma nganterin Kakaknya apel sama kamu. Tapi dia nunggu di luar. Ibu tanya kenapa gak mau masuk? Dia jawab gak mau jadi nyamuk katanya gitu.” Alisha refleks tertawa, keras. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Sebastian mengucapkannya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Jika dirinya tahu mungkin ia akan menjadi orang pertama yang tertawa. “Pernah juga waktu kamu sakit, Reygan gak bisa nganterin kamu karena ada ulangan, jadinya suami kamu minta tolong ke Bastian buat nganterin kamu ke rumah. Ibu kaget, bukannya Reygan malah adiknya.” Alisha mulai berpikir keras. Waktu dirinya sakit ya? Saat itu dirinya pernah sakit dan izin untuk pulang, sepertinya saat ia masih di kelas 12 kan? Berarti Sebastian kelas 11 waktu itu. Karena kelasnya Sebastian tidak ada materi, makanya Reygan meminta tolong pada adiknya. Oh … begitu. “Kok aku gak tahu semuanya ya, Bu? Kenapa Ibu gak bilang?” “Loh, Ibu kira Nak Rey udah ngasi tahu kamu.” “Aku ngiranya memang Rey yang nganterin. Tapi pas aku tanya dia jawab enggak, aku mau nanya balik, males.” “Ya udah salah kamu berarti.” Alisha hanya cemberut. Sayuran sudah matang. Tinggal di letakkan di atas meja. Alisha mulai menyiapkan beberapa piring. Menaruhnya serapi mungkin. “Jadi nanti kamu mau langsung pulang, apa jemput Leon dulu?” Alisha menggeleng, tidak tahu. Dirinya juga belum bertanya kepada Sebastian. “Aku gak tahu Bu, belum nanya juga sama Tian. Bentar lagi deh aku telfon dia.” Dalia mengangguk pelan, sibuk membereskan sisa sayuran. Alisha menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya di atas meja. Jemarinya ragu beberapa detik sebelum akhirnya menekan nomor Sebastian. Jantungnya berdebar, entah kenapa. Nada sambung terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali. Akhirnya sambungan terhubung. “Halo,” suara Sebastian terdengar dalam dan berat, di tengah riuh rendah suara kantor. Alisha menggenggam ponselnya erat. “Itu … Leon gak ganggu, kan?” tanyanya cepat. Hening sejenak. Lalu suara tawa kecil Leon terdengar samar dari seberang, membuat hatinya menghangat. Namun setelah itu, Sebastian berbisik singkat, nada suaranya aneh, nyaris membuat bulu kuduknya merinding. “Ganggu? Justru … semua orang di sini malah bilang Leon mirip aku.” Alisha terdiam. Mirip bagaimana?Yuuna mengompres kedua matanya dengan es batu yang sempat ia ambil didalam kulkas, saat ingin makan. Ternyata, efek dari perkataan itu sangat menguras seluruh energi dan juga batinnya. Siapa sangka, kedua matanya akan membengkak seperti ini layaknya disengat lebah? Maka dari itu Yuuna malu untuk turun, takut dianggap cengeng dan menyedihkan. Lagipula, ini tempat bukanlah rumahnya. Ia tidak ingin banyak tingkah dan memilih patuh. Saat melihat dicermin, kedua matanya tidak terlalu membengkak lagi. Tapi masih bisa dibilang masih meninggalkan jejak. Ketika es batu ditangannya mulai mencair, suara ketukan pintu mengejutkannya. Siapa lagi malam-malam begini yang mengetuk pintu kamarnya? Batin Yuuna. Tidak ingin membuatnya menunggu, Yuuna berdiri untuk membuka pintu. Sesaat tubuhnya terpaku dengan kedua mata sedikit dingin dan basah. Sosok didepan nya begitu menjulang tinggi seperti tiang listrik. “Abang?” Eh? Tanpa sadar Yuuna menutup mulutnya. Entah panggilannya yang terdengar salah,
Alisha mengetuk beberapa kali pintu kamar itu. Berharap sang pemilik membukanya dan turun untuk ikut makan malam. Tapi sepertinya, Yuuna tidak dengar atau mungkin … ada hal lain? Alisha berniat untuk masuk dan memeriksa. Saat pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, ternyata gadis itu meringkuk didalam selimut, mungkin sedang tidur. Ia melangkah pelan penuh kehati-hatian. Takut jika kedatangannya membangunkan gadis itu yang sedang terbuai kedalam mimpi. Saat Alisha sudah sampai di samping ranjang, hendak menyentuh kepala itu, suara Yuuna mengejutkannya. Sedikit serak dan bergetar. “Kakak, aku malam ini gak ikut makan malam.”“Loh, kenapa? Gak lapar?”Sebuah gelengan lemah membuatnya sedikit terkesiap. “Enggak. Cuma males aja mau makan. Kakak duluan aja, nanti kalau aku laper, aku turun makan.”Helaan nafas terdengar dan Alisha tidak memaksa. Jika itu kemauan Yuuna, ia pun tidak ingin bertindak lebih jauh lagi. Dari tadi pagi dirinya memang sudah berangkat untuk melihat keadaan toko.
Eh? Adik? Dia?Sontak dengan kepala ditengokan sedikit cepat, Reksa mulai mengamati gadis itu dari atas sampai bawah. Yuuna yang merasa diperhatikan, merasa risih dan canggung. “Lo bercanda?”“Enggak. Minggir,” Sebastian menyenggol bahu pria itu dan melewatinya. Masuk terlebih dahulu tanpa mempersilakan Reksa masuk. “Galak amat. Beberapa bulan gak ketemu, malah lihat cewek baru disini.” Reksa mengerling genit. Yuuna kaget lalu mendengus dan pergi begitu saja. Merasa tidak dihargai, Reksa melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Ivana sudah terlebih dahulu berada diruang tamu, menyambut kedatangan Sebastian dan juga Reksa. “Eh? Ada Nak Reksa. Baru dateng apa dari tadi?”“Baru aja nyampek dari Jepang.” Reksa menyalami wanita itu dan tersenyum ramah. Sebastian yang duduk di sofa, tampak melonggarkan dasinya. Dari arah pintu belakang, sosok bertubuh mungil berlari mendatangi Reksa. “Eh ada Leon? Wah … Om kangen berat nih.”“Om Reksa kangen Leon? Kalau kangen oleh-olehnya mana?”
Karena Yuuna masih belum masuk sekolah, ditambah hari ini adalah hari minggu, jadi jadi dirinya harus ikut menjaga Leon bermain di halaman belakang. Bersama dengan Ivana lebih tepatnya. Yuuna berdeham pelan, saat Ivana sampai dan meletakan secangkir teh hangat diatas meja. Mereka sedang bersantai sesekali memperhatikan sekecil bermain layang-layang yang Sebastian beli waktu perjalanan pulang ke rumah. “Terima kasih.” Yuuna berucap sopan. Ia teguk teh hangat itu sedikit, merasakan hawa panas yang menjalar dari mulut hingga kedalam tubuh. “Kamu pasti terkejut saat tahu Alisha membelamu.” Ivana tiba-tiba berucap. Perihal itu, memang dirinya sangat terkejut. Tapi tidak ada yang bisa ia katakan saat itu. “Alisha … perempuan baik yang pernah saya temui.” Perempuan … baik? Jika diingat-ingat, saat pertemuannya dimalam itu, dan bagaimana dia memperlakukannya layaknya seorang adik, Yuuna tidak akan menyangkal perkataan Ivana. “Dia menantu saya yang paling saya hargai. Saya mengh
Yuuna berdiri didepan cermin.Dengan rasa gugup yang menyerang, gadis itu menatap dirinya dari atas sampai bawah tanpa sedikitpun melewatinya. Hari ini dirinya hanya ikut sarapan pagi, tapi entah kenapa seolah sedang menunggu antrean untuk interogasi selanjutnya. Dengan keyakinan yang kuat, Yuuna mulai melangkahkan kakinya keluar. Menapaki lantai marmer berwarna putih, ia mendengar suara bising dari bawah. Terutama saat suara bocah itu meramaikan suasana di meja makan. Saat hendak turun, dirinya termangu tepat di ujung anak tangga. Dapat ia lihat betapa harmonisnya keluarga itu, dan dirinya masuk begitu saja sebagai perusak suasana. Yuuna merasa demikian. Namun, ketika dirinya hendak berbalik untuk menuju kamar, suara lembut yang menyapanya terlebih dahulu, memanggilnya.Yuuna terkesiap. “Yuuna?” Gadis itu tak jadi pergi. Dengan gerakan pelan ia memutar tubuh, dan melihat bahwa Alusha sedang melambaikan tangan kearahnya. Reflek Yuuna membalas lambaian itu. Tidak peduli jika ada tata
Karena kalimat sudah terlanjur diucapkan, dan keputusan sudah terlanjur dibuat, dirinya tidak akan mundur. Dengan tekad yang kuat, Alisha mengucapkan kata yang hampir seluruh penghuni rumah terperangah tak percaya. Apalagi saat melihat ekspresi terkejut Ivana disebelahnya, antara menyesal dan juga terkejut.Haris sudah pergi dan menuju kamar, diruang tamu itu hanya ada mereka berempat. Leon masih duduk anteng namun matanya bergerak seolah ingin tahu siapa gadis didepannya itu.“Sayang, kamu yakin?” Beberapa kali Sebastian bertanya dan mengucapkan kata “yakin” dari bibirnya takut jika keputusan sang istri salah dan hanya sebatas kasihan semata. “Aku yakin.” Gadis didepan nya itu masih membutuhkan sekolah dan pendidikan. Mungkin dia juga ingin mengejar mimpinya. Meskipun keluarganya hancur akibat ulah sang Ayah, dapat ia lihat jika tekad pada diri gadis itu sangatlah besar. “Aku gak mungkin salah sama keputusan dan penilaianku sendiri.”Sebastian nampak menghela nafas, mungkin juga sed







