Share

Nasihat dari Sang Ayah

Mendengar perkataan dari ayahnya, sikap Pandu mendadak bimbang dan gundah. Ada rasa bahagia dan ada pula rasa sedih yang membelenggu dalam jiwa dan pikirannya kala itu. Seakan-akan, ia tidak rela jika harus meninggalkan ayahnya seorang diri.

Meskipun demikian, Pandu sangat berkeinginan untuk mengabdi di istana sebagai seorang prajurit. Karena dirinya mempunyai cita-cita tinggi, ingin menjadi seorang senapati seperti ayahnya di masa lalu.

Pandu menghela napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Lantas, ia segera menjawab perkataan dari ayahnya, "Aku tidak tega jika harus meninggalkan Rama sendirian." Suaranya terdengar berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.

"Kenapa, Nak?" tanya Wira Karma menatap tajam wajah putra semata wayangnya.

"Sedari kecil aku tidak pernah berpisah dengan Rama, sekarang aku harus meninggalkan Rama sendiri hanya karena mengejar cita-cita," jawab Pandu balas menatap wajah sang ayah.

Bulir bening mulai meredupkan pandangannya. Tampak jelas dari raut wajah Pandu, ia merasa berat jika harus berpisah dengan sang ayah. Meskipun semua itu permintaan ayahnya, agar Pandu bisa meraih cita-cita dan impiannya.

Wira Karma tersenyum-senyum memandangi wajah putra semata wayangnya itu. Kemudian, ia kembali berkata sedikit memberikan nasihat kepada putranya, "Kau harus ikhlas dan rela meninggalkan Rama di sini! Ingat, Nak! Cita-cita yang kau inginkan akan segera tercapai. Jangan sia-siakan kesempatan ini!" tandas Wira Karma.

"Iya, Rama," jawab Pandu lirih, suaranya hampir tidak terdengar.

"Kau harus seperti Rama! Kelak kau akan menjadi senapati yang gagah berani," tegas Wira Karma menyemangati putranya.

Terpancar sebuah harapan besar dari raut wajah pria paruh baya itu. Sejatinya, Wira Karma memang sangat menginginkan agar Pandu mendapatkan tempat di istana dengan kedudukan tinggi. Seperti apa yang pernah ia alami sepuluh tahun silam yang berhasil menjadi seorang panglima prajurit tertinggi selama 25 tahun di istana kerajaan Genda Yaksa, serta mendapatkan gelar dari raja terdahulu sebagai Senapati Guna Yaksa Pratama.

"Baiklah kalau memang seperti itu, aku akan segera berangkat ke istana memenuhi panggilan sang raja. Jika aku sudah berhasil dan mendapatkan jabatan tinggi, aku pasti akan menjemput Rama dan Paman Damara, agar kalian ikut bersamaku tinggal di istana!" tegas Pandu mulai menyetujui apa yang diinginkan oleh ayahnya.

Mendengar perkataan dari putranya, Wira Karma langsung tersenyum dan segera memeluk erat tubuh putra semata wayangnya itu, sambil berurai air mata penuh keharuan.

"Rama sangat menyayangimu, Pandu," desis Wira Karma mengenai telinga Pandu.

"Iya, Rama. Aku pun demikian," sahut Pandu lirih.

"Percayalah, kau adalah kesatria yang dibutuhkan oleh kerajaan ini. Doa Rama selalu menyertaimu Pandu. Jadilah punggawa yang jujur, berani, dan bertanggung jawab atas segala urusan kerajaan! Rama sangat berharap, kelak kau akan menjadi seorang senapati seperti Rama dan mendiang pamanmu," kata Wira Karma penuh kelembutan.

Bola matanya berkaca-kaca, terpancar dari wajah dan sikap pria paruh baya itu. Ada sebuah rasa bangga terhadap putranya, tidak teras air matanya menetes membasahi wajah hingga jatuh ke pundak Pandu.

"Rama jangan sedih! Aku akan menjaga nama baik Rama. Kelak jika aku sudah menjadi seorang punggawa kerajaan, apa yang Rama inginkan pasti akan segera terwujud," tegas Pandu memandangi wajah ayahnya.

"Rama menangis bukan karena sedih. Air mata ini sebagai ungkapan rasa bahagia Rama, karena kamu sudah menuruti keinginan Rama!" kata Wira Karma tersenyum lebar berusaha menutupi rasa sedih yang melanda jiwa dan pikirannya kala itu.

Mendengar ucapan ayahnya, Pandu kembali memeluk erat tubuh sang ayah. Tanpa terasa air matanya pun menetes.

"Terima kasih, Rama. Selama ini, Rama sudah merawatku dengan baik, dan mendidik putramu ini dengan penuh kesabaran dan keikhlasan," ujar Pandu melepaskan diri dari pelukan ayahnya.

Lantas memandangi wajah sang ayah yang sudah dipenuhi guratan-guratan di keningnya sebagai tanda kematangan usianya.

"Sebelum berangkat ke istana. Alangkah baiknya kau berkunjung terlebih dahulu ke rumah gurumu! Minta doa dan izin darinya, agar kau mendapatkan kesuksesan seperti apa yang telah kau cita-citakan!" saran Wira Karma kepada putranya.

"Baik, Rama. Besok aku akan berangkat ke desa Baliung untuk menemui guru," jawab Pandu tersenyum lebar tak hentinya memandangi wajah sang ayah.

Wira Karma tampak semringah setelah mendengar kesiapan putranya untuk berangkat ke istana, dalam rangka memenuhi undangan sang raja untuk mengabdikan diri menjadi seorang punggawa kerajaan.

"Terima kasih, Dewa. Kau telah mengabulkan doa dan harapanku selama ini," ucap Wira Karma dalam hati.

Setelah itu, Pandu pamit kepada sang ayah. Ia hendak menemui Damara yang tengah berada di saung yang ada di ladang milik ayahnya.

"Aku mau menemui Paman Damara sebentar, Rama," kata Pandu lirih.

"Sebaiknya, kamu bawakan pamanmu makanan! Tadi Rama sudah masak pisang rebus."

"Baik, Rama." Pandu bangkit dan langsung melangkah menuju ruang dapur hendak mengemas pisang rebus yang akan dibawanya ke tempat Damara.

Sudah hampir satu pekan, Damara menempati gubuk tersebut atas izin dari Wira Karma yang merasa iba terhadap Damara. Karena selama ini, pendekar paruh baya tersebut tidak memiliki tempat tinggal di desa itu.

Setelah mengemas pisang rebus, Pandu pamit kepada ayahnya dan segera melangkah menuju ladang tempat keberadaan Damara.

"Aku harus menyampaikan kabar baik ini kepada Paman Damara," desis Pandu sambil melangkah menuju ke arah ladang.

Ketika, ia sudah tiba di perkebunan rempah-rempah. Tiba-tiba saja, terdengar suara teriakan seseorang yang memanggil namanya.

"Pandu! Tunggu aku!"

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status