Damara bergegas menotok seluruh titik aliran darah di tubuh Pandu. Kemudian, ia segera mengeluarkan racun tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya.
Beberapa saat kemudian, Pandu sudah mulai sadar dan kembali membuka matanya.
"Kau kunyah dan telan serbuk ini!" perintah Damara menyerahkan bungkusan kertas dalam bentuk lipatan berukuran kecil kepada Pandu.
"Iya, Paman." Pandu langsung meraih kertas yang berisikan serbuk penawar racun tersebut. Lantas, ia pun segera menelan serbuk ramuan itu tanpa menggunakan air.
Setelah memberikan penawar racun, Damara langsung meminta bantuan kepada beberapa orang warga yang tengah mencari kayu di hutan tersebut, untuk membawa Pandu pulang ke kediamannya.
Di tempat terpisah, Andaresta pun tengah berjuang untuk mengobati luka dalam yang dideritanya. Namun, ia masih tetap bersikap sombong. Andaresta sangat yakin, bahwa Pandu tidak akan mungkin selamat oleh pengaruh racun itu.
"Pandu, ajalmu akan segera tiba. Racun itu tidak mungkin bisa keluar dari tubuhmu," desisnya sambil tertawa-tawa sendiri.
Andaresta membalikan badan sedikit membungkuk. Kemudian, ia meraih dedaunan yang ada di sekitar tempat itu, yang ia percaya dapat mengobati luka dalam yang dideritanya.
Pukulan tenaga dalam dari Pandu memang sangat berbahaya, dan dapat melumpuhkan lawan dalam hitungan jam jika tidak segera diobati.
Namun, Andaresta memang sudah benar-benar paham dengan hal demikian. Sehingga, ia pun segera mengobati lukanya dengan mengunyah dedaunan khusus yang ada di hutan itu. Daun tersebut dipercaya dapat mengobati luka dalam sekaligus mengeluarkan racun dalam tubuh.
"Sial, pahit sekali daun ini!" gerutu Andaresta. Walaupun terasa pahit, Andaresta tetap menelan daun yang sudah ia kunyah itu.
Setelah mengunyah dedaunan tersebut, terasa mengalir dalam aliran darahnya sebuah hawa panas yang terasa menyengat di sekujur tubuh pemuda itu. Seketika tubuhnya bergetar hebat dan menggigil, kemudian jatuh ke tanah. Dari hidung dan mulutnya langsung mengeluarkan darah segar mengalir deras berwarna merah kehitam-hitaman. Akan tetapi, hal itu berlangsung hanya sekejap saja. Setelah itu, Andaresta mengalami perubahan dalam tubuhnya, ia sudah merasa baik dan badannya pun terasa segar kembali.
"Memang benar kata orang, bahwa daun Kodara ini adalah obat yang paling ampuh untuk mengobati luka dalam," desis Andaresta semringah. "Aku harus segera ke rumah Ki Kusumo. Aku akan kembali menyusun kekuatan untuk melawan Ki Wira Karma, dia pasti akan memburuku setelah mengetahui kematian Panglima Rakuti dan Pandu," sambungnya sambil melangkah menuju ke arah timur dari hutan tersebut.
Andaresta sangat meyakini bahwa Pandu pun akan segera mati oleh pengaruh racun yang ia campurkan ke dalam minumannya. Sejatinya, Pandu saat itu sudah pulih, semua racun di dalam tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan.
Akan tetapi, Andaresta tidak mengetahui jika Pandu sudah pulih diobati oleh Damara yang memiliki keahlian khusus dalam pengobatan, dan memiliki ramuan penawar racun yang sangat mujarab.
Ketika Andaresta tengah berjalan menuju ke sebuah desa yang ada di sebelah timur dari hutan tersebut. Tiba-tiba saja, terdengar suara seseorang berteriak memanggilnya.
"Andaresta! Tunggu aku!"Andaresta tampak terkejut dengan kemunculan suara itu. Lantas, ia pun segera menghentikan langkahnya dan langsung berpaling ke arah belakang.
"Ada perlu apa kau mengejarku?" tanya Andaresta tampak angkuh menatap sinis seorang pemuda yang sebaya dengannya.
Pemuda tersebut adalah Wandalika—putra Sogara adik kandung Rama Karna—ayahnya Andaresta.
"Aku diminta oleh rama untuk mencarimu. Karena ibuku saat ini tengah dalam keadaan kritis," jawab pemuda itu.
Andaresta mengerutkan kening. Lalu bertanya lagi kepada sepupunya itu, "Maksudmu, bibi dalam keadaan sakit parah?"
"Benar, Andaresta. Ibuku baru saja mengalami musibah, ia terjatuh di pinggir sungai," jawab Wandalika. "Kepalanya terluka parah dan banyak mengeluarkan darah, hingga saat ini ibuku masih belum sadarkan diri," sambung pemuda itu menuturkan.
"Lantas apa urusannya denganku? Kau urus saja ibumu itu!" bentak Andaresta.
Mendengar perkataan dari saudara sepupunya itu, Wandalika mendadak gusar. Akan tetapi, ia berusaha untuk tenang dan tidak terpancing emosi."Kenapa kau berkata seperti itu, Andaresta? Walau bagaimanapun, ibuku adalah bibimu sendiri yang pernah merawatmu."
"Sebaiknya kau kembali saja! Aku tidak mau pulang, mau mati saja merepotkan orang lain," pungkas Andaresta langsung membalikkan badan, dan kembali melanjutkan perjalanannya.
"Andaresta!" teriak Wandalika langsung berlari mengejar Andaresta.
Mengetahui bahwa Wandalika mengejarnya. Dengan cepat Andaresta menghentakkan kaki dan langsung melesat ke udara meninggalkan tempat tersebut.
"Bedebah kau Andaresta!" teriak Wandalika mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat.
Dengan demikian, ia pun segera membalikkan badan, dan kembali melangkah ke arah desa tempat tinggalnya dengan membawa kekesalan yang begitu mendalam terhadap saudara sepupunya itu.
Beberapa hari berikutnya, suasana duka masih menyelimuti jiwa dan pikiran Pandu, juga ayahnya. Bukan perkara mudah bagi Pandu dan ayahnya, bisa secepatnya melupakan peristiwa terbunuhnya Panglima Rakuti yang merupakan orang terpenting di keluarganya.
"Tak ada yang bisa diajak tanding lagi untuk menguji kemampuan ilmu bela diriku. Kini, Paman Rakuti telah pergi untuk selama-lamanya," kata Pandu dalam hati sambil duduk termenung di atas bebalean yang ada di beranda kediamannya.
"Aku harus segera membalas dendam kepada Andaresta," desis Pandu penuh emosi.
Tidak lama kemudian, terdengar suara panggilan dari dalam rumah, "Pandu!"
"Iya, Rama. Sebentar!" sahut Pandu dari luar. Namun, Pandu belum juga bangkit dari duduknya.
Wira Karma tampak tidak sabar, kemudian berteriak lagi, "Pandu! Cepatlah masuk, ada hal penting yang ingin Rama bicarakan denganmu!"
Untuk itu, Pandu pun bangkit dan segera menghampiri ayahnya dengan raut wajah tampak mendung diselimuti kedukaan.
Wira Karma tertawa kecil melihat sikap putra semata wayangnya. Lalu berkata lirih, "Maafkan Ramamu ini, Nak. Bukannya Rama mau mengganggu waktu istirahatmu. Namun ada hal yang sangat penting yang ingin Rama katakan!" ujarnya sambil memandangi wajah Pandu.
Pandu menghela napas dalam-dalam, kemudian duduk di samping ayahnya. "Aku tidak marah, Rama saja yang tidak sabaran," kata Pandu mendelik kepada sang ayah.
Wira Karma hanya tersenyum-senyum sambil mengelus lembut pundak putranya dengan penuh kasih sayang. Lantas, ia pun berkata, "Iya, Pandu. Rama paham dengan apa yang sedang kamu rasakan."
Pandu hanya diam saja, lantas memandangi wajah pria paruh baya yang masih menyisakan gurat ketampanan itu
Kemudian berkatalah Pandu penuh hormat kepada ayahnya, "Rama mau bicara tentang hal apa? Katakan saja!"
Wira Karma tersenyum sambil menatap wajah Pandu. Lantas, pria paruh baya itu berkata, "Kau sekarang sudah dewasa dan sudah saatnya mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu!" ujar Wira Karma, tangannya masih melekat di pundak pemuda berwajah tampan itu.
Pandu mengerutkan kening, ia tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh ayahnya. Namun, ia hanya diam saja tidak berani menyela perkataan sang ayah.
"Berangkatlah ke istana! Jadilah seorang prajurit kerajaan! Karena sang raja sudah mengundangmu untuk menghadapnya."
* * *Mendengar perkataan dari ayahnya, sikap Pandu mendadak bimbang dan gundah. Ada rasa bahagia dan ada pula rasa sedih yang membelenggu dalam jiwa dan pikirannya kala itu. Seakan-akan, ia tidak rela jika harus meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun demikian, Pandu sangat berkeinginan untuk mengabdi di istana sebagai seorang prajurit. Karena dirinya mempunyai cita-cita tinggi, ingin menjadi seorang senapati seperti ayahnya di masa lalu. Pandu menghela napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Lantas, ia segera menjawab perkataan dari ayahnya, "Aku tidak tega jika harus meninggalkan Rama sendirian." Suaranya terdengar berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kenapa, Nak?" tanya Wira Karma menatap tajam wajah putra semata wayangnya. "Sedari kecil aku tidak pernah berpisah dengan Rama, sekarang aku harus meninggalkan Rama sendiri hanya karena mengejar cita-cita," jawab Pandu balas menatap wajah sang ayah. Bulir bening
Pandu menghentikan langkahnya sejenak. Lalu berpaling ke belakang. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil ke arahnya. "Reksa Pati," desis Pandu meluruskan dua bola matanya ke arah pemuda tersebut. Reksa Pati tersenyum-senyum ketika sudah berada di hadapan Pandu. Ia terus menatap lekat wajah sahabatnya. Lalu bertanya, "Kau mau ke mana, Pandu?" Pandu balas senyum. Lantas menjawab dengan lirihnya, "Aku hendak menemui Paman Damara di saung. Apa kau mau ikut?" "Tidak, Pandu! Aku masih ada urusan," jawab Reksa Pati tersenyum lebar. "Baiklah kalau memang seperti itu. Lain kali kalau ada waktu, aku tunggu kau di rumahku!" kata Pandu balas tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya. "Baiklah, kapan-kapan aku pasti berkunjung ke rumahmu," tandas Reksa Pati. Dengan demikian, Pandu pun langsung pamit kepada sahabat baiknya itu, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ladang untuk menemui Damara. "Aku pikir Reksa Pati mau
Mendengar bentakkan dari Pandu, dua orang pria itu tertawa lepas, "Hahaha!" Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami ini!" Salah seorang dari mereka balas membentak, kemudian melangkah mendekat ke arah Pandu. "Kami adalah orang yang diutus untuk membinasakanmu," ucap pria berikat kepala hitam tampak jemawa. Mendengar perkataan dari pria itu, Pandu pun lantas berkata sambil tertawa dingin, "Sekarang aku ingin tahu apa kau masih berani keras kepala?" Bersamaan dengan itu, tangan Pandu mengayun cepat bagai kilat hendak menyambar kepala orang yang mengenakan ikat kepala hitam itu. Namun, orang itu dengan begitu mudahnya dapat menghindari serangan dari Pandu. Sambil membentak ia langsung membalikkan tangannya dengan sangat cepat, dan sudah berbalik mencekal pergelangan tangan Pandu. "Kau tidak akan bisa lepas dari cengkraman kami, Anak muda." Pandu tidak banyak bicara, ia langsung mengerah
Pandu semakin geram sekali melihat sikap dua pendekar yang tengah berdiri angkuh di hadapannya. "Sekadar mengingatkan. Kau ini tidak mungkin terlepas dari cengkraman kami, dan sudah dapat dipastikan bahwa malam ini adalah mimpi burukmu, Anak muda!" ucap seorang pendekar yang satunya lagi. Tanpa banyak bicara lagi, Pandu langsung menerjang dua pendekar itu dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi, tangannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Serangan yang dilancarkan Pandu memang sangat luar biasa, jika saja mereka tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri yang mumpuni. Maka, mereka akan binasa saat itu juga terkena pukulan tenaga dalam dari Pandu. "Kau ini masih bau kencur, tidak layak bertarung dengan kami yang sudah menguasai pengalaman di rimba persilatan!" bentak salah seorang dari dua pendekar tersebut. "Kemampuan seseorang tidak dinilai dari kematangan usia. Aku ti
Rabuta terus berlari kencang membawa Pandu mengejar ketiga pendekar itu, menerobos kegelapan malam. Hingga pada akhirnya, mereka pun telah tiba di sebuah perbukitan yang berada di balik hutan tersebut yang terkenal dengan julukan Bukit Tengkorak. "Kita sudah berhasil memancing anak muda itu," desis salah seorang dari ketiga pendekar tersebut. "Malam ini kita harus menghabisi anak muda itu di bukit ini!" sambungnya sambil tertawa lepas. Pandu terus mengamati tiga orang pendekar yang ada di hadapannya. Sejatinya, ia merasa heran dan kebingungan ketika melihat tiga orang pendekar itu, tiba-tiba saja berhenti dengan posisi membelakanginya, dan tertawa dengan begitu puas. Seakan-akan, mereka tengah merayakan sebuah kemenangan. "Aku tidak mengerti dengan maksud kalian, sebenarnya kalian ini siapa? Ada maksud apa kalian memancingku hingga tiba di bukit ini?" tanya Pandu masih duduk di atas pelana kudanya.
Dengan demikian, pendekar itu pun tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Seakan-akan, terkena oleh pengaruh jurus yang sangat dahsyat dari orang tua tersebut. Pria senja yang tiba-tiba datang itu adalah Resi Naraya—gurunya Pandu yang hendak ditemui oleh Pandu. Entah kenapa? Mendadak ia datang dan memberikan pertolongan kepada muridnya yang tengah dihadapkan dalam sebuah kesulitan. Sehingga Pandu pun hanya diam termangu sambil menatap sosok sang guru yang tengah berhadap-hadapan dengan satu orang lagi pendekar yang masih hidup itu. "Kenapa guruku bisa tahu jika aku tengah dalam kesulitan?" berkata Pandu dalam hati. Jiwa dan pikiran Pandu kala itu diselimuti rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap gurunya yang sudah datang dan memberikan pertolongan untuknya. "Hentikan perbuatanmu, jika tidak ingin bernasib sama seperti dua kawanmu!" seru pria berusia senja yang mengenakan ju
Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja." Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya. "Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat. Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu. Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.
Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi. "Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan. "Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan. Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata